26 Lauhul mahfudz

Pihu tengah berjalan gontai menyusuri jalanan yang redup oleh bermacam pepohonan, ia hendak mandi dan merebahkan diri ketika Ustdazah Ratih memintanya membeli sekilo kurma di pasar lama. Dengan senang hati Pihu mengiyakan tugas itu meski ia harus rela berjalan seorang diri tanpa ditemani Aisyah yang masih sibuk membersihkan aula untuk dipakai acara malam nanti.

Hanya acara rutinan santri, muhadoroh dan tasyakuran beberapa santri yang baru saja mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an mereka, biasanya Abah ataupun Ummi hanya akan mengadakan acara makan biasa seperti membuat nasi liwet khas sunda dan menyantapnya ramai-ramai di halaman pondok yang rindang.

Namun berbeda kali ini, Abah yang memberi perintah langsung agar acara ini sedikit di meriahkan mengingat bukan hanya satu dua santri yang baru saja kholas namun lima santri putri dan dua santri putra sekaligus.

Ia bersenandung kecil, hanya tampak menggumam beberapa bait lagu masa kecil kesukaannya yang terdengar merdu dari bibir indah miliknya itu. Matanya hanya fokus menatap langkah kecil yang terlihat pelan, sesekali ia tersenyum kecil kala angin tanpa sengaja menyibak jilbabnya hingga hampir terbuka separuh namun selalu berhasil di tahannya.

Ia teringat kembali, lagu dimana ia sangat suka menyanyikannya ketika Bunda mengajaknya berkeliling desa menggunakan sepeda tua milik mereka. Atau ketika Bunda pertama kali mengajaknya pergi ke kota untuk menjual jagung hasil panen dari kebun yang setiap pagi di jaganya, ia terkekeh pelan mengingat betapa sangat gembiranya ia ketika mengunjungi kota ini untuk pertama kali ah rasanya baru kemarin mereka menikmati masa indah bersama. Padahal nyatanya, dua belas tahun sudah jarak mengutus kerinduan abadi yang tak mampu ia bendung sendiri.

"Sudah dua belas tahun Bunda, apa Bunda tidak rindu memarahi Pihu jika obat yang Bunda berikan selalu Pihu buang?" Ucapnya lirih menyunggingkan senyum perih.

Lembut kukenang, kasih mu Ibu

Didalam hati, kini ku menanggung rindu

Lirihnya pelan sembari menengadah ke langit, diatas sana sebuah daun baru saja lepas dari rantingnya jatuh tepat mengenai wajah anggun Pihu. Baru ia hendak menyingkirkan daun itu dari wajahnya namun sebuah tangan tiba-tiba menghempasnya terlebih dahulu.

Pihu hanya mematung heran, bukankah ia hanya pergi seorang diri tadi lantas siapa yang baru saja mengambil daun itu?

Ia membalikkan badannya cepat, tepat dihadapannya seorang pria dengan perawakan tegap sudah berdiri disana.

Badan yang tegap nan tinggi sukses membuat badan mungil milik Pihu tenggelam, tentu saja dengan perawakan setinggi itu membuat pihu yang hanya setinggi dada miliknya harus mendongak melihat rahang tegasnya.

Ya itu adalah Adam, dia hanya terkekeh pelan ketika Pihu dengan wajah polosnya yang terkejut bukan main sekarang refleks menjauhkan dirinya dari sana, namun ditahan oleh Adam. Jika saja ada yang melihat mereka saat itu mungkin orang itu akan langsung berfikiran buruk karena posisi mereka yang tampak seperti sedang berpelukan.

"Mas!" Pekiknya keras hingga membuat telinga Adam berdenging nyeri, badannya kecil namun ternyata dibalik suara anggunnya, ia memiliki suara yang nyaring jika sedang marah. Oh terlihat jelas di rautnya jika ia begitu kesal melihat Adam yang tiba-tiba sudah berdiri angkuh disana, menggemaskan.

"Kenapa?" Tanyanya datar namun alisnya yang terangkat sebelah membuat ekspresi wajahnya seolah mengejek.

"Mas buntutin Pihu?" Ucapnya kesal dengan nada penuh kecurigaan.

"Kalo iya kenapa?" Ucapnya yang malah berbalik bertanya, sukses membuat pihu hanya mendengus kesal. Ia merotasikan bola matanya tajam kemudian kembali berjalan meninggalkan Adam yang masih menatap Pihu lucu.

Adam segera berjalan mengikuti Pihu, langkah besar miliknya berhasil membuatnya dengan mudah mensejajari langkah kecil itu.

"Kenapa jalan sendirian? Kamu mau diculik wewe gombel sore-sore begini keluar?" Ucap Adam dengan tatapan yang masih fokus kedepan dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku celana. Ia hanya menggunakan celana trening panjang yang di padukan dengan kaus putih polos, tanpa setelan santri seperti biasanya.

"Mas doain Pihu diambil wewe gombel gitu? Mas yang ngapain sore-sore begini nguntit Aku mana pakaiannya begitu," ucapnya sembari mengerucutkan bibirnya kesal.

"Lho Mas baru selesai lari, emang kalo Mas lari harus pake sarung?" Jelasnya seraya mengangkat sebelah alisnya heran. Pihu yang tak sengaja beradu pandang kini hanya mampu mengambil nafas dalam, pandangan itu yang selalu sukses membuat Pihu berulang kali jstuh cinta pada Adam. Namun kemudian dia segera membalikkan wajahnya, beristighfar menyadarkan diri. Mencoba mengingatkan hatinya jika dalam waktu dekat Adam akan segera menjadi adik iparnya.

"Trus Mas liat kamu keluar gerbang sendiri, makanya Mas ikutin. Mas gakmau kamu kenapa-kenapa," ucapnya datar namun terdengar sangat tulus.

Pihu mengalihkan kembali pandangannya pada manik hitam pekat milik Adam, terpancar jelas ketulusan yang dalam disana. Kemudian ia beralih pada tangannya yang masih tertaut dibawah sana.

"Pihu mau beli kurma, Ustadzah yang nyuruh."

Adam yang mendengarnya hanya mampu mengernyitkan dahi, namun sesaat kemudian ia hanya terkekeh pelan. Pasalnya baru kemarin ia membeli banyak kurma untuk persiapan, namun kini Ustadzah Ratih malah menyuruh Pihu membelinya lagi?

Adam tahu jika Mbaknya itu hanya membual, menyuruh Pihu agar membeli kurma kepasar sendirian supaya bisa bertemu dengan Adam. Bukankah tadi ustadzah Ratih memergokinya ketika hendak pergi lari? Pantas saja Mbaknya itu tak henti tersenyum rupanya ia sudah merencanakan semua ini. Adam hanya menggeleng pelan, Mbak Ratih memang yang terbaik.

"Mas? Kok malah ketawa-ketawa?" Tanya Pihu heran melihat Adam hanya tertawa sendiri sedari tadi.

"Ah tidak," jawab Adam sekenanya sembari menyunggingkan senyuman hangat.

"Mas gak pulang aja? Takut di cariin Abah."

"Nggak, Mas nganter kamu dulu baru pulang kalo udah selesai. Kalo kamu hilang, nanti Mas Ihan sedih lagi," ucapnya tersenyum kecut.

Pihu yang mendengar itu hanya mendongak, menatap pedih pada kekasih hatinya itu. Bukankah terdengar miris sekali ketika orang yang kita cintai malah menjadi milik orang lain yang juga satu atap dengannya?

"Mas," ucapnya dengan tatapan memohon, memohon agar Adam tidak lagi menyebut demikian. Sungguh itu sangat membuat batinnya terasa nyeri.

Sedang sang empunya hanya menatap nyalang pada manik coklat Pihu, tersenyum lembut namun penuh luka didalamnya.

"Gih buru beli kurmanya, takut keburu tutup nanti," ucap Adam menyadarkan pihu dari lamunannya, sampai Pihu tak sadar jika mereka kini tekah tiba disana. Di depan toko yang menjual berbagai macam makanan kering, termasuk kurma dan sejenisnya yang terlihat jelas dipajang pada etalase kaca berukuran besar.

"Bentar ya Mas, Pihu masuk dulu."

"Iya." Menganggukan kepalanya pelan, tak lupa seukir senyuman manis ia sematkan.

____

Mereka sudah hampir sampai pada gerbang besar milik Al-Hikmah, namun langkah kecil Pihu mendadak terhenti yang membuat Adam menatapnya heran dan refleks memberhentikan langkahnya juga.

"Kenapa hmm?"

"Anu, Mas."

Adam hanya menatapnya lamat, tersenyum penuh arti kemudian menampilkan ekspresi bertanya tanpa kata.

"Kalo kita masuk, Mas pasti kembali acuh. Kembali dingin seperti kemarin. Mas hanya bungkam ..." Ucapnya menggantung dengan kepala yang terus menunduk.

Adam yang melihat itu hanya tersenyum kecil, matanya menyendu menatap Pihu yang begitu naif di matanya. Ia tahu betul ketakutan dan kegelisahan apa yang sedang gadis itu hadapi, memang ia selalu menjaga jarak dengan Pihu sekarang apalagi jika itu di lingkungan pondok. Ia hanya tidak ingin membuat perasaaan orang yang di sayanginya hancur meskipun itu harus mengorbankan perasaannya sendiri.

"Dek, kamu percaya takdir?"

"Tentu ... "

Adam mengambil sehelai daun yang baru saja di terbangkan angin dan jatuh tepat mengenai sandalnya.

"Daun yang jatuh ke tanah saja sudah diatur oleh sang maha kuasa, mengapa kita hambanya harus merasa takut kehilangan?"

"Ingat Dek, sesuatu yang milik kita akan selalu menjadi milik kita ... Meskipun sekarang kita masih menjadi rahasia."

"Aku dan Kamu adalah rahasia terbesar tuhan, mungkin saja dimata manusia saat ini kita hanyalah dua insan yang sedang sama-sama terluka. Tapi jika tuhan mengikatkan namamu dan namaku dalam lauhul mahfudz? pada akhirnya kita akan tetap menjadi kita, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja," sambungnya penuh ketulusan memandang indahnya langit sore ini di bumi Al-Hikmah.

Pihu hanya mampu menatap Adam penuh rasa haru, batinnya mendesir hebat. Adam yang kemarin egois menginginkan cintanya untuk bersama, kini telah berubah menjelma sosok dewasa yang mengikhlaskannya diatas bulir-bulir doa. Sebutir bening kembali luruh di pipi putihnya, menghapus setetes luka yang hilang dan mengering bersama.

____

avataravatar
Next chapter