1 PROLOG

Hari ini, hujan kembali turun membasahi bumi. Bagi sebagian orang yang percaya bahwa hujan adalah isyarat semesta bahwa sekuat apapun manusia, ia diizinkan untuk menangis. Melepaskan emosinya, amarah dan air mata. Seberapa jauh hujan yang turun, langit tetap kokoh pada atmosfernya, tidak runtuh walau ia menangis.

Aku adalah salah satu dari kebanyakan orang yang meyakini itu. Sekalipun sedang berduka, aku tetap baik-baik saja. Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan, namun sekalipun kehilangan hidup ku harus tetap berlanjut. Hidup ku tidak boleh berhenti karena berlarut dalam kesedihan.

"Abi..." suara yang memanggil ku dari belakang. "Hari sudah senja, lebih baik kita pulang." Ia menepuk bahu ku, berusaha memberikan energi agar aku tetap kuat menghadapi keadaan ini.

Senja mengajarkan ku, ia begitu indah sebelum pamit. Senja memperlihatkan keindahannya namun tidak untuk selamanya. Senja hanya sementara yang menarik. Dan aku benci itu.

Aku segera berdiri setelah hampir berjam-jam menangis sambil mengusap nisan yang terukir nama seseorang. Tidak hanya terukir pada batu butih namun pada hati ku. Namanya Kumala Sri Dewi, kelahiran Jakarta 15 April 1982. Jika tentang kehilangan, aku begitu membencinya, sebab itu aku tidak suka menikmati senja.

Aku berjalan keluar dari komplek peristirahatan terakhir, masuk ke dalam mobil hitam dan duduk disebelah laki-laki yang usianya 40tahunan. Dia adalah ayah ku, orang yang paling menyayangi ku setelah bunda. Jika tentang orang yang paling menjaga ku, dia adalah ayah yang perfeksionis namun jarang membagi waktu dengan ku.

"Malam ini, kamu mau nginap tempat oma?" tawarnya pada ku yang sejak tadi hanya melihat ke luar jendela. "Papa harus berangkat ke Bali." bahkan sedetik pun ia tidak ada waktu untuk menemani kesedihan ku.

"Aku tinggal di rumah aja." Jawab ku singkat. Kadang kala, berbohong jauh lebih baik daripada diam. Karena untuk apa berkata pada seseorang yang tidak ingin mendengarkan. Aku tau, ayah ku sibuk bekerja banting tulang karena ingin memastikan kehidupan ku bahagia, tapi kini aku benar-benar membutuhkannya. Aku benar-benar kehilangan sosok bunda yang selalu menyayangi ku dengan perhatiannya yang penuh.

Nama ku Abisha Putri dan laki-laki yang sekarang duduk disebelah ku bernama lengkap Raden Mas Bagus Karta. Ayah ku keturunan darah biru kelahiran Jogja tahun 1980. Aku putri tunggal yang tidak lama lagi akan menginjak usia 17 tahun. Jauh sebelum bunda belum meninggal, aku sudah merencanakan pesta sweet seventeen ku yang nantinya akan meriah dan dihadiri oleh keluarga besar, teman sekolah, rekan kerja ayah dan kerabat bunda. Sayangnya aku sadar bahwa itu tidak mungkin terwujud karena kepergian bunda yang begitu tiba-tiba.

Kesedihan ku terus berlarut. Setiap harinya aku menangis kesepian, mengunci diri di kamar dan mogok makan. Hingga akhirnya tidak hadir sekolah selama seminggu sudah. Disini lah semuanya dimulai...

avataravatar
Next chapter