16 Pergi Ke Kampung

Safira menuntun sepeda di tepi jalan karena ban sepedanya bocor. Dia baru saja ke luar pasar setelah seharian berdagang. Rasa lelah dan letih mulai dirasakan Safira sambil menatap jalanan yang mulai padat. Para karyawan mulai pulang dari tempat kerjanya. Ada yang naik kendaraan pribadi berupa motor atau mobil, ada juga yang naik kendaraan umum berupa taksi, bus, busway, angkot dan lain sebagainya. Selain itu ada juga yang jalan kaki di trotoar.

Safira tersenyum melihat ke depan. Mungkin Arisha juga sudah pulang dari kantor tempatnya bekerja. Tak sabar Safira ingin bertemu dengan putri semata wayangnya itu. Namun tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya.

"Mobil siapa?" batinnya bertanya.

Kaca mobil itu diturunkan. Wajah Abraham terlihat menatap Safira.

"Masuklah!" titah Abraham.

Safira terdiam sesaat. Memikirkan perintah Abraham padanya. Tapi seorang pengawal Abraham ke luar dari mobil. Dia menghampiri Safira dan menarik tangannya masuk ke dalam mobil. Safira duduk di kursi belakang bersama Abraham. Mobil itupun melaju meninggalkan tempat itu.

Safira bingung apa yang diinginkan Abraham padanya. Dia tampak tegang dan mengepalkan tangannya.

"Lusa Elina akan menikah, aku tidak ingin kau ada di saat pernikahannya berlangsung."

"Kenapa? Aku ibunya, sudah seharusnya ada bersamanya." Safira mempertanyaan larangan Abraham padanya agar tidak ada di pernikahan Arisha.

"Lakukan perintahku! Jika kau ingin Elina bahagia. Kalau kau tetap bersikeras aku bisa menggunakan cara yang kasar." Abraham menekan Safira agar dia mengikuti perintahnya.

Safira meremas rok yang dikenakannya. Matanya berkaca-kaca dengan ancaman Abraham padanya.

"Bagaimana seorang ibu tidak ada di pernikahan anaknya? Arisha pasti akan mencariku." Safira tidak bisa membayangkan kalau dia tidak ada di hari bahagia anaknya. Arisha pasti sangat sedih.

"Pulanglah ke kampung untuk sementara waktu! Jangan kembali sebelum aku menyuruhmu kembali! Kau tahu siapa akukan?" Abraham bicara dengan nada ancaman dan penekanan pada Safira. Dia terlihat dingin menatap ke depan sedangkan Safira menunduk.

"Sampai kapan kau akan mengatur hidupku? Aku sudah membayar semuanya." Menoleh ke arah Abraham yang duduk dengan arogan.

"Elina milik Keluarga Mahendra. Kau tahu itukan!Tapi dia tidak bisa tetap di tempat, selama itu juga aku akan menarik ulur kehidupanmu!"

Safira terdiam. Dia tidak bisa melawan Abraham. Selamanya Arisha milik Keluarga Mahendra bukan milik Safira. Dia hanya bisa menjadi ibu yang melahirkan Arisha tapi tidak pernah bisa mengakui Arisha sebagai anaknya.

Mobil itu melaju hingga berhenti di sebuah terminal bus. Abraham meletakkan amplop berwarna coklat di paha Safira.

"Itu uang untuk biaya hidupmu di kampung. Bersandiwaralah sebaik mungkin! Jangan sampai Arisha mencarimu apalagi membatalkan pernikahannya!" ancam Abraham. Dia tersenyum licik. Wanita paruh baya yang duduk di sampingnya tentu tidak berdaya melawannya.

"Kau boleh mengatur hidupku sesukamu, tapi jangan lakukan ini pada Arisha. Dia berhak bahagia." Safira berpesan pada Abraham sebelum dia ke luar dari mobil itu.

Abraham hanya terdiam dan tersenyum tipis.

Safira pun turun dari mobil. Dia berjalan masuk ke dalam terminal bus. Tak ada pilihan lain untuknya selain mengikuti perintah Abraham.

***

Arisha turun dari bus. Dia berjalan di trotoar dengan suka cita. Meski lusa akan menikah dengan Erland, semua itu tak mematahkan semangatnya. Yang terpenting dia bisa bersama Safira dan tetap bekerja sebagai sekretaris dinosaurus mesum tanpa ada tekanan karena Erland tidak tahu kalau Elina itu Arisha yang bercadar.

"Loh itu sepeda ibu, kok ada di tepi jalan?" Arisha bergegas menghampiri sepeda yang terparkir sembarangan di tepi jalan. Dia tahu persis itu sepeda milik Safira. Masih ada tas rajut di dalam tas barang yang menempel di sepeda ibunya.

"Ibu ke mana ya? Kok sepedanya ditinggal." Arisha menoleh ke kanan dan kiri menyapu sekelilingnya. Mencari keberadaan Safira. Lalu dia mengeluarkan handphone dari tas cangklong miliknya.

"Coba ku telpon ibu deh." Arisha menyalakan layar handphone dan menelpon Safira.

["Assalamu'alaikum."]

["Wa'alaikumsallam."]

["Bu, ada di mana?"]

["Ada di kampung."]

["Kok di kampung?"]

["Budemu sakit. Ibu baru mendapat kabar. Kasihan Budemu tidak punya siapa-siapa di kampung. Jadi Ibu pikir untuk pulang dan merawatnya."]

[Tapi lusa aku menikah Bu."]

["Maafkan Ibu Nak. Tapi Bude membutuhkan Ibu. Doa Ibu selalu menyertaimu. Kau harus menikah! Dan hidup bahagia. Lakukan semua demi Ibumu!" ]

Safira langsung menutup telpon. Sedangkan Arisha masih berdiri termenung mendengar Safira pulang kampung di saat dia akan menikah. Padahal Arisha berharap pernikahannya akan disaksikan Safira. Meski Arisha menikah dengan orang yang tidak dicintainya.

"Bu, kenapa? Aku ingin sekali Ibu ada di saat aku menikah." Air mata menetes di pipi Arisha. Impiannya menikah disaksikan Safira hanya berupa angan-angan. Safira pergi tanpa memberi tahu Arisha sebelumnya.

Arisha mengeluarkan sapu tangan buatan Safira, dia mencium sapu tangan itu dan menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Semangat Arisha! Jangan cengeng!" Arisha menyemangati dirinya sendiri. Dia menuntun sepeda Safira berjalan meninggalkan tempat itu.

***

Sisilia pergi ke sebuah taman. Dia menunggu di tepi danau. Duduk di kursi menatap air danau yang tenang. Dia menunggu kedatangan seseorang yang penting dalam hidupnya. Sebuah keranjang piknik ada di tengah kursi. Berisi nasi, lauk pauk, sayuran, jus, dan buah segar.

"Maaf aku telat." Seorang lelaki paruh baya berdiri di belakang kursi.

Sisilia menoleh ke belakang. Tersenyum pada lelaki itu.

"Duduklah Mas Eric!" Sisilia senang suaminya mau datang menemuinya.

Eric mengangguk. Bergegas duduk di samping Sisilia. Menatap ke depan.

"Sudah lama kita tak bertemu ya Mas?" Sisilia selalu ramah dan sopan saat bicara dengan suaminya.

"Iya, apa Ibu tahu kau menemuiku?" tanya Eric. Dia tahu betul seperti apa Victoria. Tidak ada satupun orang yang boleh melanggar aturan yang sudah ditetapkan olehnya.

"Tentu tidak. Mas tahu sendiri keadaannya seperti apa."

Eric mengangguk. Mereka sudah sama-sama tahu keadaan seperti apa yang sedang terjadi di antara mereka.

"Kita makan dulu yuk Mas! Aku bawa masakan kesukaanmu."

"Terimakasih. Kau tidak pernah berubah padaku."

Sisilia hanya tersenyum. Lalu membuka keranjang piknik yang dibawa olehnya. Dia mengeluarkan semua makanan yang ada di dalam keranjang itu termasuk jus jeruk buatannya.

"Ada dendeng sapi jadi ingat dulu." Eric tersenyum pada ingatan di masa lalu saat bersama Sisilia.

"Aku selalu ingat kau suka dendeng sapi. Aku sengaja membuat banyak agar bisa kau makan hari esok." Sisilia mengambilkan Eric nasi, lauk pauk, dan sayuran untuknya.

Mata Eric berkaca-kaca melihat Sisilia. Wanita di depannya itu begitu mencintainya dan selalu perhatian padanya.

"Ayo makan Mas!" ajak Sisilia sambil memberikan piring untuk Eric.

"Makasih." Eric malu. Kata terimakasih mungkin tak seberapa dari semua kebaikkan Sisilia padanya.

Mereka berdua makan sambil menikmati sore hari itu dengan senyuman di bibirnya. Suapan demi suapan menjadi nikmat yang begitu berharga. Mereka bersyukur masih bisa diberikan nikmat makan karena tidak semua orang bisa menikmatinya.

Setelah makan, keduanya duduk santai dan melanjutkan kembali obrolan yang tertunda.

"Mas, Erland akan menikah."

"Kapan?" Eric tidak tahu soal rencana pernikahan Erland. Dia bukan orang yang akan diundang dipernikahan anaknya.

"Lusa."

"Dengan siapa?" tanya Eric.

"Elina Clemira dari Keluarga Mahendra." Sisilia harus menyampaikan kabar gembira itu pada suaminya. Walaupun dia tidak diperbolehkan memberitahu Eric soal rencana pernikahan Erland.

"Keluarga Mahendra?" Eric terperanjat saat mendengar nama Keluarga Mahendra disebut.

"Iya Mas, jangan terlalu dipikirkan."

Eric terdiam. Gurat di wajahnya tampak gelisah dan resah.

"Aku pulang dulu. Assalamu'alaikum." Sisilia tidak bisa berlama-lama bertemu Eric. Dia tidak ingin Victoria sampai mengetahui pertemuannya dengan Eric.

"Wa'alaikumsallam."

Sisilia bangun. Berjalan meninggalkan Eric. Sedangkan Eric masih terdiam di tempat. Memikirkan apa yang sudah disampaikan istrinya.

avataravatar
Next chapter