webnovel

Prolog

Kemeja putih, rok abu panjang semata kaki, sepatu Converse hitam, dari ketiga hal itu hanya satu yang menggambarkan; lusuh. Sama seperti wajahnya yang bertengger kaca mata besar di mata yang juga besar tampak lusuh tak terdapat semangat hidup di sana.

Hari senin, hari paling gadis itu benci. Hari yang bak mencekiknya, tidak membiarkan gadis yang duduk di bangku SMA itu untuk sekadar bernapas panjang. Namanya Maira atau lebih disebut kutu buku abal-abal. Entahlah mengapa panggilan itu yang teman-teman sekolahnya berikan, mungkin karena Maira anak yang gemar membaca tapi tidak pandai alasan terkuatnya.

Kembali ke hari sial, mengapa begitu? Biar Maira jelaskan.

Hari senin dimulai dengan upacara bendera yang pastinya dilakukan di bawah terik sang surya, Maira anggap sebagai pagi di padang pasir, sangat-sangat gersang. Berlanjut di jam pertama yang ditempati pelajaran matematika. Sungguh mulia sekali yang menyusun jadwal pelajaran itu. Ditambah guru yang mengajar terkenal killer, ia bahkan punya prinsip 'jika tidak mengerti, jangan sekolah'. Benar-benar merepotkan, kan Maira jadi harus lebih fokus tiga kali lipat. Selanjutnya, jam olahraga menyusul. Yang ini sebenarnya masih terbilang santai, tapi tidak untuk Maira yang lebih baik mendengar ceramah panjang dari pada ikut panas-panasan, pun dia minim dalam mata pelajaran penjaskes itu. Dan yang terkahir, ini bagian tersulit; rapat rutin OSIS.

Jangan terkejut, karena Maira pun juga masih tak mempercayainya. Seorang manusia lemot nan tidak mau repot menjadi anggota OSIS, sungguh sebuah kebanggaan yang memusingkan.

Maira sendiri tak mengerti mengapa ia harus terjebak di lingkaran organisasi penuh dengan misi itu.

Omong-omong Maira ini kelas sepuluh jurusan IPA; satu keputusan yang membuatnya menyesal sampai sekarang. Saat ini, sudah pukul lima belas lewat satu menit, Maira melangkah biasa di atas trotoar. Tujuan utama adalah mencapai halte untuk menunggu metromini datang.

"Akhirnya bisa napas juga." Maira menghempaskan tubuh ke kursi halte, tapi berlagak tengah duduk di sofa empuk saking nyamannya.

Di halte tidak banyak orang, alasan utama karena para murid lebih banyak yang membawa kendaraan sendiri atau seperempatnya diantar jemput oleh orang rumah.

Sebenarnya Maira bisa juga seperti mereka, pun adik kembarnya satu sekolah meski masuk dengan jurusan berbeda; IPS, membekal sepeda motor Scoopy dengan rem belakang yang sedikit lemot jika diajak berhenti. Tapi ia malas, duduknya nanti pegal jika terjebak macet, lebih baik duduk manis di dalam metromini sambil mendengarkan lagu lama dari Afgan.

Sepasang kaki Maira yang sejengkal lagi mencapai tanah itu terayun-ayun sambil mulut yang bergumam hal random. Maira menoleh ke samping kanan, ternyata di sana ada orang juga yang tengah menunggu kedatangan metromini.

Dia seorang pria yang dilihat dari penampilannya lebih menunjuk ke mahasiswa. Jaket bomber maroon, celana jeans panjang biru dongker, sepatu yang sama seperti yang Maira pakai terpasang pas di tubuh atletis pria itu. Pandangannya terkunci ke satu buku di genggaman satu tangannya, terlihat asyik seperti tengah membaca novel fantasi padahal yang dibaca buku tentang hukum. Maira tebak pria itu mahasiswa dengan jurusan hukum.

Tak lama kemudian metromini yang sudah lama dinanti seperti tanggal muda di setiap bulan akhirnya datang. Maira loncat turun --itu hanya lagaknya saja-- menghampiri sang kenek yang menyapa karena sudah langganan, lantas naik dan mencari tempat duduk paling strategis untuk menikmati udara sore yang nyaman sebagai teman tidur.

"Yok, yok, jalan!" seru sang kenek naik lagi.

Maira mengedarkan pandangan untuk menemukan mahasiswa tadi, tapi tidak ia temukan. Ia jadi melempar pandangan ke luar jendela dan ternyata benar mahasiswa itu belum naik atau mungkin tidak akan pernah naik.

Kepala Maira jadi memutar agar bisa leluasa memperhatikan mahasiswa yang anehnya justru beranjak dari duduk setelah metromini bergerak maju.

Next chapter