5 keputusan

"Bunda," panggil Pihu dari dalam sana terdengar lemah.

Mengagetkannya dari lamunan yang sesaat itu, ia terperanjat ketika teringat Pihu belum meminum obatnya.

Bunda memijit pelan pelipisnya yang terasa pening, menatap nanar bulan yang bersembunyi di balik awan malam.

"Sebentar Sayang, Bunda datang," ungkapnya sembari berjalan meninggalkan pelataran rumah mereka.

Langkah kaki yang beradu dengan lantai menciptakan derap yang hampir tak terdengar, hanya meninggalkan bunyi ringan yang menghilang di udara. Pihu sedang meringkuk di dalam sana, di bawah selimut tipis yang cukup untuk menghangatkan tubuh kecilnya.

Bunda datang dengan tergesa dari arah dapur, menampakan secangkir air hangat dan kantung yang berisi obat untuk Pihu. Seulas senyum tercipta di bibir indahnya ketika netra itu menangkap wajah Pihu yang menangkup di atas boneka kesayangannya.

Pipi tembam dan hidung yang masih sedikit merah itu tampak mengintip dari sebalik sana.

"Bunda, Pihu tidak ingin meminumnya. Rasanya seperti pare, pahit," ucap Pihu sedikit menyembulkan kepalanya keluar dari balik boneka lusuhnya.

" Ehh Pihu gak sayang Bunda ya? Kok ngomongnya begitu hm?" Jawab Bunda pura-pura merajuk.

"Eumm Pihu sayang Bunda, tapi Pihu benci obat itu Bunda," rengek Pihu manja.

"Yasudah kalo begitu, Bunda tidak akan menjaga Pihu lagi. Apa Pihu mau?"

"Ehh tidak tidakk, Pihu tidak mau!" Pekik Pihu lantang, kemudian tangan mungilnya segera meraih obat yang sedari tadi di genggam Ibunya. Menenggaknya habis dalam satu tegukan.

"Nahh, anak pintar," goda Bunda tersenyum menang.

"Bunda curang, main nya ancem-anceman huhh," ucapnya sembari melipat tangan di dadanya. Bibirnya tampak mengerucut, gemas.

"Karena Bunda sayang Pihu," ucapnya kemudian tersenyum hangat.

"Pihu juga sayang Bunda," gadis kecil itu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping sang Bunda, kemudian mengecup pipinya sebentar dan langsung terlelap.

"Dasar," ucap Bunda menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum simpul.

Beberapa lama puas mengamati wajah putrinya yang tampak tenang dalam tidurnya, rasa kantuk mulai menyerangnya perlahan. Entah kapan semua itu di mulai namun dia kini sudah ikut terlelap di sebelah Pihu.

____

"Mas Malik!" Pekik gadis berhijab putih itu lantang. Menggema di ruang kosong yang serba putih itu, namun setiap suaranya menggema tak pernah terputus. Suara itu hanya terus mengecil, memantul di kanan kirinya. Seakan ruang hampa itu tiada habisnya.

Sedang yang dituju hanya diam mematung di tempatnya. Tak bersua meski sedikitpun. Gadis dengan manik mata berwarna cokelat itu berlari menghampirinya, hampir sampai hingga pria tampan di hadapannya menoleh dan menatap nya dalam diam.

Damn!

Pandangan mereka bertemu, kedua pasang mata itu saling menginterupsi. Seolah keduanya bertanya, mengapa? Hening. Hanya terdengar suara lirih sang gadis dengan isakan tertahan.

"Anjani istriku." hanya kata itu yang lolos dari mulutnya. Sukses membuat jantung wanita di hadapannya mencelos, ada bahagia disana namun pada saat yang sama rasa perih juga menghujamnya secara bersamaan.

"Aku merindukanmu Mas, Aku rindu ketika sepasang bibir indah itu menggumamkan namaku. Aku sungguh merindukanmu," ucapnya dengan suara bergetar. Tubuhnya jatuh ke bawah, bersimpuh di hadapan sang suami yang sangat ia rindukan hadirnya.

Bahunya bergetar hebat menahan gejolak perasaan itu, sedang mulut indahnya tak henti menggumam panggilan itu.

"Mas.."

Tepat ketika sebuah tangan terulur di hadapan wajahnya, dengan segera ia menghambur ke dalam pelukannya. Pelukan itu, kehangatan itu ia merindukan segalanya. Sudah sangat lama semenjak ia merasakan perlindungan itu, sudah sangat amat lama.

"Jangan menangis Dek, Mas Mu ini tidak akan kuat jika harus melihat mu menangis seperti ini. Mas merasa sangat gagal," ucapnya lirih ketika setitik air mulai muncul di ekor matanya.

Sedang Anjani hanya terus terisak di dada bidang suaminya, ia ingin melepas sesak dan lelah yang selama lima tahun ini ia tanggung seorang diri. Tanganya begitu erat memeluk tubuh yang cukup tegap itu, ia ingin waktu berhenti saja sekarang.

"Kenapa kamu tega Mas, ninggalin Aku dan anak kita," sesaknya tertahan.

"Anak kita sudah besar, tapi aku gagal menjadi yang terbaik seperti katamu Mas, aku gagal Mas," lanjutnya lagi.

"Ssttt.."

"Kamu tidak gagal Sayang, kamu berhasil. Pihu tumbuh menjadi anak yang baik dan pandai, dia sangat cantik sepertimu."

"Aku harus bagaimana Mas?"

"Biarkan dia pergi sayang, dia akan menjadi seorang yang sangat berguna di masa depan."

"Jika kamu tidak memberinya kesempatan, apakah itu tidak egois hm?"

Sedangkan yang ditanya hanya membenamkan kepalanya semakin dalam di dada bidang itu. Ia tau semua yang dikatakan suaminya adalah benar, tapi apa ia sanggup untuk itu?

Air matanya meluruh lagi, ia merasa sesak ini terlalu dalam. Sang suami hanya mengelus lembut punggung lemah istrinya, ia tau ini berat tapi semua untuk kebaikan mereka.

"Maafkan aku Mas, rasa sayangku membuat aku begitu egois padanya. Maafkan aku Mas"

"Tak apa sayang, Mas mengerti. Sekarang tugasmu hanya meyakinkan nya bahwa dengan ini dia akan menemukan senyuman di masa depan."

"Tapi dia masih begitu kecil, apa aku bisa Mas?"

"Dia sangat kecil Sayang, tapi dia juga sangat kuat sama sepertimu," jelas Nya menatap manik indah di hadapannya dengan yakin.

"Apa kamu akan kembali bersamaku Mas?"

"Jika tuhan menginginkan itu, maka aku akan segera kembali padamu," ungkapnya tulus mengecup pucuk kepala Anjani.

"Aku harus pergi dulu sayang" lanjutnya kemudian. Ia melepaskan pelukan erat istrinya, sebelah jari-jari tangannya masih tertaut satu sama lain hingga mereka benar-benar terpisah.

Anjani menatap sendu punggung suaminya yang kian menjauh, di tatapnya tubuh tegap itu yang hampir menghilang oleh cahaya. Ia hanya menyeka air matanya kasar, berusaha tetap tegar dengan semua ini, kemudian berbalik saling memunggungi.

"Dek," panggil suaminya dari kejauhan sana.

"Jaga anak kita, Mas sangat mencintai kalian," tuturnya sembari tersenyum melambaikan tangan perpisahan.

Anjani menatapnya haru, air matanya kembali meleleh. Kemudian tubuh itu hilang dalam kabut cahaya.

Suara adzan sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Anjani mengerjapkan matanya perlahan, nafasnya terengah-engah. Mimpi yang baru ia alami terasa begitu nyata, terlalu menguras emosi dan tenaganya.

Jam menunjukan pukul lima pagi, Pihu masih setia meringkuk di sampingnya dengan nyenyak. Ia segera bergerak menuju dapur sekadar untuk menenangkan fikirannya dengan segelas air putih.

Lampu obor disebelahnya menyala redup, membuat dahinya tampak berkilauan oleh keringat. Setelah merasa dirinya cukup tenang, dia segera bergegas menuju bilik air di sebelah ruangan sederhana itu.

Ia menunaikan kewajibannya solat 2 rakaat kemudian berdzikir sebentar. Mentadarrus Satu-satunya penerang jalan kehidupan, kemudian melakukan rutinitas nya seperti biasa. Hanya saja hari ini, ada satu yang berbeda yang harus ia lakukan segera.

____

avataravatar
Next chapter