1 01. Awalan

Rembulan—nama gadis yang tengah menggerutu sedari satu jam lalu. Bibirnya maju beberapa centi ditambah decakkannya membuat siapa saja yang melihat tak mau mendekat. Sang kakak—Luna, yang memintanya untuk menemaninya berbelanja, menghela nafas mengamati suasana hati adiknya yang tidak baik.

"Bulan, kalau kamu masih masem gitu, Teteh tinggalin disini kamu ya!" ancam Luna ketika merasa sudah jengah dengan sikap menyebalkan Bulan, sedangkan yang di ancam menghentakkan kakinya pelan lalu berakting 180 derajat berbeda dari sebelumnya.

Gadis cantik itu menahan amarahnya lewat mendengus kasar beberapa kali, Luna yang membelakangi adiknya mendengar suara dengusan itu dan menahan tawanya.

"Teh, masih lama gak sih?" Bulan merengek bertanya sambil menggoyangkan lengan Luna rusuh. Gadis yang lebih tua lima tahun dari Bulan itu menghempaskan pelan tangan Bulan yang bergelayut menariknya.

"Ih sabar atuh! Teteh masih mau nyari baju ini, kalau kamu bosen sana pergi beli apa kek." usir Luna masih dengan matanya yang mencari-cari baju sesuai seleranya. Bulan mendengus lagi, ia menyodorkan telapak tangannya di depan wajah Luna.

Luna mengerutkan kedua alisnya bingung, "apa ini?" tanya Luna tidak mengerti, Bulan mencibir, "Bulan minta duit loh Teh, gitu aja gak paham." sebal Bulan membuat Luna mengambil dompetnya dan memberi Bulan tiga lembar uang berwarna merah.

"Jangan boros, sisain buat jajan besok-besok. Jarang-jarang Teteh mau kasih kamu duit!" omel Luna. Bulan memberi hormatnya pada Luna sembari tersenyum sumringah memegang uang yang ada ditangannya.

Tenang saja, Bulan akan berhemat, mengingat bahwa uang yang Luna beri adalah hasil kerja part-timenya dan endorse-an yang di terima. Kemudian Luna melanjutkan kegiatannya tadi, dan Bulan segera meninggalkan tempat yang sangat amat membosankan itu.

Bulan melangkahkan kakinya cepat menuju kedai kopi favoritnya. Sesampainya disana, ia langsung memesan satu cup macchiato. Setelah selesai dari kedai kopi, dia membawa dirinya ke toko buku yang ada di mall tersebut.

Seakan melayang dibawa tubuhnya, sekarang ia sudah berada di barisan rak yang berisikan jajaran novel. Suasana hatinya benar-benar berbalik drastis dari sebelumnya, melihat novel-novel tersusun rapih dan baunya yang menyeruak ke dalam rongga hidungnya, Bulan menepuk heboh tangan satunya yang memegang cup berisikan macchiato tadi.

"Gila-gila, udah lama gak ke sini kok novelnya bagus-bagus banget!" jeritnya tertahan, matanya berbinar membaca satu persatu sinopsis yang ada di belakang cover buku-buku itu.

Hingga Bulan menemukan novel yang sudah cocok di hatinya, segera ia membawa novel digenggamannya itu menuju kasir. Setelah selesai dengan urusan bayar-membayar, Bulan memilih kembali ke tempat Luna menghabiskan uangnya tadi.

Sebenarnya uang Luna banyak untuk ukuran kantong mahasiswa, karena gadis itu mendapat penghasilan bukan dari part-time atau endorse-an saja, melainkan ia masih dapat uang saku dari ayah mereka juga dari usaha kafe yang ia dirikan baru-baru ini—hasil tabungannya menjadi seleb instagram dan manggung bersama band-nya sejak SMA.

Bulan langsung bisa menemukan siluet badan Luna ketika sampai di toko baju branded langganan kakaknya itu, ia buru-buru menghampiri Luna, "Teteh masih lama lagi gak? Kalau masih, Bulan mau keliling lagi." tanya Bulan membuat Luna mengalihkan pandangannya pada tas-tas yang sedang ia lihat.

"Bentar lagi kok, ini Teteh mau bayar dulu bentar." jawab Luna yang dibalas helaan nafas lega dari Bulan. Bulan yang merasa malas di dalam memilih menunggu diluar, sebelumnya ia izin dahulu pada Luna.

"Teh Bulan tunggu luar ya." izin Bulan yang direspon anggukan oleh Luna yang masih sibuk melanjutkan kegiatan mencuci matanya. Bulan keluar dari toko baju itu, nafasnya terasa sesak berada di dalam sana, jangan salahkan dirinya yang memang tidak suka berbelanja.

Prioritas hidupnya hanya untuk makan, tidur, meme, lalu setelahnya baru yang lain.

Gadis manis itu keluar lalu menyenderkan punggungnya di kaca depan toko, ia menunggu sambil memeriksa notifikasi dari ponselnya. Ada beberapa pesan, entah dari temannya atau yang tidak ia kenal. Sesekali ia seruput macchiatonya sampai habis tak tersisa.

Ponselnya ia masukkan kembali dalam saku celananya, Bulan berjalan menuju kotak sampah di seberangnya untuk membuang bekas minumannya tadi.

Selesainya membuang sampah, ia membalikkan badannya untuk kembali pada posisi semulanya menunggu Luna. Tetapi sebuah benda seukurannya tiba-tiba menabraknya membuatnya reflek menutup mata, menyebabkan badannya terhuyung kehilangan keseimbangannya.

Untungnya tangannya cepat menyangga pembatas kaca yang ada didekatnya, kalau tidak ia bisa terjatuh dan terpentuk pembatas kaca itu. Bulan mengelus dadanya pelan, berusaha menormalkan detak jantungnya yang memompa cepat karena terkejut akan hal yang baru saja terjadi.

"Lo gak apa-apa 'kan?" terdengar suara berat bertanya menanyakan keadaannya, Bulan membuka matanya, menatap kesal orang itu.

"Gak. Untung ada penyangga, kalau gak kepala-ku bisa bocor kepentok kaca itu." jawab Bulan menyindir. Sejujurnya cowok di depannya ini sangat-amat-tampan, tadi saja pas dia membuka matanya, Bulan kira dia sudah berada di surga.

Namun ia buang jauh-jauh pikiran gilanya itu setelah tahu bahwa cowok di depannya ini yang menabraknya secara bar-bar.

Cowok itu tampak tak merasa bersalah. Lihat saja, disindir begitu bukannya minta maaf malah memberinya tatapan super dingin.

"Bagus kalau gak kenapa-napa." respon datar cowok itu membuat Bulan membuka mulutnya tak percaya. Sumpah ralat rasa kagumnya tadi! Dia benar-benar kesal karena orang di depannya ini tak ada sepatah katapun mengeluarkan kata maaf.

Bulan berkacak pinggang sambil mengangkat dagunya, "Mas itu udah nabrak aku harusnya minta maaf, kok malah gak tahu diri banget sih, seolah-olah gak bersalah." omel Bulan sedikit menaikkan nada suaranya.

Cowok itu memberinya tatapan yang tak bisa diartikan, "yaudah, pinjem hape lo sebentar." pinta cowok itu. Bulan membulatkan matanya kesal.

"Buat apa?" tanya gadis itu garang.

"Mau gue minta maaf 'kan?" tanya balik cowok itu, Bulan menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan cowok itu. Ia main menurut saja. Tangannya langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, lalu menyodorkan benda persegi panjang miliknya kepada sosok yang tidak sama sekali ia kenali.

Ponselnya sudah berpindah tangan, saat ini ponselnya tengah di kutak-katik oleh cowok di depannya itu. Tak lama dari itu diserahkan kembali ponsel Bulan.

"Gue minta maaf udah minta kontak lo tanpa izin, tapi gue gak bisa minta maaf soal lo yang mau jatuh, karena yang nabrak bukan gue, tapi temen gue." ujar cowok itu membuat Bulan menganga atas apa yang di lakukannya. Bulan buru-buru melihat kotak pesan, ada pesan yang dikirim ke sebuah nomor asing yang sudah di beri nama.

Angkasa.

Bulan memberikan tatapan tajamnya pada cowok bernama Angkasa itu. "Kenapa gak bilang dari awal?" tanya Bulan kesal, Angkasa tersenyum miring.

"Lagian lo lucu sih, marah-marah duluan. Jadi ya gue pengen ngerjain dulu, untung juga bisa dapet nomor lo." jawaban tengil Angkasa membuat Bulan menggeram kesal, "Woi Le! Leo!" sahut Angkasa memanggil temannya yang baru saja ingin kabur.

Leo—teman Angkasa yang menabraknya tadi—datang dengan wajah lempengnya yang tidak bersalah. Bulan mendengus, teman sepertemanannya sama saja, sama-sama tidak punya rasa bersalah.

Leo datang langsung merangkul Angkasa sambil matanya menatap Bulan kagum, "wih bro, dapet aja yang bening." goda Leo membuat Bulan bersiap-siap ingin menonjok wajahnya, emangnya dia cewek apaan?

Angkasa menggeleng melihat kelakuan Leo yang sudah biasa disaksikannya jika melihat ada yang bening sedikit, "ini cewek lo tabrak tadi, dia minta lo buat minta maaf." jelas Angkasa yang langsung Leo tanggapi dengan menyodorkan tangannya di hadapan Bulan.

Kemudian dia memberi senyum tengilnya, "aku minta maaf ya udah buat kamu sakit." ujarnya meminta maaf sambil menunggu Bulan menanggapi uluran tangannya, tetapi yang gadis itu lakukan hanya melihatinya dengan tatapan menilai.

"Dibales dong cantik, biar afdol maaf-maafannya." sahut Leo yang merasa pegal ditangannya, Bulan menggeleng.

"Emangnya aku gak tau apa kalau kamu mau modus." sinis Bulan dihadiahi tawa Angkasa yang meledak. Wajah Leo merengut, turun sudah harga dirinya. Cepat-cepat Angkasa langsung menurunkan tangan Leo yang masih setia mengulur.

"Bulan!" terdengar sahutan dari seberang, Bulan lantas menengok pada arah datangnya suara. Dilihatnya Luna sedang berjalan menghampirinya membawa beberapa plastik belanjaannya, kedua orang di depannya itu lantas menengok juga lalu entah kenapa saling memberi kode lewat tatapan mereka.

"Kak Luna Sa, udah lama gak liat makin cakep aja gile." bisik Leo terdengar oleh Bulan, Angkasa memilih tak menanggapi apa yang ada di otak Leo, "ayo cabut." ajak Angkasa yang tidak di hiraukan Leo. Karena kesal, Angkasa menarik paksa temannya yang sudah menetes air liurnya kemana-mana setelah melihat Luna.

Bulan memperhatikan Angkasa dan Leo yang sudah menjauh, bisa dilihat dari tempatnya kalau Leo sedang menggerutu karena Angkasa yang rusuh menariknya. Bulan menggelengkan kepalanya melihat hal barusan, "kenapa Bul?" tanya kakaknya itu heran, Bulan menggeleng lagi memastikan tidak ada apa-apa.

"Gak ada apa-apa Teh, yuk pulang." ajak Bulan mengalihkan pembicaraan dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Luna yang keheranan.

avataravatar
Next chapter