1 Chapter 1

Sore ini aku duduk dipekarangan, dengan segelas teh yang disajikan dengan ubi. Masih hangat tentunya, dengan suasana sore yang cukup indah. Aku menghela napas sembari menghirup udara yang segar.

"Nur... Nur" terdengar suara ibu yang lantang mengganggu ketenanganku, mungkin menyuruhku untuk mengantarkan jahitan kerumah pelanggannya.

"Iya ibu, aku akan segera masuk" akupun berlari kecil untuk menghampiri suara yang sedari tadi tidak berhenti memanggilku.

"Nur, ibu sudah jahitkan seragam untukmu sebentar lagi kamu akan menjadi murid sekolah menengah pertama" tersenyum senang.

Ya, namaku Nur. Usiaku sudah terlambat untuk masuk sekolah menengah pertama karena terbentur biaya, setelah lulus sekolah dasar aku menjadi pemetik daun teh seperti ibu. Karena tidak ada uang untuk melanjutkan sekolah. Ayahku adalah seorang tenaga kerja indonesia yang dari 7 tahun lalu berangkat ke Seoul, korea selatan. Sudah 7 tahun pula kami tidak berkomunikasi dan tidak ada tanda-tanda kepulangan dari ayah, Aku hanya tinggal dengan ibu, aku adalah anak tunggal.

"Nur?" ibu menyentuh kepalaku dan sontak membuatku kaget.

"Bu, sudahlah tidak usah memikirkan sekolahku, upah memetik 10 ribu perhari hanya cukup untuk makan kita saja. Lupakan saja, banyak orang-orang berpendidikan diluar sana sulit mendapatkan pekerjaan, lagipula usiaku sekarang ini sudah tidak pantas memakai seragam itu, aku tidak punya tas dan sepatu, bahkan buku pun aku tidak punya bu."

Ibu terdiam kemudian sedikit meneteskan air mata, sungguh sore ini adalah senja terburuk dalam hidupku, aku tidak sadar bahwa ucapanku menyakitinya.

"Bu, maafkan nur bu...nur janji akan sekolah, jahitan ibu memang yang paling rapi tentu seragamku akan menjadi pusat perhatian disekolah nanti, aku akan menghafal agar aku tak membutuhkan buku, kantung plastik sebagai pengganti tas dan bisa memakai sandal" ibu menatapku lalu mengusap air matanya sambil berjalan keruangan yang sangat mungil, yang orang-orang menyebutnya sebuah kamar tidur. Tak lama kemudian ibu kembali menghampiriku dan membawa sebuah kantung plastik putih.

"Ibu sudah membelikan buku dan juga pena untukmu, tapi ibu belum punya uang untuk membeli tas dan sepatu" sambil menunduk sedih.

"Aku kan sudah bilang bu, ada kantung plastik dan sandal untuk kesekolah. Tidak usah khawatir dengan itu" aku berusaha menghiburnya.

"Ibu janji, akan membelikanmu sepatu dan tas setelah ibu punya uang,ibu akan pergi memetik lebih awal dan pulang lebih sore supaya upahnya bisa ditambah.

"Aku tidak butuh tas dan sepatu bu, aku hanya ingin ibu tetap sehat dan selalu bersamaku, aku hanya punya ibu saat ini, semoga ayah selalu sehat disana dan cepat pulang."

Aku tidak tahu bagaimana kabar ayah sekarang dia tidak menghubungi kami, sudah 4 kali aku mengirim surat kesana namun tidak ada balasan, setelah aku dewasa aku akan mencarinya.

Hari sekolah sudah tiba, setelah shalat subuh aku bergegas merapikan buku-buku baru dan memasukkannya kedalam kantung plastik hitam. Pagi itu menunjukkan pukul 5.30 dan kelas dimulai pukul 7.30, aku berangkat sepagi ini bukan karena ingin duduk paling depan, akan tetapi perjalananku dari rumah kesekolah memakan waktu satu jam lebih berjalan kaki, masih jarang angkutan umum di kampungku. Kalaupun ada, tidak bisa melewati jembatan kecil yang harus dilintasi untuk pergi kesekolah, aku berangkat bersama 3 orang teman dari kampung yang berbeda.

Ya rumahku sangat jauh dari perkotaan, hanya ada hutan,kebun teh dan persawahan disini. Jarang ada asap kendaraan, tidak ada bangunan pabrik dan swalayan-swalayan mewah. Maka gaya hidup masyarakat disini memang jauh dari kata mewah. Sederhana namun sangat hangat, saling tolong-menolong satu sama lain. Itulah sedikit gambaran desaku, aku tidak tahu mengapa ayah pergi meninggalkan tempat yang indah ini. Mungkin dia rindu dengan asap kendaraan dan ingin mencuci matanya dengan wanita-wanita korea sana.

Sesampainya disekolah, sudah kuduga, akulah yang tertua. Seharusnya aku sudah memakai seragam sekolah menengah atas. Aku mengikuti perkenalan setiap guru yang datang kekelas. 7 dari 8 guru menanyakan usiaku, mungkin yang satunya lagi lupa atau bahkan tidak melihatku. Hari pertamaku sekolah berjalan dengan mudah, bel pulang pun tak lama berbunyi, anak-anak sekolah lain mungkin senang dengan bunyi bel pulang tapi aku terbayang jalan untuk pulang sangat jauh sekali. Melihat tukang eskrim yang berlalu lalang membuatku hanya bisa menelan ludah. Karena aku tidak punya uang sama sekali, salah satu dari temanku menawarkanku untuk membelinya, ya tentu saja dia yang bayar. Aku menggeleng-gelengkan kepala menjawab dengan bahasa tubuh. Maksudku, agar dia menawariku untuk yang kedua kalinya dan berharap memaksaku menerima tawarannya namun setelah aku menggeleng-gelengkan kepala, diapun langsung berlalu meninggalkanku.

Aku pulang bersama dua temanku, melewati jembatan kecil yang terdapat sungai yang dalam dibawahnya, aku sangat takut ketinggian dan juga tidak bisa berenang. Setelah itu aku melewati beberapa kilometer kebun teh. Haus rasanya, namun bekal minumku sudah habis. Setelah aku sampai dirumah, ada anak seusiaku yang menunggu di depan rumahku.

Dia tampan, dan juga terlihat seperti anak orang kaya. Namun dia ditemani beberapa orang-orang bertubuh besar dengan berpakaian hitam disana. Aku yang ketakutan langsung berlari menjauh, namun anak itu langsung mengejarku, setelah aku berhasil disalipnya, dia menampakkan wajahnya yang tampan sambil mengambil napas yang terengah-engah.

"Hey, aku ini sengaja kerumahmu. Sudah 12 jam perjalananku kesini dan kau malah mau berlari begitu saja!" terengah-engah.

"Kau ini siapa? Mau apa datang kesini, aku tidak mengenalmu" Aku terus berlari meninggalkannya.

Dia pun berteriak, "aku anak dari ayahmu" Dia berhenti mengejarku, mungkin dia sudah kelelahan.

Aku kaget segera kuhentikan langkah kakiku, terdiam sejenak.

Dia kembali menghampiriku, "aku adalah anak asuh ayahmu"

avataravatar
Next chapter