webnovel

00 ㅡ PROLOG

Selina Adinantya.

Gadis cantik yang kini memilih duduk dibawah pohon rindang pinggir lapangan bola di sekolahnya, Scarletta Academy (ScAmy). Gadis dengan ciri khas baju urak-urakan dan rambut hasil catokan yang terlihat bergelombang berwarna cokelat dan sedikit kemerahan itu berulang kali menghela nafasnya, sudah hampir dua jam, namun seseorang yang Ia nantikan belum juga selesai latihan basket. Kemudian, Ia sedikit melirik ke arah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit, yang artinya, Ia telat pulang ke rumah selama satu jam lebih lima belas menit.

Merasa jengah, Selina memilih mendekat ke arah lapangan lalu duduk diantara banyaknya tribun di ScAmy.  Memandang cowok yang tengah berada ditengah lapangan basket itu dengan tatapan memuja dan kagumnya.

"LANGIT, SEMANGAT!". Teriak Selina keras, membuat suara gadis itu terdengar hingga bergema karena suasana sekolah yang sudah sepi.

Baru saja Selina akan melangkah mendekat ke arah Langit, seorang gadis cantik lainnya telah berada di depan Langit terlebih dahulu. Membuat gadis yang tengah berdiri di tribun ScAmy itu langsung diam tak bergeming.

"Langit, minum buat kamu".

Samar-samar namun pasti, Selina mendengar suara yang di keluarkan oleh gadis itu, yang jelas, nadanya lembut dan terdengar adem, bukan seperti dirinya yang lebih sering berteriak, dan mengeluarkan efek seperti suara kaleng rombeng.

"Thanks, belum pulang?". Tanya Langit kepada gadis itu, membuat Selina langsung menahan rasa sesak di dadanya dan bertanya dalam hatinya, kapan dia bisa merasakan hal itu?

"Belum, aku nunggu Papa. Kebetulan Papa lagi ada dijalan sekarang, maybe macet. Kamu tumben, kenapa latihannya lama?ada masalah di rumah?".

"Nggak ada, cuma pengin".

"Yakin?".

"Iya, Kanin".

Mungkin efek gemas, Langit mencubit pelan kedua pipi Kanin- si gadis manis yang memiliki nama lengkap Kanina Anindita, karena cubitan itu, Kanin meringis pelan, tidak sakit, hanya sedikit terkejut karena sikap Langit yang spontan.

Tidak tahan di kejadian di depan matanya, Selina langsung berjalan mendekat ke arah mereka, melupakan rasa sakit di dadanya, bagaimanapun, Ia tidak boleh terlihat lemah.

"LANGIT!".

See?Langit bahkan menutup kedua matanya ketika Selina memanggil namanya, apakah sebegitu merdunya suaranya hingga cowok itu harus menutup kedua matanya?

"Hai, Selina".

Selina tersenyum, tepatnya tersenyum canggung ke arah Kanin. Karena Selina selalu menganggap bahwa Kanin adalah musuhnya, bukan teman seperti yang seperti Kanin anggap tentangnya.

"Minum, buat kamu".

Melihat hal itu, Langit langsung menatap Selina malas. Ia langsung menunjukan sebotol minum yang baru saja diberikan oleh Kanin, membuat Selina merutuki kebodohannya di hadapan Langit dan Kanin.

"Mungkin, lain kali aku harus gercep". Ujar Selina pelan, seperti bergumam namun tetap bisa di dengar oleh kedua insan di depannya.

"Ah, itu mobil papa udah ada di depan. Langit, Selina, aku pulang dulu, ya!oh iya-"

"-Langit, kamu bisa kan, antar Selina pulang dulu?kasihan dia udah nunggu kamu lama".

Selina menoleh terkejut ke arah Kanin, melihat Kanin yang sepertinya mengkode dirinya untuk menurut, Selina mengangguk kecil. Sekarang, dirinya merasa jahat karena menanggap Kanin sebagai musuh yang jelas-jelas membantunya mendekati Langit.

"Nggak, sibuk".

Mendengar itu, Selina lantas terkekeh geli. Sepertinya Langit mencoba menghindari untuk mengantarkan dirinya pulang.

"Ish, nggak boleh gitu, terima aja si!". Kesal Kanin, membuat Langit langsung mengangguk  pasrah karena harus mengantarkan Selina pulang, ingat!dengan garis bawah- terpaksa.

Dalam hatinya, Selina bersorak senang. Akhirnya, dua tahun penantian pulang bersama, Selina bisa merasakannya sekarang, walau perlu digaris bawahi sekali lagi- terpaksa.

"Aku pamit, dadah!".

Kanin berjalan menjauh, meninggalkan Langit yang menatap punggung gadis itu dengan tatapan tak dapat diartikan, dan Selina yang merapalkan ucapan terimakasih berulang kali kepada Kanin di dalam hatinya.

"Cepat, gue tunggu".

Singkat, namun tak urung membuat jantung Selina berdetak tak normal, dan di perutnya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan.

Kemudian, Selina mengikuti langkah besar Langit yang sudah berjalan terlebih dahulu di depannya, sudah seperti imam-makum, belum?

"Pakai". Ujar Langit sembari menyodorkan hoodie hitam khas miliknya, walau Ia terpaksa mengantarkan Selina pulang, Langit masih punya hati untuk tidak membiarkan Selina kedinginan di keadaan siang yang cukup mendung ini.

"Makasih, Langit". Selina bergumam, mengatakan terimakasih kepada Langit karena telah membuat kondisi hatinya cukup baik untuk siang ini.

Di dalam perjalanan pulang, sesekali Selina memeluk tubuh kokok milik Langit, walaupun ujung-ujungnya di tegur oleh Langit, Selina bahkan tetap melakukannya berulang kali. Tidak perduli dengan dengusan kesal yang keluar oleh mulut Langit.

"Turun!". Sarkas Langit tajam saat motor sport berwarna hitam miliknya sudah berada tepat didepan gerbang rumah Selina yang cukup luas itu.

"Ish, padahal kan, masih pengin lama-lama".

Langit kembali mendengus, entah untuk yang keberapa kalinya saat bersama Selina siang ini.

"Makasih, Langit". Ujar Selina tulus, kali ini, Ia benar-benar berterimakasih, bukan seperti biasanya yang Ia lakukan untuk menarik perhatian Langit, istilah gaulnya- caper.

Tanpa pamit, Langit langsung melesatkan motornya menjauh dari rumah Selina. Rasanya, kalau bukan karena permintaan Kanin, Ia pasti akan menurunkan Selina secara paksa sedari-tadi saat berada diperjalanan karena sudah berani memeluknya tanpa izin. Meninggalkan Selina yang hanya bisa tersenyum miris, kembali di tarik ke dalam kenyataan bahwa Langit hanya mencintai gadis itu, hanya dan mungkin takkan pernah tergantikan oleh siapapun.

Hanya Kanin, Kanina Anindita.

•••

"Bagaimana, pasti ada perubahan kan, dok?".

Dokter spealis yang sudah hampir tiga tahun lamanya menangani kasus penyakit gadis di depannya itu menggeleng pelan, "tidak ada, maaf".

"Maksud dokter, kemo yang aku jalani, sama sekali nggak membuahkan apapun selama hampir tiga bulan ini?". Tanya gadis itu pelan, diiringi suara yang menahan isakan-isakan kecil dari mulutnya.

"Bukan seperti itu, tetapi kamu hanya perlu berusaha lebih keras lagi, Kanin".

Siapa sangka, gadis yang selalu terlihat ceria itu ternyata memiliki penyakit mematikan di dalam tubuhnya yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali dia, dokter Rian, dan sang ayah.

"Tenang, sayang. Dokter Ryan pasti akan melakukan yang terbaik untuk kamu, kamu jangan menangis seperti ini". Ujar sang ayah- Reno Adhitama yang berusaha membuat putri tunggalnya berhenti mengeluarkan air matanya.

"Kalau aku gagal, berarti, aku bakal ketemu sama Mama, dong?".

Lolos sudah air mata Reno dalam menghadapi Kanin. Pertanyaan yang muncul dari mulut Kanin membuat Reno benar-benar membayangkan bagaimana jika sang putri meninggalkannya seperti istrinya karena telah mengorbankan nyawanya untuk sang putri tunggal mereka.

"Nggak, Kanin nggak boleh gagal, harus berhasil dong, nanti yang nemenin papa disini, siapa?".

"Doain aja ya, pa".

Dokter Ryan yang medengar percakapan itu hanya bisa tersenyum tipis, berusaha setegar Reno yang melihat sang putri terbaring lemah di brankar rumah sakit setiap minggunya.

"Sekarang, Kanin istirahat, tapi jangan lupa bangun ya, nak".

Entahlah, Reno sendiri pun tak tahu, mengapa Ia harus melontarkan kata-kata itu?mulutnya memang tidak bisa terkontrol saat Ia sedang sedih, sama seperti wajahnya yang ekspresif terhadap suatu kejadian.

ㅡ To be continue,-

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

pinkhairminju_creators' thoughts
Next chapter