Di tempat yang kumuh dan becek ini, hanya aku seorang diri yang berdiri.
Menatap ke jalanan yang ramai dengan pejalan kaki, menyaksikan pakaian yang gemerlap yang mereka kenakan, merasa iri dengan senyum anak-anak yang sebaya denganku.
Aku di sini. Di tempat yang dimana orang-orang menatap rendah padaku. Meremas ujung pakaian yang robek dan kumus, memiliki badan yang bau yang sanggup menutup hidup para bangsawan.
Aku merasa iri setiap kali melihat anak-anak yang sebaya denganku tertawa, meminta sesuatu sambil merengek, lalu mendapati kehendaknya.
Aku iri ….
"Hei, nak."
Aku menengadah. Menatap seorang wanita yang juga berpakaian mewah di depanku.
Senyum terukir di bibir merahnya, matanya menyipit karena senyum lebar tersebut. Sedang apa wanita itu berdiri di depan ku?
Kulihat tubuhnya membungkuk untuk melihatku dengan jelas. Hei, apa Anda tidak merasa sungkan dengan anak kumuh ini?
Tangannya mengulur ke depan wajahku, menganakan sarung tangan yang begitu indah dilihat, tapi … untuk apa? Untuk apa beliau mengulurkan tangan ke aku?
"Ada apa? Tidak mau meraih tanganku? Tanganku sudah pegal mengulur ke depan wajahmu," ucapnya.
"Itu … apa Nyonya tidak merasa jijik denganku?"
Wanita tersebut memiringkan kepalanya. Terlihat kebingungan dengan pertanyaanku.
"Untuk apa? Kita sama-sama manusia, kalau kamu bukan manusia, baru aku akan lari– dan, jangan memanggilku dengan sebutan 'nyonya', aku masih belum menikah, panggil saja aku Nona Fleur," ucapnya panjang lebar.
Suaranya terdengar lembut dan hangat. Dengan penampilan yang rapi, make up seadanya, tapi tetap menambah kecantikannya, lalu rambut coklat yang disanggul rapi dengan manik-manik perhiasan tambahan membuat tubuhku bergerak semaunya.
"Ba– baik …," balasku.
Aku meraih tangan seorang bangsawan, memegangnya dan terasa tangan tersebut begitu lembut.
Meskipun ada rasa tidak enak karena badanku kumuh yang tidak pernah mandi.
"Siapa namamu?" tanya Nona Fleur.
Aku berdiri di hadapannya, menengadah dengan kening mengernyit.
Baru pertama kali aku berbicara dengan orang, aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, aku dapat mengerti apa yang dia ucapkan.
Namaku?
Aku menundukkan pandangan ketika memikirkan kata nama itu. Menatap ujung kaki sepatu yang usang dan sedikit berlobang. Otakku bekerja keras memikirkan nama yang selama ini tidak kuketahui.
"Namaku …."
Siapa namaku?
Tidak ada seorang pun yang memanggilku, tidak ada satu pun nama yang terlintas dibenakku.
Apa aku memiliki nama sebelumnya?
Ingatan dimasa lalu yang nihil, ketika membuka mata, hanya ada bangunan tinggi dan lingkungan yang kumuh.
Akan tetapi, satu hal yang masih membekas di ingatan anak berumur 8 tahun ini.
Tanganku merogoh baju dalamku, menarik suatu benda yang mungkin saja dapat memberikan jawaban pada Nona Fleur.
Terlihat mengingat liontin yang sejak aku tersadar sudah bertengger di leher, aku menunjukkannya pada Nona Fleur.
"Aku … tidak tahu siapa namaku, tapi aku memiliki ini. Hanya saja … aku tidak bisa membacanya," ungkapku pada Nona Fleur.
Sirat mata Nona Fleur yang semula normal itu menjadi sendu. Dia bahkan mengernyit, dan juga aku melihat rinangan air yang ada di matanya.
"Tidak punya nama …," gumam Nonan Fleur.
Beliau mendekatkan wajah ke liontin yang aku tunjukkan. Liontin ini tampaknya berharga olehku, tapi saat ini aku tidak mengingat apa-apa. Warna batu yang ada di dalam liontin ini ialah berwarna merah, lalu rantai kalungnya yang mengelilingi leherku terlihat seperti emas– itu karena, sampai saat ini, tidak ada karat di rantai ini.
Tidak cukup waktu yang lama, Nona Fleur langsung menunjukkan wajah cerahnya. Wajah ramah yang sedari tadi ditunjukkan padaku.
"Tidak apa! Aku menemukan namamu di liontin ini! Di belakangnya tertulis Luna dan mungkin saja namamu itu Luna!" ucapnya, terkesan ramah.
Mataku melebar ketika aku mendapati nama sendiri. Bagai bunga-bunga berterbangan ke sekitarku, aroma sejuk seperti surga yang dikatakan orang seakan tercium dihidungku.
Katakan saja aku berlebihan, tapi bagiku, aku yang tidak mengetahui diri ini apa-apa hanya mengetahui nama saja mampu membuatku senang.
"Luna …."
Tanpa kusadari, aku menggumam nama Luna yang begitu indah disebut.
-o0o-
Sudah 12 tahun berlalu, tapi hanya sedikit yang berubah.
Kisahku yang begitu pilu, memiliki nasib yang malang setiap kali berjalan ke sana kemari, ditatap benci oleh orang-orang, lalu dituduh sebagai pembunuh.
"Jadi, yang membuat satu daerah menjadi rata itu karena ulah dia?"
Aku berjalan menunduk menghindari tatapan orang-orang yang kulewati. Sesekali tersandung akibat batu, lalu terjatuh. Tangan yang diikat erat dengan tali yang telah disihir itu diseret paksa oleh pria yang mengenakan baju zirah dengan kasar. Pada akhirnya, aku cepat-cepat berdiri, lalu tertatih ketika ditarik.
Sebenarnya, pandangan orang-orang yang menatapku dengan benci dan jijik sudah menjadi hal yang lumrah bagiku. Tapi, tidak kusangka bahwa kematian kali ini juga ikut campur.
Aku menengadah. Menatap punggung dari pria yang mengenakan zirah tersebut.
Hendak ku bicara, tapi tak bisa karena mulutku terasa kelu. Itu dikarenakan, sebelumnya aku disiksa dimalam hari, disayat, diberi garam, bahwa dicambuk cukup keras.
Padahal, aku kemari hanya untuk mengembara. Mencari keluargaku, mencari serpihan ingatan masa lalu, lalu mencari kehidupan yang bergelimang harta.
Hanya itu!
Tapi, apa yang sekarang ku hadapi?
"Dasar penghancur!"
Batu yang sebesar kepalan tangan itu berhasil mengenai pelipisku, membuatku terhenti dan menyaksikan tetes darah jatuh ke atas tanah kering.
Sempat mataku melebar karena darah segar lagi-lagi keluar dari tubuhku, tapi apa daya? Melihat pelaku diantara keramaian hanya sia-sia.
Pada akhirnya, aku menunduk sambil berjalan secara terpaksa menuju tempat eksekusi orang-orang yang telah memberontak pada Kerajaan Ilios.
Kilatan tiba-tiba muncul dari samping. Spontan, pandanganku beralih ke sumber tersebut– tepatnya di sisi kiri yang juga diramaikan oleh rakyat Ilios.
Namun, apa yang kudapati adalah nihil, sampai ksatria yang ada di belakangku melesatkan satu cambukan yang tepat ke bagian betis.
"Akh-!"
Aku merintih kesakitan, sedangkan orang-orang di sekitar sini bersorak sambil bertepuk tangan dengan riang.
"A– aku bukan pemberontak!" bantahku sekuat tenaga.
Tapi tak ada yang mau mendengar pembelaanku. Malahan, ksatria yang di belakang itu justru kembali melesatkan cambukannya tepat ke bekas cambukan barusan.
Aku meringis, merintih kesakitan, lalu lagi-lagi terjatuh karena tak sanggup untuk berjalan.
Dapat kurasakan darah yang hangat menjalar di sekitar kakiku. Tak berani kulihat darah itu, karena mengerikan.
"A– aku. Aku tidak tahu … aku tidak di sini kemarin," bela ku lagi.
Ksatria itu seolah menulikan pendengaran mereka. Mereka hanya menjalankan tugas, tapi ke mana rasa iba mereka?
"Jangan membual! Cepat jalan!"
Sedangkan ksatria yang ada di depan; yang sedang memegang tali rantai itu menarik tali itu dengan kuat. Sampai, mau tak mau aku beranjak dengan langkah gontai menuju tempat eksekusi.