webnovel

BERITA PERNIKAHAN

Nuraini Nuraida...

Gadis manis cukup cerdas hanya saja dia terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Sejak kecil memiliki cita-cita mondok di pondok pesantren besar.

Karena orangtuanya tidak mampu memberi biaya, maka Nuraini pun menjadi abdi bu nyai, hingga kini di usianya yang sudah remaja, dia sudah menjadi ustadzah di pondok itu sendiri. Namun, pengabdiannya tetap berjalan.

"Nur... Apakah kamu nggak ada keinginan untuk menikah? Kalau memang ada insyaallah, abah ada pandangan pria baik dan cocok untuk menjadi imammu kelak," ucap bu nyai Hj. Aisyah. Ini adalah pertanyaan yang kelima kalinya di tahun ini.

Gadis itu hanya tertunduk malu sambil tersenyum. Dalam hatinya berkata, 'Saya siap menikah kapan pun juga asal yang meminangku adalah mas Rayyan. Tapi, bukankah dia sudah akan menikah?'

"Umi tidak memaksamu. Ingat usiamu sekarang sudah tidak muda lagi sudah pantas untuk membina rumah tangga. Bukankah menikah itu adalah sunnah yang sangat dianjurkan?"

"Iya, Umi. Nur tahu. Tapi... " Gadis itu tidak meneruskan kalimatnya. Dibiarkan mengambang.

"Tapi kenapa, Nur? Apakah kamu ada pandangan orang yang kamu sukai?" tanya Bu nyai. Seolah, dia peka dan tahu apa yang ada dalam pikiran Nuraini.

"Tidak, Umi. Nuraini manut Umi sama abah saja," jawab gadis itu.

"Ya sudah, kalau begitu, Umi akan diskusikan lagi sama Abah. Kamu, sudah sholat Dhuha apa belum, Nur?"

"Sudah, Umi. Tadi, ham tujuh lewat lima belas menit."

"Ya sudah, kalau begitu Umi mau salat duha dulu. Takut nanti waktu keburu masuk dhuhur."

Nuraini melanjutkan mengelap piring basah untuk makan siang para santri nanti namun pikirannya menerawang ke mana-mana dia masih kepikiran tentang Rayan yang beberapa saat lalu datang ke sini dan membahas terkait pernikahan.

'Mas Rayan kamu benar-benar mau menikah? Dengan siapa gadis mana kiranya yang beruntung diperistri olehmu?' batin Nuraini namun walaupun dia sudah meyakinkan pada dirinya bahwa yang akan ditekan bukanlah dirinya sendiri namun ia masih saja tetap berharap kelak suatu saat jika sudah tepat waktunya bu nyai atau Abah pengurus pondok pesantren Baitul jannati akan mengatakan bahwa dia diminta seorang pemuda Soleh yaitu adalah Rayan.

Suatu hari di dalam kedatangan seorang tamu. Dia adalah adik dari apa yang tinggal di luar kota, orang tuanya Rayan. Nuraini sampai hafal setiap kali yang dibahas ketika mereka datang pasti tentang pernikahan Rayan.

Kala itu dia datang menyuguhkan teh, dan beberapa makanan ringan. Jadi, tanpa sengaja dia juga menangkap percakapan mereka.

"Iya... ini kan, semua sudah lengkap syarat-syaratnya ke KUA dan juga, laporan pada kesatuan Rayan. Pihak perempuan jika telah melalui tes sebagai calon istri abdi negara dia juga telah lulus jadi bagaimana Bang pernikahan dilakukan kapan sebaiknya?" tanya kyai Anwar.

"Jadi semua sudah lengkap tinggal kita menjalankan pernikahan itu. Ya sudah pernikahan adalah salah satu perkara yang tidak boleh ditunda-tunda dan harus segera dilaksanakan. Memangnya Rayan kapan pulang dari tugas?"

"Besok."

"Ya sudah ajak dia dengan istrinya datang ke sini untuk acara pernikahan insyaallah jatuh pada tanggal 12 Desember."

Terlihat, wajah yang sering ah dari kedua orang tua Rayan saling berpandangan dan sangat senang sekali.

Nuraini segera meletakkan nampan di atas meja. Iya berlari menuju kamar mandi menyalakan keran dengan kencang bersembunyi di dalamnya dan menumpahkan air mata yang membuat hatinya sesak.

"Sudah beberapa kali kuyakinkan hati ini bahwa Mas Rayan, memang tidak menikah denganku. Tapi kenapa Nur Kamu tuh masih berharap yang akhirnya membuat di rumah sakit sendiri?" gumamnya seorang diri.

Mengingat ucapan kata istrinya juga harus diajak ke sini pasti keduanya juga telah menikah walaupun mungkin masih ijab siri dan 12 Desember itu adalah ijab qobul dan resepsinya.

Nuraini mencuci wajahnya hingga beberapa kali menyembunyikan bekas tangisan yang membuat kedua matanya memerah.

Setelah suasana hatinya sudah membaik dan sedikit tenang akhirnya gadis itu pun berani keluar dan memulai aktivitas lain seperti biasanya sebagai abdi, atau hadamnya bu nyai.

Suatu ketika Nuraini membantu punyai Aisyah mempersiapkan keperluan yang akan beliau bawa ke rumah adik iparnya.

Mereka mengobrol kan sesuatu yang bersangkutan dengan Rayan yang akan segera melaksanakan acara resepsi pernikahan.

"Nur kamu ada baju pesta apa nggak sebentar lagi keponakan Abah sama Umi akan melakukan acara pernikahan kamu ikut umiya temani Umi menghadiri acara tersebut."

"Insyaallah, ada Umi. Kalau boleh tahu, siapa yang menikah? Apakah mas Rayan, alumni santri sini?" tanya Nuraini. Akhirnya dia merasa hatinya sedikit lega setelah berhasil menanyakan hal tersebut untuk mendapatkan kepastian.

"Iya Rayan yang mau menikah dia juga menikah dengan santri  wati pondok sini."

Nuraini diam bingung harus menanyakan apalagi terlalu banyak bertanya pada ibunya juga tidak sopan.

"Mereka berdua itu sebenarnya sudah menikah tapi masih ijab siri untuk keperluan membuat surat izin pada kesatuan nya Rayan kuota seorang abdi negara yang memiliki itu sangat ribet calon istri juga harus melalui berbagai tes dan harus lolos. Sebab, apabila tidak lolos, maka dianggap tidak layak."

"Memang, istri mas Rayan alumni juga, apa masih mondok, Mi?"

"Dia juga mengajar di sini. Teman baikmu," jawah umi Aisyah.

Seketika, pikiran Nuraini langsung tertuju pada Arsyla. 'Apakah benar, itu Arsyla. Tapi, selamanya dia tidak pernah bercerita atau menunjukkan pada aku dan juga Ruroh bahwa dia telah menikah. Atau, jangan-jangan... "

"Apakah itu Arsyla," hanya Nuraini secara spontan. Walaupun sebenarnya dia tidak begitu yakin.

"Iya, Nur."

***

Sejak mengetahui kalau sahabat baiknya telah menikah dengan orang yang selama ini diam-diam ia sukai, dia jadi lebih banyak diam. Banyak hal yang ia pikirkan..

"Mbak, Nur. Kenapa akhir-akhir ini kau terlihat berbeda?" tanya Ruroh. Entah, kapan dia masuk ke dalam wisma. Tahu-tahu sudah ikut duduk di sebelah Nuraini saja.

"Memangnya berbeda bagaimana?" tanya gadis kalem itu dengan tenang.

"Yang berbeda saja biasanya kan Mbak Nur selalu diam dan kali ini jauh lebih jadi pendiam. Kenapa ada masalah?" tanya Ruroh lagi. Biasa, sikap keponya selalu kumat.

"Kamu tahu, tidak kalau mas Rayan sudah menikah?"

"Hah! Jadi, kau ini patah hati? Sabar mbak Nur... Sabar, ya? Innallaha ma'ashobirin, dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sudah, kalau dia menikah dengan wanita lain, artinya dia tidak pantas untukmu. Dia bukan yang terbaik untuk mu mbak. Relakan saja, ya?"

Nuraini hanya diam dan tersenyum tipis memperhatikan Ruroh yang sejak tadi terus saja nyerocos. Tapi, ini lumayan, bisa sedikit menghibur hatinya.

Bukan dari dalil yang baru dua ucapakan. Tapi, dari sikap dan sifatnya yang memang selalu ingin menghibur.

Next chapter