8 Rencana Maghdalena

Di sebuah apartemen mewah di pusat kota M.

Suara-suara nan vulgar terdengar dari kamar tidur sang pemilik apartemen. Seorang asisten rumah tangga yang dipekerjakan untuk membersihkan apartemen tersebut ikut mendengar alunan suara desahan sang majikan yang mengalun tanpa peduli suasana di sekitarnya. Asisten rumah tangga tersebut merasa risih dan menghindari polusi telinga tersebut dengan berbelanja di minimarket dekat apartemen.

Semenjak dia bekerja di unit apartemen tersebut, majikannya sudah beberapa kali membawa seorang pria ke dalam apartemennya dan akan mengurung diri hampir sepanjang hari di sana. Dan si ART sudah bisa menebak apa yang mereka lakukan. Ya seperti saat ini.

Padahal setahu dia majikan perempuannya itu belum menikah jadi pria itu sudah tentu bukan suaminya. Dan melihat perawakan pria itu yang tampak sudah hampir paruh baya maka dia menebak bahwa pria itu sudah beristri. Terserahlah si majikan mau buat apa. Dia tidak ingin campur urusan orang. Dia digaji dengan layak dan tepat waktu saja sudah bersyukur.

Setelah menuntaskan gejolah birahi masing-masing, Maghdalena dan Bambang berbaring di atas tempat tidur ukuran besar dengan kasur empuk menopang tubuh mereka. Maghdalena menarik selimut menutupi tubuh polos mereka kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Bambang yang memeluk bahu wanita seksi itu dengan tangan kirinya. Seulas senyum puas terbit di sudut bibir Bambang.

Bagaimana pun pria itu merasa beruntung bertemu Maghdalena, gadis seksi dengan sejuta pesona yang mampu membangkitkan gairahnya. Maghdalena menjadi paket lengkap yang menjadi sarana untuk memuluskan rencananya sekaligus tempat pemenuhan hasrat liarnya. Sungguh sebuah keuntungan besar. Dan gadis itu tak perlu tahu.

"Bagaimana situasi di dalam Pramana Corp sekarang?" tanya Maghdalena yang masih asik bersandar di tubuh Bambang. Pria itu menyulut sebatang rokok dan mengembuskan asapnya ke langit-langit kamar mewah tersebut.

"Tampaknya Aisha masih bisa menangani masalah perusahaan. Kita tidak bisa menganggap remeh perempuan itu," kata Bambang dengan ekspresi kesal.

"Emang apa hebatnya dia? Hanya perempuan kampung tanpa kemampuan apa-apa. Dia hanya beruntung menikah dengan Om Alif hingga dia menjadi sekaya sekarang ini," ujar Maghdalena ketus.

"Memang dia terlihat tak punya kemampuan apa-apa. Tapi jangan lupa. Ada pengacara hebat si Baskara itu yang jadi penyokongnya. Selain itu, ada juga sekretarisnya yang selalu membantunya," jawab Bambang.

"Sekretaris pria itu? Bukankah dia hanya sekretaris biasa. Jadi apa yang perlu dikhawatirkan?" cetus Maghdalena.

"Eits, dia bukan orang sembarangan. Aku pernah mencari informasi tentang dia tetapi sangat sulit mendapatkan data akurat. Aku hanya menemukan info bahwa dia cuma lulusan salah satu universitas swasta di kota S. Tidak ada yang istimewa. Tetapi aku tidak yakin. Dengan latar belakangnya yang terkesan biasa, sangat mustahil Alif mempekerjakannya langsung dan menjadi sekretaris pribadi istrinya," ungkap Bambang. Tangannya mengelus pelan lengan Maghdalena yang masih bersandar di dadanya.

"Hmm ... menarik. Aku lihat sekretaris pria itu tampan dan seksi juga. Meskipun bukan tipe aku tapi kayanya aku ingin bermain-main sedikit dengannya," tutur Maghdalena dengan senyum licik.

"Namanya Dikta. Kamu harus berhati-hati. Dia bukan orang yang mudah didekati," imbuh Bambang.

"Mana mungkin dia bisa mengelak dariku. Lihat saja nanti," ucap Maghdalena dengan yakin. Dengan apa dia akan mendekati Dikta? Tentu saja dengan pesonanya. Dan Maghdalena begitu yakin akan berhasil.

"Hmm ... kamu tenang saja. Aku akan menangani Aisha. Kita perlu membuat para anggota dewan direksi hilang kepercayaan pada perempuan itu," sambung Bambang sambil mematikan rokok dalam asbak.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Maghdalena penasaran.

"Nanti juga kamu akan tahu sayang." Bambang menarik dagu Maghdalena dan kembali mencumbu bibir merah merekah perempuan itu. Tak lama pergumulan kembali terjadi.

***

Hampir setiap hari Aisha disibukkan masalah pekerjaan di perusahaan. Dia lumayan kewalahan dengan segala urusan yang menyangkut proyek dan permintaan klien yang sebagian belum terpenuhi sejak kematian suaminya. Mengelola sebuah perusahaan multi nasional selevel Pramana Corporation membuat Aisha tidak percaya diri mengingat dia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman di bidang menejemen perusahaan. Kini dia menyesal karena menolak tawaran Alif dulu untuk melanjutkan kuliahnya.

Saat ini dia hanya bisa mengandalkan wakil direkturnya, para direktur cabang, menejer dan karyawan-karyawan yang mempunyai kemampuan mumpuni di bidang kerjanya.

Dia juga merasa bersyukur memiliki Dikta sebagai sekretarisnya. Pengetahuan dan kemampuan Dikta di bidang menejemen bisnis sangat membantunya dalam mengelola Pramana Corporation.

Dikta ditempatkan sebagai asisten pribadinya yang akan menangani berbagai dokumen penting dan rahasia serta dokumen-dokumen kerja sama. Dikta menempati ruangannya sendiri dimana dia masih bisa mengawasi Aisha karena letak ruangan mereka bersebelahan.

Aisha juga tetap mempekerjakan Tia, sekretaris Alif sebelumnya menjadi sekretarisnya. Karena perempuan muda itu sudah sangat mahir dengan pekerjaannya.

Aisha sedang mempelajari laporan keuangan bulan sebelumnya. Terdengar ketukan di pintu ruangannya. Ketika dia mempersilahkan masuk, tampaklah Tia membuka pintu perlahan dengan sebundel berkas di tangannya.

"Bu, ini laporan keuangan bulan lalu dari perusahaan cabang di kota S dan juga salinan kontrak kerjasama dengan beberapa klien yang proyeknya sedang jalan.

"Terima kasih Tia," ucap Aisha. "Tolong buatkan segelas teh melati ya."

"Baik, Bu," sahut Tia lalu membalikkan badan keluar ruangan. Tak berapa lama Tia kembali masuk dengan secangkir teh di atas nampan.

"Bagaimana dengan makan siang, Bu? Apakah perlu saya pesan?" tangan Tia dengan nada sopan.

"Tidak usah. Saya akan menjemput Alfa setelah ini dan terus makan siang di rumah," jawab Aisha dengan senyum manis.

"Baik, Bu. Saya permisi," pamit Tia. Ketika dia hampir mencapai pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan Dikta pun masuk. Tia melemparkan seulas senyum manis pada asisten sang bos tetapi hanya dibalas senyum datar oleh Dikta. Tia kecewa mendapat respon Dikta seperti itu. Perlahan dia menutup pintu di belakangnya.

Dikta duduk di sofa tunggal dan melirik pada atasannya yang masih serius membolak-balik lembaran kertas di depannya. Dengan sabar Dikta menunggu sambil memainkan ponselnya.

Tak berselang lama Aisha mengemas dokumen-dokumen di atas meja dan meletakkan ke dalam laci. Dia pun meraih tas Hermes keluaran terbaru di atas meja.

"Dikta, ayo kita jemput Alfa sekarang," pinta Aisha. Dikta segera beranjak dari duduknya sembari memasukkan ponsel di kantung celananya. Dia mengikuti Aisha keluar dari ruangan menuju lift. Di depan ruangan, Tia berdiri dan membungkukkan badan ketika Aisha dan Dikta lewat. Matanya tak lepas memperhatikan Dikta yang tak sedikit pun menoleh apalagi menyapanya.

'Pak Dikta kok keren banget. Tampan dan seksi. Tapi dia tidak pernah mau melirikku. Emang dia tidak tertarik pada wanita?' batin Tia yang terus mengamati punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu lift. Tia menghela napas. Sejak dulu dia kagum dan menyukai pria itu. Tetapi menaklukkan Dikta ibarat menaklukkan seekor badak bercula. Tampak diam tapi sulit dan berbahaya.

***

Dikta memarkirkan mobil di depan sekolah Alfa. Suasana sekolah sudah agak sepi. Hanya beberapa orang yang masih tampak di lingkungan sekolah.

Alfa berlari keluar dari salah satu ruangan dengan ceria.

"Mamaa ...!" teriak Alfa berlari ke dalam pelukan ibunya.

"Maaf sayang. Mama telat jemputnya. Mama lagi banyak kerjaan," ujar Aisha sembari menggendong putranya.

"Tidak apa-apa, Ma. Mama kan kerja untuk Alfa jadi Alfa harus jadi- emm jadi anak baik," cetus Alfa dengan ekspresi serius tapi kelihatan lucu.

"Siapa yang bilang begitu?" tanya Aisha dengan kening berkerut. Sejak kapan putranya jadi bijak begini.

"Paman," jawab Alfa. Aisha menoleh pada Dikta yang hanya tersenyum kecil.

"Anak Mama sudah pandai. Ayo kita pulang. Alfa lapar kan?" ajak Aisha.

"He- eh," Alfa menganggukkan kepala cepat.

"Ayo!" Aisha membimbing Alfa masuk ke kursi penumpang belakang. Kemudian Dikta segera melajukan mobil pulang ke rumah majikannya.

"Mama ... lihat! Gambar Alfa dapat angka banyak." Alfa menyodorkan selembar kertas pada Aisha. Aisha menerima lembaran kertas itu dan mengamati gambar di atasnya.

"Ini siapa?" tanya Aisha mengernyit. Coretan pensil gambar menunjukkan gambar tiga orang dewasa dan satu anak-anak. Sebenarnya Aisha paham tapi sedikit bingung dengan gambar dua lelaki dewasa di sana.

"Ini Papa lagi pegang tangan Mama lalu Mama pegang tangan Alfa," ucap Alfa menjelaskan gambar tersebut.

"Terus siapa di sebelah kiri Alfa?" tanya Aisha.

"Itu Paman juga- juga pe- gang tangan Alfa." Aisha tersenyum kecil sambil menutup mulutnya. Namun ada rasa sedih menyeruak dalam dadanya. Sepertinya Alfa mulai mengerti bahwa tidak ada lagi ayahnya yang akan selalu menemaninya.

Sementara Dikta melirik dari kaca spion tengah percakapan ibu dan anak di kursi belakang. Ada gelenyar bahagia dalam hatinya karena Alfa mengakui dirinya sebagai bagian dari kehidupannya. Dan dia berharap selamanya akan tetap seperti itu.

Mereka tiba di halaman rumah. Alfa segera keluar ketika Dikta membuka pintu mobil untuknya dan Aisha. Bocah empat tahun itu berlari ke kamarnya, melepas sepatu dan tas ranselnya serta meletakkan gambar buatannya di atas meja belajar bergambar kartun mobil.

Aisha masuk dan membatu putranya mengganti pakaian lalu turun ke ruang makan untuk makan siang. Wanita itu menyempatkan diri mengetuk pintu kamar Dikta di lantai bawah di samping ruang kerjanya.

"Dikta ayo makan siang dulu!" seru Aisha dari luar kamar. Pintu kamar terbuka menampilkan wajah Dikta yang terlihat segar sehabis membasuh muka. Pria itu menggulung kemeja kerjanya hingga siku membuatnya terlihat makin tampan.

Mereka berdua beriringan menuju meja makan. Alfa sudah menunggu dengan tidak sabar.

"Baca doa dulu sayang baru makan," tegur Aisha saat Alfa sudah hampir menyuap nasi ke mulutnya.

"Oh iya." Alfa langsung mengangkat tangan dan melafalkan doa dengan suara keras. Dikta mengaminkan doanya lalu mereka makan siang bersama.

Setelah makan siang Aisha dan Dikta kembali ke perusahaan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Ada banyak hal yang harus Aisha pelajari agar dia mampu mempertahankan perusahaan suaminya dari gempuran-gempuran orang-orang yang ingin menguasai hasil kerja keras Alif tersebut.

***

Malam harinya Alfa meminta Dikta mengajarinya membuat beberapa robot dari lego. Dia mau memamerkan robot-robotan itu pada teman-temannya di sekolah. Sedangkan Aisha sedang asik membaca sebuah novel saduran di kamarnya.

Sejam Alfa bermain akhirnya dia mengantuk dan merengek minta tidur. Dikta langsung menggendong sang bocah ke ranjang dan mulai mengelus punggungnya hingga tertidur.

Aisha yang penasaran dengan kegiatan yang sedang dilakukan kedua pria beda usia itu. Dia mencoba mengintip ke kamar Alfa. Ternyata sudah sepi. Sang pemilik kamar sudah terlelap di alam mimpi. Hanya Dikta yang masih berdiri di depan meja belajar putranya.

"Aku kira kalian masih bermain ternyata Alfa sudah tidur," kata Aisha masuk ke dalam kamar. Dia menghampiri putranya dan mengecup dahi mungil itu.

Dikta melirik ke arah Aisha sebentar lalu tatapannya kembali fokus pada meja belajar Alfa.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Aisha menghampiri Dikta. Ternyata pria itu sedang mengamati gambar yang dibuat Alfa tadi siang.

"Lihat betapa lucunya gambar ini. Alfa mulai menyadari kalau dia sudah kehilangan Papanya. Anak sekecil itu harus kehilangan figur ayah. Rasanya ini terlalu berat," ucap Aisha mengusap permukaan gambar di atas meja. Setitik bening kristal bergulir di pipinya yang halus.

Dikta menatap wajah sendu Aisha dengan hati berkecamuk. Kesedihan itu. Kegetiran di wajah wanita itu membuat dadanya ikut sakit. Tanpa sadar Dikta mengangkat sebelah tangannya, menangkap pipi Aisha dengan telapak tangannya yang kokoh dan mengusap airmata di pipi Aisha. Wanita itu terkejut dan balas menatap manik hitam milik Dikta.

"Jangan bersedih. Masih ada saya yang akan melindungi kalian berdua," ucap Dikta dengan suara berat. .

"Terima kasih," lirih Aisha berusaha melepaskan tangan Dikta yang masih menangkup sebelah pipinya. Tetapi Dikta malah menggenggam erat tangan Aisha dan meletakkan di dada kirinya. Aisha dapat merasakan detak jantung Dikta di permukaan telapak tangannya. Tatapan mereka saling mengunci satu sama lain.

Akhirnya Aisha tersadar dan langsung menarik tangannya dengan kasar. Sepersekian detik kemudian dia langsung melarikan diri masuk ke kamarnya melalui pintu penghubung. Dikta menatap pintu yang tertutup kemudian kembali melihat gambar di atas meja.

Dia mengambil lembaran itu, mengamatinya sebentar lalu melipat bagian yang ada gambar Alif sehingga kini gambar itu hanya menyisakan visual Aisha dan dirinya di kanan dan kiri yang sedang memegang tangan visual Alfa di tengah. Sebuah keluarga yang hanya terdiri atas dia, Aisha dan Alfa.

Bersambung ...

🍁🍁🍁

Semoga teman-teman tidak pernah lelah mendukung karya author. Tak lupa author ucapkan banyak terima kasih untuk setiap dukungan yang masuk. Semoga kalian selalu sehat walafiat. Aamiin!

avataravatar
Next chapter