32 Semua Tak Sama Lagi

🍁🍁🍁

Waktu yang bergulir meninggalkan sesak dalam ingatan. Terasa berat untuk bernapas saat mengingatnya. Ketidakhadirannya seperti kepingan puzzle yang hilang. Tak lengkap lagi. Semua tak sama seperti dulu.

Tak terasa sudah seminggu Dikta pindah ke divisi keuangan. Genap seminggu Aisha harus terbiasa tanpa melihat pria itu berkeliaran di sekitarnya bagai bayangannya sendiri. Kehilangan. Pasti. Tak ada pria yang sigap menangani pekerjaan yang sedikit sulit dan butuh fokus yang sempurna. Tak ada lagi seseorang yang dengan mudahnya mengatur semua jadwal pertemuannya, memastikan dia bisa bertemu klien betapa pun sulitnya membujuk sang klien.

Apakah dia juga rindu? Entahlah. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh pagar dan jalanan kompleks tetapi dia sudah sangat jarang melihat Dikta di kediamannya. Rumah mungil itu selalu sepi dengan pintu tertutup. Entah pria itu ada di rumahnya atau tidak, Aisha begitu enggan untuk memeriksanya. Dia yang mendorong Dikta pergi maka akan terasa canggung jika dia juga yang lebih dulu menghampirinya.

Aisha memejamkan mata, berusaha mengusir kata rindu yang melayang-layang di rongga pikirannya.

"Ma, haus." Suara bocah di sampingnya membangunkan Aisha dari lamunannya. Aisha menoleh pada putranya yang baru beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Wajah bocah empat tahun itu masih terlihat pucat dan sedikit lebih kurus. Setelah mengalami keracunan makanan, Alfa sedikit trauma makan. Terutama es krim yang menjadi makanan favoritnya. Bocah laki-laki itu hanya mau makan masakan yang dibuat ibunya.

Perlahan Aisha membantu Alfa meneguk air putih yang dipintanya. Setelah menghabiskan separuh isi gelasnya, Alfa kembali merebahkan tubuhnya yang ringkih.

"Alfa mau makan, Sayang?" tanya Aisha sembari mengusap lembut anak rambut yang menutupi dahi bocah tersebut. Sang bocah menggeleng pelan.

"Alfa pengen paman Dikta. Alfa kangen paman," ucap Alfa dengan wajah memelas pada ibunya.

Aisha tercekat. Dia mengatupkan bibirnya rapat tak tahu harus mengatakan apa pada putranya. Dia hanya menatap putranya yang juga menatapnya memelas. Akhirnya Aisha menghela napas berat.

"Paman lagi sibuk. Dia ada urusan di kantor," bujuk Aisha.

"Tapi Mama ti-- tidak pergi ke kantor. Kan Mama juga pergi kalau paman pergi," sanggah Alfa.

Aisha kehabisan kata-kata. Putranya begitu pandai menelaah situasi. Di ingatan bocah itu, ibunya dan sang paman masihlah pasangan bos dan sekretaris yang kemana-mana selalu bersama.

"Nanti ya," bujuk Aisha lagi.

"Alfa mau sekarang!" Sang bocah mulai berkeras.

"Alfa!" bentak Aisha sedikit keras. Alfa langsung memberenggut kemudian mengubur dirinya dalam selimut. Seketika Aisha merasa bersalah telah membentak putranya. Tapi mau bagaimana lagi. Egonya juga berkuasa.

Mereka tak butuh Dikta lagi. Mereka bisa bertahan berdua, tegas batin Aisha.

Aisha bangkit dari tepi ranjang, turun ke dapur untuk menyiapkan makan siang Alfa.

Melihat ibunya telah menghilang di balik pintu, Alfa bergegas bangun dan meraih ponsel ibunya yang diletakkan di atas meja nakas di samping tempat tidur. Alfa membuka aplikasi pesan chat berwarna hijau, mencari nama sang paman dan mengetikkan beberapa kata dengan lancar. Setelah pesan terkirim, Alfa kembali berbaring.

Lama dia menunggu tapi tak ada balasan dari sang paman. Sekali lagi dia mengetik di atas layar lalu mengarahkan ponsel untuk melakukan swafoto. Alfa memasang tampang lesu seperti layaknya anak yang sedang sakit. Selimutnya sengaja dinaikkan hingga dada. Setelah mengirim pesan, Alfa kembali meletakkan ponsel ibunya di tempat semula lalu menutup selimut hingga kepala.

Langkah kaki ibunya terdengar mengentak di tangga. Derak suara pintu dibuka dan aroma makanan langsung memenuhi kamar tidurnya.

"Sayang, yuk makan dulu. Mama buatkan sup bakso ikan tenggiri. Alfa suka, kan?" Suara lembut ibunya ditambah aroma sup ikan yang menggugah selera.

Alfa masih bertahan di bawah selimut meskipun perutnya berteriak lapar karena semerbak aroma sup ikan. Dia masih berusaha menunjukkan protes pada sang ibu.

"Alfa nanti lama sembuh kalau malas makan. Minggu depan kan Alfa sudah masuk kelas renang dengan Zyan. Yuk makan biar cepat sembuh," bujuk sang ibu lagi. Alfa masih bergeming di posisinya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Bi Sumi muncul di depan pintu.

"Nyonya, ada pak Dikta," ucap sang asisten rumah tangga.

"Hahh?" Aisha terperangah. Sedangkan Alfa langsung menyibak selimutnya dan bangun duduk.

Dikta muncul di pintu kamar dengan raut cemas yang tak bisa disembunyikan.

"Paman ...?!!" pekik Alfa langsung melompat dari atas ranjang. Dikta dengan sigap langsung berlari dan menangkap tubuh mungil tersebut.

"Hei, jagoan paman!" seru Dikta sambil mengayunkan tubuh mungil itu di udara. Alfa terkekeh senang.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Aisha masih dengan raut terkejut.

"Apakah masih sakit jagoan?" Dikta bertanya pada Alfa dan mengabaikan Aisha.

"Iya, Paman. Alfa tidak bisa makan," jawab Alfa dengan mimik serius.

"Bagaimana kamu tahu Alfa ada di rumah?" tanya Aisha lagi.

"Alfa sudah makan?" Sekali lagi Aisha diabaikan membuat wanita itu kesal. Dengan sedikit kasar dia meletakkan mangkuk sup ikan di atas meja nakas lalu beranjak ke pintu.

"Aku kasi waktu satu jam setelah itu kamu pergi," titah Aisha kemudian sedikit membanting pintu di belakangnya. Alfa dan Dikta menatap kepergian Aisha sesaat lalu kembali ke euforia mereka setelah sepekan lebih tak bertemu.

"Kenapa Paman tidak datang melihat Alfa di rumah sakit?" tuntut Alfa.

"Maaf jagoan. Waktu itu paman sedang sibuk karena ada misi?" jawab Dikta sembari duduk di atas ranjang dengan Alfa masih dalam pelukannya. Bocah itu terus bergelut manja di pangkuan Dikta.

"Misi?" beo Alfa.

"Heum, sebuah misi penting."

"Apa itu misi Paman? Apakah-- apakah seperti perjalanan ke planet Mars?" tanya Alfa lagi.

"Semacam itulah. Tapi misi Paman kali ini untuk memastikan tidak ada lagi penjahat yang akan melukai Alfa dan mama Alfa. Gimana? Keren kan?" ujar Dikta.

"Wah! Keren Paman. Seperti superhero." Alfa langsung beranjak dari pangkuan Dikta kemudian meloncat-loncat kegirangan.

"Nah jagoan makan dulu." Dikta meraih mangkuk sup ikan yang diletakkan Aisha di atas meja.

"Suap Paman." Alfa membuka mulutnya siap menerima suapan dari sang paman. Dengan senang hati Dikta melayani keinginan sang bocah. Keduanya menghabiskan waktu berdua dengan bermain lego dan membaca buku tentang luar angkasa hingga Alfa terlelap dengan damai.

Dikta menutup pintu kamar Alfa. Saat berbalik dia langsung berhadapan dengan Aisha yang menatapnya datar serta bersedekap di dada.

"Mengapa kamu datang ke sini?" tanya Aisha kesal. Dikta meraih ponselnya dan menunjukkan pesan chat yang dikirim oleh Alfa. Aisha melongo melihat namanya yang tercantum sebagai pengirim pesan.

"Itu-- bagaimana bisa chat itu ada di ponselmu?" Wajah Aisha memerah. Sedangkan Dikta hanya mengedikkan bahunya.

"Jangan salah paham. Itu pasti Alfa yang mengirim pesan itu," elak Aisha cepat.

"Jadi, masalahnya apa?" tanya Dikta cuek. Aisha memberenggut tidak senang.

"Lain kali jangan berkunjung lagi meskipun Alfa mengirimkan pesan seperti itu," tegur Aisha sambil melemparkan pandangan keluar melalui jendela. Dikta hanya mengangguk kemudian melangkah menuruni tangga.

"Mau kemana?" tanya Aisha saat Dikta sudah di pertengahan anak tangga.

"Pulang," jawab Dikta.

"Kamu ... kamu sudah makan?" tanya Aisha lirih.

"Apakah sekarang kamu mencemaskan saya kelaparan sendirian?" Dikta berbalik dan mendongak untuk menatap Aisha. Wanita itu mendecih sinis. Dikta tersenyum samar.

"Tidak. Untuk apa aku khawatir saat Megan bisa memenuhi semua kebutuhanmu," sindir Aisha. Senyum samar Dikta langsung pudar. Dia berbalik dan keluar dari rumah Aisha. Tak butuh waktu lama pria itu telah menghilang di balik pintu rumahnya.

Aisha menghelas napas panjang. Dia bingung dengan dirinya yang begitu mudah mengeluarkan kalimat sindiran pada Dikta. Hubungan dekat Dikta dan Megan benar-benar mempengaruhi emosinya.

Sementara Dikta yang tidak terima dengan sindiran Aisha membanting pintu rumahnya dengan keras. Megan yang sedang duduk menunggunya di ruang tamu langsung menoleh dengan raut heran.

"Ada apa sih, Bang?" Megan mengernyit dalam. Dikta hanya bungkam, melangkah cepat ke dapur untuk meneguk segelas air putih.

"Abang kemana tadi?" tanya Megan lagi.

"Bukan urusanmu."

"Dari rumah nyonya Aisha?" Megan belum menyerah.

"Bukan urusanmu," bentak Dikta membuat Megan terkejut. Baru kali ini Dikta membentaknya seperti itu. Tiba-tiba Dikta menoleh dan menatapnya tajam.

"Bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku?" Megan kian terperangah mendengar pertanyaan tajam pria di depannya.

"Aku-- aku mengambil duplikatnya di laci meja di kamar Abang," jawab Megan takut-takut melihat ekspresi suram di wajah Dikta.

"Kembalikan. Lain kali jangan masuk tanpa seizinku. Ini area privasiku," tukas Dikta masih dengan nada dingin.

"Kenapa Abang bersikap seperti itu padaku? Aku bulan orang lain bagi Bang Dikta. Apakah Aisha membuat Abang berubah. Apakah Bang Dikta melarang saya masuk ke area privasimu tapi mengizinkan Aisha leluasa masuk?" protes Megan penuh emosi.

Dikta yang tiba di depan pintu kamarnya langsung mengurungkan niatnya membuka pintu kamar. Dia berbalik menatap Megan dengan kemarahan yang berkilat di matanya.

"Pulanglah! Dan jangan memancing kemarahanku," desis Dikta kemudian membanting pintu kamar di belakangnya.

Dua tetes bening kristal mengalir di kedua belah pipi gadis itu. Hatinya hancur. Setelah Dikta menolak perasaannya selama bertahun-tahun, kini pria itu semakin dingin da mengabaikannya sejak insiden yang dialami putra majikan Dikta. Aisha sungguh telah mengambil alih semua perhatian pria yang tak pernah berhenti dicintainya itu. Yah, cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Megan meninggalkan rumah Dikta dengan hati enggan. Tak lupa dia meninggalkan kunci rumah Dikta yang diam-diam diambil sebelumnya.

Megan segera memacu kendaraannya membelah kota dengan beribu rasa sakit di hatinya.

Di balik jendela rumah sebelah, Aisha memandang Megan yang keluar dari rumah Dikta beberapa saat setelah sang mantan sekretarisnya kembali ke rumahnya. Dia menatap mobil merah milik Megan yang melaju keluar kompleks dengan perasaan tak menentu. Tapi sebagian besar perasaan itu adalah keinginan untuk menghapus semua perasaan cinta yang baru saja kuncup di hatinya.

****

Ketegangan antara Dikta dan Megan kian meninggi. Megan yang tidak terima dibentak oleh Dikta memilih melancarkan perang urat syaraf dengan Dikta. Sepanjang satu pekan dia mendiamkan sang abang angkat. Tetapi bukannya merespon hal tersebut, Dikta malah semakin mengabaikan Megan. Jadilah kemarahan gadis itu semakin memuncak.

Berhubung Bos Ryo sedang ke Jepang untuk urusan keluarga, maka Megan bisa sedikit santai dalam bekerja. Setiap pulang dari kantor Megan akan pergi ke klub malam bersama teman-teman barunya untuk melampiaskan rasa kecewanya. Di klub itu Megan bertindak di luar kendali hingga selalu mabuk setiap kali pulang ke rumahnya.

Hingga suatu saat tingkah liar Megan itu sampai ke telinga Dikta. Dengan amarah yang membumbung Dikta menyeret Megan keluar dari klub malam.

"Ngapain kamu menyeretku. Apa pedulimu sama aku," ronta Megan berusaha menjauh dari genggaman Dikta. Tubuhnya sempoyongan karena mabuk.

"Pulang sekarang!" bentak Dikta.

"Tidak mau!" balas Megan dengan garang pula. Suara dentuman musik yang memekakkan telinga ikut meramaikan perdebatan mereka. Para pengunjung di sekeliling pun ikut menikmati tontonan gratis itu.

"MEGAN! PULANG KATAKU!" hardik Dikta dengan kemarahan menyala di matanya.

"AKU BILANG TIDAK MAU. SIAPA KAMU BERANI MENGATURKU!" teriak Megan membalas Dikta.

Plak!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Megan. Gadis itu langsung terdiam kaku. Dikta melangkah keluar dari klub yang kian ramai. Megan pun menyusul kemudian.

Dikta duduk di belakang kemudi mobil Megan saat gadis itu ikut masuk ke kursi penumpang di sampingnya. Tak ada satupun yang bersuara. Hanya deru suara mesin mobil yang mengaung membela keheningan saat itu.

Seketika Dikta memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke arah rumah Megan. Beruntung suasana jalan raya telah sunyi dikala waktu beranjak larut. Sepuluh menit kemudian mobil telah berhenti di garasi di samping rumah Megan.

Tak ada satupun dari mereka yang beranjak dari tempat duduknya. Mereka masih saling berdiam diri menikmati setiap helaan napas masing-masing.

"Megan."

Dikta mencoba membelah kesunyian yang menyesakkan itu. Namun tak ada jawaban dari sang gadis. Yang pasti Megan belum tidur, matanya masih menatap nyalang tembok garasi di depannya.

"Aku tidak mengerti apa tujuanmu melakukan tindakan liar dan mabuk-mabukan itu. Jika tujuanmu karena kamu marah aku telah mengabaikanmu, maka aku minta maaf. Aku sadar telah kasar padamu. Tapi mabuk-mabukkan bukan solusinya," tukas Dikta.

"Lalu apa solusi yang Bang Dikta akan berikan dengan persoalanku?" sentak Megan dengan airmata berurai. Pipinya yang terkena tamparan mulai terlihat memerah lebam. Dikta semakin merasa bersalah dibuatnya.

"Apa maksudmu? Apakah yang kamu maksud adalah masalah kunci rumahku? Jika itu masalahnya maka silahkan ambil kembali kunci itu--,"

"Bukan," potong Megan. Dia mengusap airmata yang membanjiri wajahnya. "Apa solusi yang Bang Dikta berikan untuk perasaanku pada Abang. Aku menyukaimu sekian lama tapi Abang tidak pernah peka. Sekarang apa yang akan Abang lakukan dengan perasaan cintaku untukmu?" tanya Megan berapi-api.

Dikta terdiam menatap Megan yang tampak sangat hancur. Bukan Dikta tidak menyadari perasaan gadis itu. Tapi apa yang harus dia lakukan?

Bersambung ....

🍁🍁🍁

avataravatar