5 Pertarungan Menjadi Pimpinan (bag.2)

Mohon dukungan dengan power stone penilaian dan komen membangun.

Happy reading!

🍁🍁🍁

"Aku tidak terlambat, kan?" tanya perempuan muda itu.

Semua terperangah ke arah tiga orang yang baru masuk ruang rapat tersebut.

"Siapa Anda?" tanya Aisha.

"Oh, maaf. Seharusnya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kenalkan. Nama saya adalah Maghdalena Pramana." Menjeda dan mengamati raut terkejut semua orang di dalam ruangan. "Oww, tidak perlu terkejut seperti itu. Saya tahu sebagian dari kalian pasti sudah tahu siapa saya. Tepat sekali! Saya adalah keponakan Om Alif Pramana." Perempuan bernama Maghdalena itu tersenyum menggoda sembari mendekati Tuan Adam dan memegang bahunya.

Aisha menatap lurus Maghdalena. Dia bukannya tidak tahu siapa perempuan itu tetapi ada urusan apa dia di sini.

"Ada urusan apa Anda berada di sini?" tanya Aisha tanpa mengalihkan tatapannya dari Maghdalena. Dikta pun mulai waspada. Jemarinya segera mengetik di layar ponsel pintarnya.

"Hahaha ... Oh iya saya lupa memberi tahu Anda, Bibi? Tentu saja saya harus berada di sini hari ini untuk menghadiri rapat pemegang saham. Om Alif tersayang itu cepat sekali mati harusnya dia menyiapkan penggantinya terlebih dahulu. Itulah mengapa saya ada di sini untuk menggantikan posisi Om Alif," ucap Maghdalena dengan percaya diri.

Semua anggota direksi yang hadir terkejut. Mereka mulai rusuh satu sama lain.

Meski masalah ini tidak tersebar keluar. Tetapi hampir semua yang ada dalam ruangan itu tahu siapa Maghdalena. Dia adalah putri dari Afif Pramana, kakak dan satu-satunya saudara dari Alif Pramana. Tetapi Afif terlibat kasus narkoba dan penggelapan uang perusahaan sehingga namanya dihapus dari daftar penerima warisan keluarga Pramana oleh Tuan Pramana senior. Afif Pramana dijebloskan ke penjara dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian sebelum masa tahanannya selesai akibat penyakit gangguan liver kronis.

Maghdalena memberi kode pada pria asing yang bersamanya. Pria itu membuka tas kulit di tangannya dan mengeluarkan sebuah map berwarna biru dan menyerahkan pada perempuan itu. Maghdalena melemparkan map tersebut di atas meja.

"Ini adalah surat perjanjian pemidahan saham Tuan Adam di Pramana Corporation kepada Maghdalena Pramana yaitu saya. Silahkan ditandatangi Tuan Adam," kata Maghdalena.

Tuan Adam lalu membuka lembar demi lembar surat tersebut dan membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Setelah itu Maghdalena langsung meraih map tersebut.

"Maafkan saya Nyonya Pramana. Saya permisi sekarang," ucap Tuan Adam kemudian melangkah keluar dari ruang rapat diikuti oleh pengacaranya.

Semua orang terpaku di tempatnya. Sedangkan Maghdalena dengan santai duduk di tempat Tuan Adam tadi. Bambang dan pengacara perempuan berbaju merah minim itu setia berdiri di belakangnya.

"Dengan pemindahan saham Tuan Adam menjadi milik saya bukankah ini berarti saya menjadi bagian dari Pramana Corp dan memiliki hak untuk ada di ruangan ini. Oh, saya perkenalkan ini Bambang, penasehat saya dan ini pengacara saya. Bambang akan mewakili saya untuk mengurus segala hal yang menyangkut pemilikan saham saya."

"Apa yang kamu inginkan?" tanya Aisha masih dengan nada tenang. Sebisa mungkin dia bisa menahan emosi atas situasi yang tidak terduga ini.

"Saya rasa semua yang hadir di sini tahu. Puncak pimpinan Pramana Corp sedang kosong dan ini tidak bisa dibiarkan karena akan mempengaruhi menejemen dan kelangsungan Pramana Corp." Kali ini Bambang yang berbicara. Anggota dewan direksi lainnya mengangguk-angguk.

"Di Pramana Corp, sebelumnya Alif Pramana sebagai pemegang saham terbesar setelah itu Tuan Adam. Tapi menilik bahwa Alif Pramana memiliki seorang putra yang berhak menggantikannya sebagai penerus. Sayang putranya masih sangat kecil. Sedangkan istrinya Nyonya Pramana tidak memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk memegang tampuk pimpinan karena tidak memiliki kualifikasi untuk itu dan juga sahamnya di bawah 10% maka saat ini yang lebih berpotensi adalah Nona Maghdalena sebagai pemegang saham terbesar kedua setelah Alif Pramana. Lagi pula Nona Maghdalena masih termasuk dalam keluarga Pramana dan memiliki kualifikasi yang sangat bagus untuk mengelola sebuah perusahaan besar seperti perusahaan ini. Dia lulusan Menejemen Bisnis di sebuah Universitas di Singapura," tambah Bambang.

Semua anggota dewan direksi berbisik satu sama lain. Sepertinya mereka mengamini ucapan Bambang. Aisha mengedarkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. Maghdalena dan Bambang mengulas senyum kemenangan. Mereka senang karena sepertinya anggota direksi lainnya menyetujui usulan mereka. Inilah rencana mereka sejak awal yaitu mengambil alih Pramana Corporation.

"Maghdalena apa tujuanmu melakukan ini?" Aisha mulai terpancing emosi. Dia tidak rela jika jerih payah suaminya selama ini jatuh pada perempuan itu.

"Saya rasa sudah jelas. Saya berhak atas perusahaan ini karena saya juga bagian dari keluarga Pramana. Kakek saja yang tidak adil pada Papaku," teriak Maghdalena.

"Ayahmu yang bersalah. Jadi wajar jika Tuan Pramana mengeluarkannya dari daftar warisan," balas Aisha.

"Tahu apa kamu tentang masalah ini. Kamu hanya orang lain yang hadir di keluarga ini. Hanya perempuan kampung yang beruntung naik status sosial. Seharusnya Tante Ratna yang lebih berhak hanya saja dia tidak punya keturunan. Seharusnya kamu tahu diri dan tidak ikut campur urusan ini. Anak Om Alif masih kecil dan dia apakah kalian akan mempercayakan perusahaan ini pada seorang bocah," sergap Maghdalena berapi-api.

"Sekarang kalian harus segera membuat keputusan yang tepat. Jangan menunda lagi," kata Bambang memprovokasi.

Semua sibuk berdikusi. Aisha hanya terdiam melihat situasi itu. Tak lama salah satu dari anggota direksi bersuara.

"Saya rasa apa yang disampaikan Pak Bambang benar adanya. Kita butuh pimpinan dan Nona Maghdalena adalah kandidat yang tepat," tukas Tuan Rajasa salah satu yang senior di antara mereka. Yang lain ikut manggut-manggut.

"Apakah tidak ada ospi lain?" tanya Aisha berusaha mempertahankan agar kursi Direktur tidak jatuh pada Maghdalena. Dengan Bambang di samping Maghdalena sudah dapat ditebak apa rencana busuk mereka.

"Opsi lain apa maksudmu? Semua sudah jelas. Saya lebih berhak menjadi pimpinan menggantikan Om Alif. Semua juga setuju," teriak Maghdalena lagi.

Aisha menarik napas berat. Dia mengurut keningnya.

'Apakah semua berakhir di sini? Bapak, bagaimana aku harus mengatasi ini? Tolong aku!' erang Aisha dalam hati.

"Segera ambil keputusan," tekan Maghdalena.

Pintu ruang rapat terbuka. Seorang pria paru baya berkacamamata dengan setelan jas mewah masuk dan menghampiri sisi tempat duduk Aisha. Semua orang menoleh pada pria itu dengan raut bingung dan penasaran.

"Siapa Anda? Mengapa lancang masuk ruang rapat saat Anda tidak punya hak berada di sini," tanya Bambang dengan wajah tidak senang.

"Maaf jika saya lancang tetapi saya datang ke tempat ini atas panggilan Nyonya Pramana. Perkenalkan saya pengacara Tuan Alif Pramana. Nama saya Baskara," Aisha megerutkan dahinya. Dia menatap Dikta yang tersenyum padanya. Aisha merasa mendapatkan harapan dengan kehadiran Tuan Baskara. Anggota direksi lainnya pun terbengong. Siapa yang tidak kenal dengan pria berkarisma tersebut. Seorang pengacara handal yang sepak terjangnya diakui dalam negeri ketika menangani satu kasus. Akurat, detil dan tepat sasaran. Seorang Master Hukum lulusan salah satu universitas bergengsi di benua Amerika sana.

"Silahkan dilanjutkan Tuan Baskara," pinta Aisha setelah kembali tenang.

"Terima kasih Nyonya Pramana. Saya hadir di tempat ini atas amanat dari Almarhum Tuan Alif Pramana," Tuan Baskara mengeluarkan berkas dari tas kulit mewahnya. "Seminggu sebelum tragedi yang menimpa beliau, Tuan Alif telah menuliskan wasiatnya dan meminta saya untuk menyampaikan pada rapat luar biasa pemegang saham. Maka sangat tepat jika saya berdiri di sini," lanjut Tuan Baskara. Semua orang berdebar mendengar ucapan pengacara tersebut. Termasuk Aisha.

Bambang akan menyela namun langsung dipotong oleh sang pengacara.

"Maaf Tuan Bambang mohon untuk tidak menyela. Saya lanjutkan. Berdasarkan wasiat Tuan Alif Pramana bahwa saham beliau di Pramana Corporation secara keseluruhan dengan presentase 45%. Sedangkan Nyonya Pramana memiliki 7% saham. Tuan Alif menetapkan sahamnya dialihkan pada putranya satu-satunya sebesar 40% dan 5% nya diberikan pada Nyonya Pramana. Dengan demikian Nyonya Pramana menjadi pemilik saham terbesar kedua setelah Tuan Muda Alfa Pramana Putra. Dan karena Tuan Muda Alfa Putra belum cukup umur untuk mengelola sahamnya, maka Tuan Alif memberikan wewenang kepada Nyonya Pramana sebagai pemegang saham sementara Tuan Muda Alfa Pramana Putra hingga beliau berumur 24 tahun," ungkap Tuan Baskara. Semua terperangah mendengar isi surat wasiat tersebut.

"Bohong. Sejak kapan Om Alif menulis wasiat itu?" hardik Maghdalena tidak terima.

"Apakah Anda meragukan integritas saya, Nona Maghdalena?" ujar Tuan Baskara tajam menatap ke arah perempuan bergaun merah itu. Bambang dan pengacara perempuan itu berusaha menenangkannya. Mereka tidak akan berkonfrontasi dengan tuan pengacara handal tersebut.

"Terima kasih Tuan Baskara. Saya rasa kalian sudah jelas mendengar isi surat wasiat tersebut. Sebagai warga negara yang patuh hukum kita tidak mungkin menolak amanat resmi yang ditetapkan oleh Almarhum suami saya. Maka mulai hari ini saya akan mengambil alih pimpinan sementara Pramana Corporation hingga Alfa Pramana Putra cukup umur untuk mengambil alih. Apakah semua setuju?" pungkas Aisha dengan nada menekan.

Semua mengangguk menyuarakan persetujuan kecuali Maghdalena dan Bambang.

"Terima kasih. Saya mengharapkan semua bisa membantu saya untuk mempertahankan Pramana Corp tetap pada posisi seharusnya. Saya nyatakan rapat kali ini selesai," tutup Aisha.

Maghdalena, Bambang dan pengacaranya langsung keluar dari ruang rapat dengan wajah penuh dendam. Misi mereka untuk menggoyahkan Aisha kali ini tidak berjalan mulus.

Sementara Aisha, Dikta dan Tuan Baskara menuju ke kantor Direktur Utama yang mulai hari ini akan menjadi kantor Aisha. Mereka duduk di deretan sofa berwarna khaki yang disediakan di salah satu sudut ruangan yang lebih luas. Salah satu sekretaris Alif masuk membawa nampan dengan tiga cangkir minuman teh chamomile.

"Terima kasih atas bantuan Anda hari ini Tuan Baskara," ucap Aisha dengan tulus.

"Sama-sama. Ini sudah merupakan tanggung jawab saya. Tuan Alif adalah orang yang sangat baik, dermawan dan berdedikasi dalam pekerjaan. Sangat disayangkan beliau mengalami tragedi ini meskipun ini sudah ketetapan Sang Pencipta. Saya harap Nyonya bisa tabah dan kuat," sahut Tuan Baskara.

"Saya mohon bantuan Anda untuk mengawasi kebijakan-kebijakan yang bersangkutan dengan hukum ke depannya. Saya tidak tahu harus melakukan apa nantinya," ucap Aisha dengan wajah sendu.

"Tenang Nyonya. Saya sudah berjanji pada Almarhum untuk membantu keluarganya kapan pun saya dibutuhkan. Untuk masalah operasional perusahaan ini Nyonya bisa mengandalkan sekretaris Nyonya satu ini. Dia yang menghubungi saya tadi. Saya rasa Tuan Alif juga sudah menyampaikan hal ini pada Pak Dikta," sambung pengacara itu.

"Sekali lagi terima kasih," ucap Aisha tulus.

"Baiklah. Saya mau pamit dulu. Siang ini masih harus menghadiri sidang," ujar Tuan Baskara menyalami Aisha dan Dikta lalu beranjak keluar dari ruangan diantar oleh Dikta hingga depan lift.

Setelah mengantar pengacara Alif, Dikta kembali ke ruangan direktur. Saat masuk dia mendapati Aisha sedang bersandar di sofa sambil mengurut pelipisnya. Wajah cantiknya tampak pucat dan lelah. Selama seminggu setelah kematian tuan majikannya, Nyonya majikannya sama sekali belum istirahat dengan cukup. Apalagi mereka baru pulang dari kota S.

Dikta duduk di sofa di depan Aisha. Dia menatap khawatir majikannya.

"Apakah Ibu kurang sehat?" tanya Dikta.

"Aku cuma lelah saja. Hari ini benar-benar menguras emosi," jawab Aisha.

"Ibu juga belum makan siang. Saya pesankan makanan ya?" tanya Dikta. Aisha mengangguk.

"Pesan untuk kamu juga."

Dikta menelepon layanan pesan antar makanan. Kemudian dia ke dapur sebentar mengambil dua gelas air putih hangat.

"Minum air putih dulu, Bu," pinta Dikta. Aisha menurut dan meneguk setengah dari isi gelas.

"Apa kamu tahu tentang Maghdalena?" tanya Aisha menatap Dikta yang juga baru saja meneguk air putihnya.

"Iya. Yang orang ketahui dia adalah anak Tuan Afif Pramana sebelum dia meninggal. Tetapi sebenarnya perempuan itu bukan anak biologisnya. Saat Tuan Afif menikah, istrinya sedang hamil dan dia dijebak," ungkap Dikta.

"Darimana kamu tahu? Apakah Bapak menceritakan padamu?" tanya Aisha. Karena dia pun tahu tentang semua seluk beluk cerita tentang keluarga Pramana karena Alif yang menceritakan. Termasuk siapa yang dipercaya dan tidak dipercaya. Dikta mengangguk.

"Lalu, mengapa Afif tidak punya anak lagi setelah menikah?" Aisha merasa heran dengan satu fakta ini. Mungkin benar Maghdalena bukan anak biologis Afif tapi tidak mungkin dia tidak punya anak dari perkawinan itu.

"Itu karena Tuan Afif juga infertile. Selain mengkonsumsi narkoba selama bertahun-tahun, Tuan Afif juga sering melakukan seks bebas dengan sesama pecandu. Sehingga tak bisa mengelak dari penyakit masalah seksual. Dia tidak pernah bisa membuat istrinya hamil. Informasi ini saya dapat sendiri dari sumber terpercaya. Namun Tuan Pramana menyembunyikan fakta ini dari publik. Ketika Tuan Afif melakukan penggelapan uang perusahaan bertahun-tahun yang lalu, Tuan Pramana senior langsung menjebloskannya dalam penjara. Asetnya ditarik dan diblacklist dari daftar pewaris. Maghdalena yang bukan keturunan asli Pramana otomatis tidak mendapat apa-apa. Dia dan ibunya dikirim ke Singapura dengan bekal sejumlah deposit yang cukup besar," pungkas Dikta.

"Kini jelas tujuan Maghdalena untuk membalas dendam. Ditambah dengan Bambang yang serakah itu mengambil kesempatan memanfaatkan Maghdalena," tutur Aisha.

"Itulah mengapa Tuan Alif menyiapkan segalanya dari awal. Semua demi melindungi Ibu dan Tuan Muda Alfa," sahut Dikta.

"Sepertinya Bapak sudah mendapat firasat sebelumnya. Sebelum berangkat ke kota S, Bapak selalu menitipkan banyak pesan-pesan dan selalu bersikap mesra dan ..." Aisha menutup wajahnya kemudian terisak lemah. Hatinya hancur kehilangan suaminya yang menjadi penolongnya dulu. Siapa sangka jodoh mereka begitu singkat.

Dikta beranjak dari tempat duduknya lalu duduk di samping majikannya. Dikta meraih tangan Aisha yang menutupi wajahnya.

"Ibu jangan bersedih lagi, harus kuat demi Tuan Muda Alfa. Saya sudah berjanji pada Tuan Alif akan melindungi Ibu dan Tuan Muda dan juga membantu menjalankan perusahaan ini. Anda jangan takut. Di masa lalu Tuan Alif adalah orang baik. Anda juga orang baik. Maka akan banyak yang akan membantu Ibu di masa depan," tutur Dikta sambil perlahan melepaskan tangan majikannya.

"Benarkah?" tanya Aisha menatap Dikta. Pria itu mengangguk meyakinkan disertai senyum yang menghangatkan hati Aisha. Mereka bertatapan beberapa saat sebelum masing-masing mengalihkan pandangannya. Sama-sama canggung.

Terdengar ketukan di pintu. Aisha menyeka air matanya dan beranjak ke kursi kerja. Dikta bangkit dari duduk dan membuka pintu. Seorang sekretaris Alif membawa kotak makan siang pesanan mereka.

Dikta meletakkan kotak tersebut di atas meja di depan sofa. Dengan cekatan pria itu membuka dan mengatur di atas meja lalu mempersilahkan majikannya makan.

Mereka makan dalam diam, bergelut dengan perasaan masing-masing.

Bersambung ...

💝💝💝

Mampir juga di novelku berjudul Bukan Wonder Woman.

See you next chapter 😘

avataravatar
Next chapter