webnovel

SATU

Perasaan hati ku masih berduka setelah dua minggu kepergian bunda. Walau banyak menerima semangat dan support dari keluarga dan teman, tapi aku tetap tidak bisa merasakan apa-apa. Rasanya hampa, sepi dan tidak ada yang bisa menggantikan kepergian seseorang.

Aku duduk di bangku kantin sambil memandang soto ayam yang semakin dingin dan belum sama sekali ku cicipi. Mengaduk kuahnya tanpa sadar pergerakan ku sedang dipantau oleh seseorang.

"Boleh aku duduk?" dia menghampiri ku dan bertanya. Aku tidak mengenalnya tapi aku masih memiliki etika dan sopan santun kepada orang yang baru aku temui. Itu adalah didikan keras dari ayah untuk menghormati seseorang selayaknya kita ingin dihormati.

"Iya silahkan." Senyum ku kaku. Rasanya sudah tidak nyaman jika ada orang disekitar ku. Aku memang introvert dan tidak suka bergaul namun ketika sedih aku terbiasa menjauh dari keramaian agar bisa merasa tenang. Lalu bagaimana bisa aku merasa tenang jika ada orang asing dihadapan ku.

Aku ingin segera pergi, namun dia berbicara lagi pada ku. "Abisha Putri bukan?"

Dia menyebut nama ku. Sedikit perasaan aneh mendengarnya. "Iya aku." Bagaimana bisa dia tau nama ku sedangkan ini pertama kali kami bertemu?

"Ini buat kamu." aku melihatnya membuka ransel yang terletak di punggungnya dan mengeluarkan secarik amplop coklat untuk diberikan pada ku.

"Dari siapa?"

"Kamu akan tau usai membacanya," katanya. "Buka ini sepulang sekolah. Aku pamit ya." ujurnya lalu segera pergi. Aku masih menatap punggung tegap itu yang keluar dari gedung kantin. Seperti sebuah hipnotis aku mengikuti pintanya untuk membaca surat itu sepulang sekolah walau dipenuhi rasa penasaran dengan isinya.

Sepi seperti jadi bagian bagi ku. Aku merasa sendiri ditengah keramaian namun aku merasa dunia ku seperti abu-abu. Kadang kala, kehilangan memberi arti bagi kita, bahwa ia begitu berarti ketika ada. Suara pesawat diangkasa membuat ku jadi mengingat ayah yang sudah tidak pulang beberapa hari ini karena jadwal penerbangannya yang padat.

Ayah ku adalah seorang pilot profesional yang memiliki jam terbang terbanyak di maskapainya. Dulu aku mengagumi profesinya karena ia begitu hebat dan keren. Tapi saat ini, seorang Ayah tetaplah ayah bagi putrinya, yang tugasnya untuk menjaga dan memberikan kebahagian. Bagaimana ayah bisa tetap masuk kerja dan berkosentrasi penuh setelah kehilangan orang yang dia cintai? Atau ayah tidak mencintai bunda?

Ayah dan bunda menikah pada tahun 1998. Ayah yang pada saat itu masih bekerja sebagai pilot dan bunda sebagai seorang penyanyi sekaligus model. Selama 4 tahun pernikahan itu mereka fokus pada karir dan belum dikarunia seorang anak. Pada tahun 2003, aku lahir dan bunda melepaskan karirnya untuk merawat ku.

Banyak orang yang menyebutku sebagai anak emas karena bunda memiliki penyakit yang membuatnya sulit untuk memiliki keturunan dan aku menjadi putri sematawayang yang begitu disayang. Kata orang aku mewarisi kecantikan yang berasal dari bunda termasuk suara dan kebisaan ku dalam memainkan alat musik. Aku juga cerdas seperti ayah yang membuat ku terus mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Rasanya seperti terlahir sempurna namun aku sadar bahwa sesuatu yang berada di bumi ini tidak akan abadi. Apa artinya kesempurnaan jika tanpa kebahagiaan? Yang ada hanya tersenyum tapi tak bahagia.

***

Sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diri ku berziarah. Aku hanya butuh untuk mengungkapkan isi hati ku, tentang kesedihan dan tangis yang sudah membiru dalam hati. Makam yang penuh dengan bunga kristan dan secarik pesan dari ku. Memang ia tidak bisa membacanya, tapi aku yakin dia mendengarkan semua kalimat dari hati ku.

Aku duduk meratapi gundukan tanah yang mulai dipenuhi rumput liar. "Bunda, Abi kangen." Kalimat pertama yang aku keluarkan benar-benar membuat air mata ku jatuh. "Hari ini Abi kesini lagi, tapi enggak sama ayah. Abi makin dewasa kok, udah enggak takut tinggal di rumah sendirian lagi." Aku berusaha menyeka air mata ku agar tidak terus jatuh.

Semua kalimat yang ingin aku sampaikan berupa kerinduan. Sekalipun harus mengatakannya beribu kali, rasa rindu ini akan terus membekas dan tidak akan terbalas. Aku rindu pelukan bunda yang begitu hangat sambil mengelus punggung ku ketika ayah harus berangkat bekerja. Aku rindu pelukan yang bunda beri setiap ingin berangkat sekolah.

"Tadi Abi masuk sekolah bun, bangunnya udah gak kesiangan lagi karena sekarang Abi sulit tidur oleh kepikiran ayah." Mengingat tentang sekolah, aku juga ingat tentang surat yang diberi untukku. "Tadi ada yang titipin Abi ini bun." Aku membuka amplop tersebut dan melihat kertas buram bertuliskan huruf tegak bersambung yang sangat rapih.

Jakarta, 10 Juli 2018

Untuk: Abisha Putri

Tentang kehilangan, tidak ada seseorang yang ingin merasakannya. Namun disetiap pertemuan akan selalu berujung pada pisah. Tidak ada perpisahan yang baik-baik saja, semua perpisahan menyakiti individu.

Tidak perlu khawatir Abisha. Tuhan memang tidak akan mengganti seseorang hanya untuk membuat mu baik-baik saja, tapi ia akan menyediakan ruang agar orang tersebut selalu ada di hati mu. Untuk kamu ingat bahwa dia yang sudah pergi juga tidak bisa terganti.

Bratta

Surat ini ditulis sekitar 3 hari yang lalu oleh Bratta. Aku melipat kembali surat tersebut dan yang ada dalam penglihatan ku hanya seseorang. Berjarak kurang lebih 10 meter sedang berdiri menghadapi kubur seseorang. Dia laki-laki yang aku temui di sekolah tadi.

"Dia Bratta?" dia juga melihat ku. Laki-laki sama yang kutemui di sekolah tadi.

Memang tidak ada perkenalan diantara kami tapi aku yakin dia Bratta. Aku segera menyeka air mata ketika dia berjalan mendekati ku. Laki-laki itu berdiri di sebelah ku dan hening. Aku melihatnya menutup mata dan berdoa di makam bunda. Jauh di dalam hati ku, aku merasa speechless. Sulit ku jelaskan, tapi seolah ia mengerti apa yang aku rasa.

Setelah aku melihatnya sudah selesai berdoa, aku langsung berbicara. "Bratta?" aku memastikannya sekali lagi.

"Iya aku Bratta, kamu bisa panggil Atta." Tangannya terulur memberi salam kenal.

"Aku Abi, Abisha," aku membalas uluran tersebut sebari mengucapkan terima kasih."Terimakasih suratnya."

"Sama-sama Abi."

Satu hal yang sangat aku penasaran sejak awal bertemu akhirnya dapat ku katakan sekarang dihadapan laki-laki yang bernama Bratta alias Atta. "Kamu mengenal ku?" pertanyaan itu seolah populer ketika sosoknya datang pada ku dan berhasil mewakili isi hati ku.

"Belum," jawabnya. "Aku cuman sering lihat kamu datang kesini dan bawa bunga yang sama." Baru kusadari bahwa Bratta mengetahui nama ku melalui bunga yang berisikan pesan dari ku. Kalau begitu apa selama ini dia selalu melihatku?

"Kamu lihat aku tiap hari disini?"

"Iya tiap hari dan sendiri. Kamu tau kenapa aku beri surat itu?" Bratta balik bertanya pada ku. Kami berdua sama-sama berdiri dengan tatapan kosong dan pembicaraan yang terasa sangat dalam. Hanya saja setelah membaca suratnya aku ingin mendengar langsung dari orangnya.

"Karena kamu berduka sendirian Abi. Kamu masih muda, pikiran mu mungkin enggak akan tekontrol setelah kehilangan sesuatu. Aku tau itu. Aku juga pernah rasain." Dia mengerti apa yang aku rasa lebih dari ayah. Mungkin dia juga pernah kehilangan seseorang.

"Kamu juga berduka sendirian?"

"Aku selalu sendirian kalau kamu mengenalku."

"Kalau gitu, apa aku bisa mengenal mu?" Abi, kamu sungguh berani mengatakan itu. Kalimat itu seolah meluncur diluar pemikiran ku dan aku jujur mengatakannya.

Bratta menoleh kearah ku. Ia menarik senyum kecil setelah mendengar kalimat ku tadi. "Kamu orang pertama yang bilang begitu," jawabnya. "Nanti kita pasti akan saling kenal."

Aku terdiam mendengar kalimatnya.

"Aku balik duluan Abi. Selamat sore." Ia segera berbalik dan pergi dari hadapanku. Cukup lama bagi ku untuk berdiri dan memandanginya sampai hari itu semakin gelap.

Pak Ijum menghampiri ku. Beliau adalah supir yang dipekerjakan ayah untuk mengantar jemput ku ke sekolahan. "Mba harinya sudah senja."

Mendengar kata terakhirnya membuat ku menghela nafas sedikit panjang. Lagi-lagi aku membenci senja yang memberi jeda untuk membuat orang lain pergi. Aku segera beranjak dari tempat itu dan mengikuti pak Ijum menuju mobil yang terparkir. Ada perasaan aneh yang aku alami. Senang bercampur sedih ketika pertemuan singkat dengan Bratta.

Surat yang ia beri pada ku masih kupegang dan kubaca lagi. Dua bait sudah cukup baginya untuk membuataku merasa lebih baik. Bahkan ayah tidak pernah mengatakan hal sepanjang itu untuk menguatkan ku. Kadang kala aku membenci ayah ku.

Next chapter