17 Pindah

🌸🌸🌸

Sesuai dengan janjinya, Aisha memasak oseng tempe telur puyuh untuk Dikta juga beberapa masakan lainnya. Seperti biasa Alfa meminta dibuatkan ayam goreng untuknya. Mereka makan dengan nikmat dan penuh rasa syukur.

Dikta makan seperti biasa tanpa rasa canggung. Dia meladeni Alfa yang berceloteh tanpa henti menceritakan kegiatannya di sekolah.

"Mama, kata bu guru mi- minggu depan ada lomba. Alfa harus bawa papa Alfa ke sekolah?" cetus Alfa sembari menggigit ayam gorengnya. Bocah empat tahun itu masih kesulitan untuk menyelaraskan lidahnya saat mengucapkan kalimat panjang.

"Lomba?" beo Aisha dengan dahi berkerut.

"Iya lomba, Ma. Tapi Alfa kan tidak punya- tidak punya papa," ujar Alfa. Aisha mengalihkan perhatiannya kepada Dikta.

"Tadi ibu guru Alfa bilang kalau akan ada lomba pasangan ayah dan anak di sekolah. Semua siswa wajib berpartisipasi untuk memperingati Father Day," terang Dikta. Aisha manggut-manggut mengerti.

"Mama akan temani Alfa nanti ikut lombanya, Nak," tukas Aisha mengelus surai hitam putranya.

"Kata ibu guru harus papa," protes Alfa dengan wajah serius.

"Kan ibu guru juga tahu kalau papa Alfa sudah tidak ada. Jadi mama saja tidak masalah sayang," bujuk Aisha. Alfa merengut tidak senang.

"Alfa tidak mau. Tidak mau ikut lomba," teriak Alfa merajuk.

"Sayang ..." Aisha berusaha membujuk putranya. Saat akan memeluk Alfa, bocah itu malah menghindar dan berlari naik ke kamarnya. Aisha sedih melihat putranya merajuk.

Aisha beranjak hendak menyusul putranya tetapi ditahan oleh Dikta.

"Biar saya yang membujuknya. Ibu lanjutkan saja makannya," tukas Dikta yang telah menyelesaikan makannya.

Aisha hanya menatap sendu punggung pria itu yang bergegas menyusul Alfa ke lantai dua. Aisha kembali menikmati makanannya namun tidak seberselera seperti tadi.

Sudah beberapa bulan suaminya meninggal dunia. Baik Alfa maupun dirinya belum bisa melupakan sosok sang kekasih hati. Rasanya hidup terlalu berat untuk dijalani tanpa Alif di sisinya.

Masalah perusahaan, Alfa yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah dan berbagai masalah lain, membuat Aisha sering merasa tidak sanggup lagi. Terkadang hanya airmata yang mewakili duka hatinya saat mengeluh kepada Sang Khalik. Berharap dia tetap bisa menegarkan hatinya untuk menjalani hidup bersama putranya tanpa suami di sampingnya.

Aisha menyelesaikan makan malamnya dan merapikan meja makan. Asisten rumah tangga sibuk membereskan dapur. Mereka makan malam di meja tertentu dengan menu yang sama dengan majikan mereka. Karena Aisha tidak ingin membeda-bedakan perlakuannya kepada semua penghuni rumah. Aisha membuat segelas susu cokelat untuk Alfa dan membawanya naik ke kamar bocah itu bersama segelas kopi untuk Dikta.

Aisha membuka pintu kamar berwarna putih dan menemukan dua pria beda umur itu sedang merakit robot-robotan dari lego yang berserakan di lantai.

Melihat ibunya datang Alfa langsung menghambur ke pelukan sang ibu. Aisha berjongkok menyamakan tingginya dengan sang putra dan mendekapnya dengan satu tangan yang bebas.

"Mamaaaa ...." Alfa bergelayut manja di pelukan hangat Aisha. Wanita itu tersenyum penuh haru karena putranya tidak merajuk lagi.

"Alfa- Alfa minta ma- maaf," ujar Alfa dengan wajah dibuat sedih.

"Tidak apa-apa sayang." Aisha mengurai pelukan mereka, duduk di lantai dan meletakkan nampan di atas lantai.

"Mama senang karena Alfa tidak merajuk lagi." Aisha menangkup dua pipi gembil Alfa. Dia memutuskan tidak akan membahas masalah lomba ayah-anak lagi. Dia tidak ingin Alfa sedih karena tidak bisa mengajak ayahnya ke lomba itu.

"Mama, paman bilang akan jadi papa Alfa nanti," tukas Alfa tiba-tiba. Aisha terkejut bukan main dan memandang putranya yang kini sedang meneguk susu cokelatnya.

"Paman mau temani Alfa ikut lomba jadi papa pura-pura," imbuh Alfa.

"Oh!" gumam Aisha sesaat kemudian. Tak urung pipinya sempat merona sejenak karena salah paham dengan ucapan putranya.

"Yakin, kamu bisa temani Alfa minggu depan?" tanya Aisha kepada Dikta dan berusaha menyembunyikan rasa jengah.

"Akan saya usahakan. Bukankan paman sudah janji, iya kan boy?" Dikta mengangkat sebelah tangan lebarnya untuk melakukan high five. Sang bocah menyambut dengan mengentakkan sebelah telapak tangan mungilnya ke telapak tangan Dikta lalu berseru senang.

Aisha hanya bisa dibuat terpukau dengan pemandangan menyenangkan di depannya. Dikta paling bisa meredakan cengeng dan amarah Alfa. Ketika Aisha begitu pusing membujuk sang bocah saat merengek, Dikta bisa meredakan tangis Alfa hanya dengan memeluk atau menggendongnya lalu mengajak membuat robot atau membacakan cerita. Dikta mampu menaklukkan Alfa dengan mudah dan Alfa telah bergantung padanya.

Aisha tersenyum miris. Bagaimana jika kelak Dikta meninggalkan mereka dan memulai kehidupan barunya? Cepat atau lambat Dikta akan melakukan itu. Dan dia akan kerepotan memberikan pengertian pada bocah tersebut.

Setelah menyelesaikan beberapa bentuk robot yang Alfa inginkan, Aisha meminta bocah tersebut menghabiskan susunya dan pergi menyikat gigi. Dikta menemani Alfa menyikat gigi dan mencuci kaki. Sementara Aisha membereskan sisa lego yang bertebaran.

Tak lama Alfa keluar dari kamar mandi mininya dan langsung digiring Dikta ke atas tempat tidur. Dikta masih sempat membacakan sedikit cerita hingga bocah itu terlelap ke alam mimpi. Aisha menyaksikan itu semua sambil masih duduk di lantai depan meja belajar Alfa.

Setelah yakin Alfa telah masuk ke peraduan mimpinya, Dikta bangun perlahan dari ranjang sang bocah dan menghampiri Aisha.

"Ada yang ingin saya bicarakan. Bisa kita bicara di luar?" ujar Dikta. Aisha menatap sekretarisnya dengan wajah penuh tanya. Namun dia mengiyakan dan mengikuti langkah Dikta menuju ruang keluarga di lantai dua itu.

Mereka duduk berhadap-hadapan di sofa. Dikta tampak merenung sejenak sedangkan Aisha masih menunggu dengan sabar apa yang hendak dikatakan oleh pria itu.

"Saya ... mau izin pindah," ujar Dikta seraya menatap wajah nyonya majikannya.

"Hahh? Maksudnya?" Aisha luar biasa terkejut.

"Saya mau pindah rumah, Bu. Saya harap Ibu mengizinkan," lanjut Dikta masih dengan intonasi mantap.

"Pindah kemana?"

"Tidak jauh dari sini, Bu?"

"Kenapa pindah? Kamu merasa tidak nyaman di sini?" cecar Aisha tanpa henti.

"Saya nyaman di sini. Hanya saja saya berpikir akan lebih baik jika saya pindah tempat tinggal," jawab Dikta dengan nada yakin.

"Bisa kasi alasan yang jelas?" tanya Aisha lagi. Dikta diam sejenak. Dia tahu majikannya ini pasti akan terus mencecarnya karena kepindahan yang tiba-tiba. Tapi dia bingung bagaimana menjelaskan alasan seperti yang dikatakan ibunya tempo hari.

"Dikta!" seru Aisha kesal.

"Mmm ... itu Bu. Ibu saya sudah tahu kalau saya tinggal serumah dengan Ibu di sini?" tukas Dikta.

"Terus?"

"Saya hanya tidak ingin timbul fitnah yang berimbas pada reputasi Ibu ke depannya. Ibu seorang ... maaf Ibu seorang janda. Dan saya pria bujang dewasa. Apa yang lebih mengkhawatirkan pikiran ibu saya adalah adanya gosip orang tentang Ibu dan saya yang tinggal serumah," papar Dikta. Dia menatap Aisha untuk meyakinkan wanita itu akan niatnya. Aisha diam termenung memikirkan semua alasan Dikta.

"Saya harap Ibu tidak tersinggung. Ibu wanita baik-baik, saya tidak ingin reputasi Ibu rusak karena saya." Dikta menghela napas setelah mengucapkan kalimat yang cukup panjang. Keheningan kembali menyebar di sekitar mereka. Aisha masih merenungkan ucapan Dikta.

"Kapan kamu pindah?" tanya Aisha kemudian memecah keheningan.

"Besok setelah shalat Jumat," jawab Dikta. Aisha kembali terperangah.

"Kenapa tiba-tiba? Apakah kamu sudah dapat tempat tinggal?" cecar Aisha lagi. Wajahnya tampak gusar karena Dikta tidak membicarakan masalah kepindahannya lebih awal.

"Sudah ada Bu. Sebenarnya selama seminggu ini saya sibuk cari rumah dan melengkapi isinya," sahut Dikta.

"Ck, kamu ini. Kenapa tidak ngomong lebih dulu ke saya," dengus Aisha dengan wajah cemberut.

"Saya tidak mau merepotkan Ibu," ujar Dikta menunduk penuh rasa bersalah.

"Apakah kamu akan pindah kerja juga?" tanya Aisha lirih dengan penuh ragu. Dia membayangkan Dikta akan berhenti dari perusahaan. Bisa apa dirinya? Selama ini dia hanya bisa mengandalkan sekretarisnya itu.

"Tidak Bu. Saya sudah berjanji kepada Tuan Alif akan mengabdikan diri saya untuk membantu Pramana Corp, melindungi Ibu dan Tuan Muda Alfa," sambar Dikta cepat. Ada raut kelegaan melumuri wajah Aisha.

Tak apalah Dikta tidak tinggal bersama mereka asalkan pria itu masih bekerja dengannya. Meski jujur dia merasa tidak setuju dengan ide kepindahan itu. Tetapi alasan yang dikemukakan masuk akal. Dikta berusaha melindunginya.

"Besok saya dan Alfa akan mengantar kamu pindah rumah," tukas Aisha.

"Terima kasih, Bu!" Dikta tersenyum. Setelah itu dia pamit kembali ke kamarnya.

Aisha masih duduk merenung selama beberapa saat lamanya. Dikta begitu baik dan perhatian. Keluarganya pun demikian. Dia sangat menghormati dan menyayangi ibunya. Dia telah dididik menjadi pria yang sangat bertanggung jawab dan melindungi orang-orang yang disayanginya. Wanita-wanita dalam hidup pria sungguh beruntung. Ibunya, adiknya dan istrinya kelak.

Seandainya ....

Akh! Aisha langsung menepis pikirannya yang mulai melayang terlalu jauh.

***

Ternyata rumah tempat tinggal Dikta tidak jauh dari rumah Aisha. Hanya dipisah jalanan komplek perumahan itu dan tentu saja pagar rumah mereka. Lebih tepatnya Dikta hanya pindah di hunian depan rumah mereka. Aisha menarik napas lega mendapati fakta bahwa mereka masih bisa bertemu setiap harinya.

Aisha selama ini tidak menyadari keberadaan rumah di depan itu. Bangunannya tidak sebesar rumahnya, mungkin tiga kali lebih kecil dari rumah mereka dan hanya terdiri dari satu lantai. Tetapi eksteriornya bagus menyesuaikan dengan rumah-rumah di sekelilingnya yang dihuni oleh orang-orang berduit.

Interiornya juga bagus dan Dikta telah melengkapi ruang tamunya dengan sepasang sofa berwarna hitam dengan cusion bantal-bantal bercorak papan catur hitam putih.

Hanya ada dua kamar. Satu kamar yang lebih luas digunakan Dikta sebagai kamar tidur. Sedangkan yang lebih kecil digunakan sebagai ruang kerja dan tempat penyimpanan alat-alat canggihnya berupa komputer dan lain-lain.

Dapurnya minimalis dengan kitchen set yang hampir lengkap. Pria itu pandai memasak dan dia sangat memperhatikan aspek kenyamanan dalam memasak. Ruang makan bersambung dengan dapur hanya dipisahkan sebuah meja bar yang elegan dimana sebuah meja makan ukuran sedang dengan enam buah kursi. Dapur dan ruang makan belum sepenuhnya lengkap, begitu juga dengan jendela yang belum terpasang gorden.

Kamar tidur Dikta lebih simpel. Hanya ada sebuah ranjang queen size, sebuah lemari pakaian ukuran medium dan sebuah cermin ukuran besar berdiri di pojok.

Melihat kondisi rumah yang belum lengkap membuat Aisha mengajak Dikta pergi berbelanja beberapa perlengkapan rumah Dikta. Termasuk berbelanja bahan makanan untuk mengisi kulkas yang masih kosong.

Alfa begitu antusias saat diajak berbelanja. Mereka menghabiskan waktu siang sampai malam hari untuk membenahi rumah baru Dikta. Alfa bahkan membantu memajang beberapa action figure koleksi Dikta di sebuah lemari kaca di kamar kerja. Mungkin hanya Alfa yang pernah masuk ke kamar kerja Dikta. Karena pria itu tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya kecuali Alfa sedangkan Aisha terlalu canggung hendak bertandang ke kamar pria itu.

Pukul delapan malam, Dikta, Aisha dan Alfa sudah duduk mengelilingi meja makan untuk bersantap malam. Aisha memasak beberapa masakan kesukaan dua pria beda usia tersebut. Mereka makan dengan nikmat.

"Apakah nanti ibumu akan tinggal di sini?" Aisha membuka percakapan setelah beberapa lama hening dan hanya terdengar suara denting alat makan beradu.

"Ibu belum berniat pindah karena Diksa baru mulai kuliah," jawab Dikta.

"Diksa kuliah jurusan apa?" tanya Aisha lagi. Dia menyuap sesendok nasi ke mulut Alfa yang sibuk dengan ayam gorengnya. Bocah ini terinspirasi pada duo bocah kembar di film animasi produksi negara tetangga.

"Kalau tidak salah Ekonomi Manajemen," jawab Dikta. Dia meraih segelas air setelah menyelesaikan makannya.

"Bisa kerja di perusahaan nantinya," sahut Aisha.

"Kalau saya terserah Diksa saja maunya gimana setelah lulus kuliah," ujar Dikta. Aisha manggut-manggut. Dia teringat adik lelaki satu-satunya yang keras kepala dan tidak suka diatur kemauannya. Ibunya harus sering mengalah menghadapi Arif.

Selesai makan malam, Aisha mencuci bekas memasak dan peralatan makan. Sementara duo Alfa-Dikta sedang menonton vidio di ponsel.

Selesai merapikan dapur, Aisha memotong beberapa buah semangka dan buah naga kemudian bergabung dengan kedua pria di ruang tamu. Mereka makan buah sambil asyik menonton vidio kartun kesukaan Alfa.

Pukul setengah sepuluh Dikta mengantar Aisha dan Alfa pulang ke rumah mereka yang berjarak hanya beberapa meter di depan. Alfa sudah tertidur dalam gendongan Dikta.

Dikta membaringkan tubuh Alfa yang sudah lunglai di atas ranjang sang bocah. Setelah itu dia menemui Aisha di ruang kerja sang nyonya majikan. Dikta ingin membicarakan beberapa pengaturan terkait keamanan semua orang dalam rumah itu.

"Saya sudah memasang beberapa alat sebelumnya di seluruh rumah. Ada beberapa CCTV di ruang tengah, di dapur, di lantai dua termasuk di depan kamar Ibu dan Alfa, di semua balkon, di sekitar kamar para ART, beberapa di halaman depan dan belakang termasuk sekitar kolam renang. Saya juga sudah mengerahkan beberapa teman saya untuk mengawasi kondisi rumah secara rahasia selama 24 jam sehari," pungkas Dikta panjang lebar. Aisha hanya mengangguk perlahan.

"Dan juga, saya memasang beberapa tombol berwarna merah seperti ini di beberapa tempat, nanti Ibu bisa memeriksa sendiri. Saat keadaan darurat Ibu segera menekan tombol ini karena ini tersambung pada alarm darurat di kamar kerja saya dan juga ke aplikasi keamanan di macbook pribadi saya. Dan satu lagi. Saat ada serangan sebisa mungkin Ibu dan Alfa bergegas masuk ke ruang kerja saya di sebelah. Cukup tempelkan sidik jari Ibu di alat pendeteksi depan pintu dan saat Ibu masuk pintu akan otomatis terkunci dari dalam. Ada sebuah telepon di sana, cukup tekan angka nol maka akan langsung tersambung ke ponsel saya. Saya sudah memberikan beberapa instruksi yang sama kepada ART dan juga Alfa bisa masuk ke ruang kerja saya dengan sidik jarinya."

Aisha terperangah mendengar penjelasan Dikta yang panjang lebar. Dia tidak menyangka jika pria itu telah menyiapkan banyak hal untuk menjamin keamanan mereka.

"Terima kasih, Dikta," tutur Aisha.

"Ibu tidak perlu khawatir akan banyak hal. Kita memang perlu waspada karena kita tidak pernah tahu rencana musuh kita. Tetapi Ibu harus mencoba bersikap biasa saja namun tetap waspada," imbuh Dikta. Dia memandang wanita di depannya lamat-lamat. Seakan ingin memindai wajah itu lebih dalam dan menyimpan dalam memorinya. Mereka hanya berpisah tempat, namun dia akan mulai kehilangan. Dia sudah berjanji akan menjaga wanita itu meski nyawa taruhannya.

Kini, Dikta telah duduk santai di depan layar monitor CCTV di kamar kerja di rumah barunya. Seperti biasa dia tidak akan tidur sebelum memastikan nyonya majikannya tidur.

Ada satu hal yang tidak disampaikan Dikta pada Aisha. Bahwa dia juga menempatkan satu kamera pemantau micro di kamar wanita itu dan juga di kamar Alfa.

Lewat layar monitor dia bisa melihat Aisha sudah masuk ke kamarnya setelah sebelumnya menengok putranya. Aisha sedang bersiap tidur. Wanita itu masuk ke kamar mandi beberapa saat lalu keluar lagi. Aisha lalu membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah baju tidur sutra.

Tanpa di duga Aisha membuka bajunya di depan lemari pakaian dan mengganti dengan baju tidur sutra.

Dikta terhenyak dan sebelum Aisha berhasil melepas semua pakaiannya, Dikta segera mematikan kamera di kamar Aisha agar tidak melihat adegan yang membuat jantungnya berpacu cepat. Namun tak urung Dikta tetap berdebar. Dia menggusar rambutnya dan mengucap istigfar berulang kali untuk menetralkan debaran jantungnya.

Hampir saja, desah Dikta dalam hati.

😄😄😆😆

Bersambung ....

🌸🌸🌸

Nb : Maaf terjadi gangguan teknis semalam. Bab ini sempat terpublish semalam padahal belum selesai. Mungkin ada yang sempat membaca sebelum saya menghapusnya. Mohon maaf ya 🙏

Saat menulis part Dikta menjelaskan tentang perangkat keamanan di rumah Aisha, saya teringat dengan film jadul berjudul The Bodyguard From Beijing yang diperankan oleh Jet Li. Mungkin ada yang pernah nonton. Cerita ini sedikit terinspirasi dari film tersebut.

Nah, bagaimana kisah selanjutnya Aisha dan Dikta, pantengin terus SekWal ya!

Mungkin saya baru bisa up lagi 3 hari kemudian karena ada gawean di dunyat yang mesti dikebut.

Jangan lupa batu kuasa untuk Dikta ya.

Stay healthy and Happy!

See you next chapter 😘

avataravatar
Next chapter