1 Kesan

Menyebalkan.

Satu kata yang menggambarkan keadaan perempuan berseragam putih abu - abu yang sedang duduk di bangku taman sekolah dengan wajah yang tak sedap dipandang itu tidak berhenti menggerutu melalui bibir imutnya. Dia memang benar - benar tidak bisa beradaptasi di tempat barunya.

'Bandung? yang benar saja'

Matanya menangkap sosok seorang laki - laki tegap yang sedang berjalan di koridor dengan buku di genggaman tangannya. Kemudian perempuan itu mendengus pelan.

Matanya beralih ke perempuan - perempuan di sepanjang koridor yang menjerit tertahan dengan ekspresi seperti menahan berak saat laki - laki itu lewat di depan mata mereka. Ketika melihat lelaki ini mengingatkan dia tentang kejadian yang tak pernah ia harapkan akan terjadi di dalam hidupnya.

Lalisa Ayunda, biasa dipanggil Lisa. Perempuan dengan rambut lurus sepinggang dengan poni yang menambah keimutannya itu tidak pernah tersenyum semenjak dia menginjakkan kakinya di kota ini. Ia terpaksa dipindahkan oleh ayahnya ke sekolah baru karena Lisa tidak lulus di sekolah lamanya, jadi dia harus mengulang kembali satu tahun kelas dua belasnya.

Jangan tanya bagaimana reaksi orang tua Lisa saat tahu bahwa dia tidak lulus. Perempuan blasteran Indo-Korea ini dimarahi habis - habisan oleh orangtuanya hingga tak bersisa jiwa dan raganya.

Kenapa dia bisa tidak lulus sekolah ?. Jangan tanya, Lisa sendiri bahkan tidak tahu. Sebanyak dan selama apa pun dia berpikir apa yang salah dengan dirinya, itu akan berakhir dengan pernyataan mungkin ini sudah nasib.

Ada masalah dengan otaknya? tidak, otak Lisa baik - baik saja.

Dan disinilah dia sekarang. Di rumah kerabat ayahnya di Bandung dan disekolahkan di salah satu sekolah negri.

Mengerikan.

Kesan pertama Lisa saat melihat sekolah barunya di hari pertamanya masuk. Dia bahkan tidak bisa mengerjapkan matanya walau ada badai debu menerjang pun, bahkan mulut mungilnya terbuka menganga yang tak akan menutup sampai lalat masuk. Bagaimana tidak, semua siswanya berpakaian sangat rapi, dan hampir semua siswa disini memakai kacamata. Dia juga sama sekali tidak melihat perempuan - perempuan yang berseragam ketat, yang sangat berbeda di sekolah lamanya. Bukankah itu adalah hal yang baik ? tentu saja. Tetapi, bagi Lisa itu adalah hal yang tidak biasa.

Oh, pernah satu kali Lisa izin ke toilet saat jam pelajaran berlangsung dan sekolah itu seperti beralih fungsi menjadi kuburan. Sepi beut. Hanya terdengar nyanyian merdu para guru dan murid - muridnya yang dengan khusyuk mendengarkan. Tidak ada anak laki - laki yang duduk di depan kelas seperti di sekolah lamanya, atau sekedar keluar untuk membeli jajan di kantin. Tidak ada sama sekali.

Dan hal itu masih membuat Lisa geleng - geleng sampai saat ini, seminggu lebih setelah kepindahannya.

Mungkin Dewi Fortuna memang tidak berpihak padanya. Ternyata kerabat ayahnya yang sementara menampung dirinya memiliki anak laki - laki yang juga sedang duduk di kelas duabelas , sama seperti dirinya.

Cih, yang benar saja.

Namanya Juna Anggara. Tidak ada kesamaan antara Lisa dan Juna, kecuali kelas dan sama - sama manusia.

Juna itu genius, dia bahkan paham rumus trigonometri di kelas lima SD, sedangkan Lisa ? jangan tanya. Kata orang jika pandai di akademik pastinya tidak pandai di luar akademik, nyatanya itu adalah bullshit jika bagi seorang Juna Anggara. Dia bisa olahraga, termasuk basket. Hasilnya bisa dilihat pada bodynya yang proporsional, tiada lemak yang terselip disana dan mungkin saja ada enam roti sobek yang bisa menggugah selera para kaum hawa.

Oh, satu lagi. Juna jago main piano.

karena semua hal itu lah, Lisa menjadi bahan bandingan orang tuanya. Juna gitulah, Juna ginilah.

Pokoknya Lisa benci .. eh, bukan benci tapi lebih ke tidak suka. Intinya semua ini menyebalkan.

***

Pemandangan seorang pria yang masih terlihat tegap walau terlihat beberapa helai rambutnya yang sudah memutih dengan koran yang sedang dia baca dan kopi sebagai pasangannya, yang Lisa ketahui sebagai orang yang ikut andil dalam pembuatan Juna.

Mendengar bunyi pagar yang dibuka, ayah Juna menurunkan korannya dan tersenyum sambil menyapa Juna dan Lisa begitu mereka memasuki pagar salah satu rumah elit di Bandung.

Ayah Juna, yaitu Om Toni merupakan seorang pengusaha sukses di Indonesia. Dia memiliki banyak cabang perusahaan bahkan di luar negri. Walau di umur senjanya, om Toni masih tetap gagah dengan hidung mancung dan Lisa yakin ayah Juna ini pasti populer pada masanya. Selain sukses, Om Toni juga memiliki kepribadian yang tegas dan disiplin terhadap anak - anaknya. Tidak heran Juna tumbuh menjadi laki - laki yang tekun dan disiplin, itu karena ajaran ayahnya.

"Lisa, bagaimana sekolah kamu?" tanya Om Toni dengan suara baritonnya.

"Hehe, baik kok, o-" belum selesai Lisa menjawab, sudah di potong oleh suara yang menyebalkan, siapa lagi kalau bukan Juna.

"Bohong tuh yah, masa iya dia tidur di kelas saat pelajaran matematika." Adu Juna dengan wajah tak berdosa.

Lisa yang mendengar ini hanya bisa menggeram sambil tertawa paksa, lalu menatap Om Toni dengan wajah memohon, "Hehe, maaf ya Om. Tolong jangan bilangin ke ayah, ya Om? ". Memang benar, saat di kelas tadi Lisa tertidur di jam pelajaran matematika. Oh ayolah, bagaimana tidak membuat orang mengantuk jika semua itu hanya ada angka, angka, dan angka. Itu membuat otak Lisa pusing melihatnya, jadilah dia tertidur dengan lelapnya.

Dan tentunya, guru matematika tidak tahu karena Lisa menutupi wajahnya dengan buku. Apalagi, orang yang duduk di depan Lisa adalah lelaki yang badannya itu tumbuh ke samping bukan ke atas (gendut). Jadi dia aman sentosa pergi ke perjalanan mimpi nan indah.

Om Toni hanya menanggapinya dengan tertawa, "sudah. Tidak apa - apa. Saat Om sekolah dulu, Om juga sering tidur di kelas, apalagi saat pelajaran matematika. "

"Baik, kalian masuk dulu. Makan, lalu istirahat," kata Om Toni sambil melanjutkan acara baca - baca korannya.

Juna hanya mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sedangkan Lisa tersenyum canggung, lalu mengikuti Juna masuk ke dalam rumahnya.

Mereka berdua sama - sama menaiki tangga menuju lantai dua dan berpisah saat mereka masuk ke kamar masing - masing yang kebetulan, kamar mereka saling berhadap - hadapan.

Sebenarnya kalau boleh memilih, Lisa tidak ingin memilih kamar yang berdekatan dengan Juna. Kalau bisa, dia ingin berada jauh - jauh dari Juna. Tapi apalah daya, rumah ini tidak menyediakan kamar tamu sehingga kamar yang di tempati Lisa ini adalah kamar adik perempuan Juna, Widya. Kalau para pembaca penasaran dimana adik Juna, dia sedang menjalani boarding school di salah satu sekolah swasta. Widya hanya pulang saat liburan semester tiba.

Sebenarnya ada lagi satu kamar kosong, kalau tidak salah ingat milik kakak Juna namanya Aldo. Tapi, sekarang dia sedang kuliah di salah satu universitas Yogyakarta. Lisa bisa menempati kamar kakak Juna itu tapi, masalahnya kamarnya itu berhadapan dengan kamar orang tua Juna. Jadi, menurut Lisa lebih baik kamarnya berhadapan dengan kamar Juna, dari pada harus menempati kamar yang berhadapan dengan orang tua Juna.

Sesampainya di dalam kamar, perempuan imut itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuk yang entah mengapa terasa begitu nyaman hari ini, mungkin karena Lisa kelelahan. Dia menghembuskan napasnya dengan keras.

'Hah, mengapa begitu melelahkan hari ini.'

Setelah tragedi tragis yang Lisa alami, yaitu kelulusannya yang gagal, kesialan demi kesialan, kesalahan demi kesalahan, masalah demi masalah, seakan menghantui dia tanpa merasa cukup.

'Ya Tuhan, Lisa tidak tahu mau bagaimana lagi untuk menghadapi sial yang tak kunjung usai ini.'

Kalau diingat - ingat dulu Lisa tidak seperti ini, dia dulu pintar, ramah, ceria, dan hyperaktif. Namun, ada yang membuat dia berubah. Yang tentu saja, hal itu ada di masa lalunya.

Bila mengingat masa lalu itu, hanya membuat Lisa agak sesak. Tapi, ya sudahlah. Masa lalu adalah masa lalu, jalani apa yang ada di depan sekarang walau itu membutuhkan proses yang panjang.

Lisa contohnya. Walaun pun sulit untuk dijalani, dia tetap melakukannya. Jika tidak, ia tak akan bisa melangkah maju ke depan.

avataravatar
Next chapter