4 HANTU DAN RAHASIA

Hujan mengguyur kota Jakarta begitu deras. Orang-orang keluar hanya untuk mengangkat jemuran yang masih basah. Padahal matahari bersinar begitu terang tadi, tapi sekarang awan hitam beserta air hujan yang dominan terlihat. Matahari menghilang dengan sinarnya begitu saja.

Gadis dengan rambut panjang itu menghela berat. Rencananya gagal hari ini, hujan terlalu lebat jika dia berbuat nekat. Bisa-bisa dia yang akan sakit karena hujan-hujanan.

Rahel terus memandangi hujan melalui kaca jendela yang basah, bulir air hujan terlihat dengan jelas. Bisa dia rasakan hawa dingin dengan aroma khas tanah ketika hujan sekarang. Kedua sudut bibirnya terangkat sebelum dia melenggang pergi.

Kaki mungilnya menuruni setiap anak tangga dengan perlahan. Rahel bingung untuk rencana B yang belum dia buat semalam, seharusnya dia buat setelah memikirkan rencana utama. Ini kesalahannya yang tidak bisa berpikir dengan cepat.

"Sarapan sayang," ucap Febby yang hanya dibalas dengan senyuman tipis Rahel.

Gadis itu duduk tepat di depan sang ibu. Menerima susu vanila dengan tambahan potongan kacang almond. Menu hari ini salad sayur dengan tambahan alpukat. Febby bilang, hidup sehat itu wajib dilakukan tanpa pandang usia.

"Kamu libur hari ini?" tanya Febby akhirnya.

Rahel mengangguk sambil mengunyah makanannya. "Hari ini tanggal merah, tapi kenapa Mama pakai setelan?"

"Mama ada rapat penting sama investor dari Rusia."

"Perasaan gak pernah deh Mama gak rapat sama orang, kalau bukan orang kantor ya pasti sama orang asing."

Febby menghela dengan memberikan senyum penuh penyesalan. "Mama Minta maaf, tapi kamu harus tau kalau pengusaha itu gak punya waktu libur selain hari minggu."

"Iya minggu emang libur, tapi cuman buat Mama. Bukan papa." Rahel menekuk wajahnya, menusuk-nusuk sayurannya dengan malas.

Febby beranjak, mengelus puncak kepala putrinya sebelum dia beri kecupan penuh kasih sayang. "Mama minta maaf, tapi mama gak punya waktu lagi buat ngobrol. Mama harus pergi, tapi nanti sepulang dari kantor mama janji bakalan obrolin soal ini sama kamu."

"Hm, iya. Take care Mama."

"Jaga rumah baik-baik ya, kalau kamu mau main sama temen tunggu tetang dulu! Mama pergi, jangan bikin ulah ya!" ucap Febby sebelum melenggang pergi. Rahel hanya menatap punggung kecil itu dengan tatapan datar, lagi pula ini bukan kali pertamanya merasa sepi.

*****

Sepatu both berwarna hitam itu terus mengambil langkah dengan cepat, tidak peduli jalanan yang becek, dan banyak lubang berair. Membuatnya harus berhati-hati, tapi lebih sering menginjak lubang tanpa berpikir panjang. Rahel kembali memperbaiki tudung jas hujannya.

Perumahan yang Vito maksud dia masuki sekarang. Hujan yang tak lagi lebat tidak membuat orang-orang mau duduk di teras rumah. Mereka semua memilih untuk di dalam, di depan TV sambil menikmati makanan yang masih panas.

Suasana keluarga di hari libur yang Rahel inginkan, sayangnya kedua orang tuanya sangat sibuk. Dia harus sendirian, menerima kelas tambahan di sekolah agar tidak kesepian ketika tiba di rumah.

Iri pada orang -orang hanya akan membuatnya  merasa menyedihkan. Rahel memilih untuk menerima semua yang dia punya, bersyukur karena masih mendapatkan kasih sayang dari papa, dan mamanya. Hanya itu yang membuatnya bisa hidup sampai detik ini.

Rahel mulai menoleh ke arah kiri, dan kanan. Memastikan setiap nomor rumah yang dia lewati itu bukan rumah Vito. Dia masih berjalan, hingga detik ini pun dia masih belum menemukan rumah nomor empat puluh lima di blok D. Alamat yang Vito berikan masih dia ingat dengan sangat jelas, tapi sampai detik ini masih belum dia temukan.

Kedua alisnya bertaut ketika melihat seseorang membuka pagar rumah dengan payung berwarna merah terang. Dia segera berlari mendekat, "Permisi?" panggilnya.

Wanita tua itu menoleh dengan senyum ramah. "Iya, cari siapa Non?"

"Saya mau nanya Bu, rumah nomor... empat puluh lima itu di mana ya? Dari tadi saya keliling belum nemu soalnya."

Mendengar hal itu membuatnya mengernyit. Dia menatap Rahel dari atas sampai bawah, memastikan sesuatu tanpa mengeluarkan sebuah kalimat tanya. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya dia berkata, "Kalau boleh tau Nona ini saudara atau... kenal aja sama pemilik rumah?"

"Ah, iya, saya temennya Vito Bu. Temen lumayan akrab."

Wanita tua itu kembali membisu, terlihat berpikir cukup panjang padahal Rahel hanya bertanya soal rumah Vito. "Beneran gak tau apa-apa soal rumahnya?"

Rahel menggeleng kebingungan.

"Rumahnya kebakar Non, udah lama gak di tempatin. Ada di ujung jalan sana, rumah yang ada bekas kebakaran sama punya ilalang disekitaran rumah."

"Kebakar?" Rahel bertanya dalam hati, dia tidak tahu soal ini. Namun, segera dia mengatakan terima kasih sebelum akhirnya melenggang pergi.

Nomor 45 benar-benar dia lihat sekarang. Pagar rumah yang sudah karatan, halaman rumah penuh dengan ilalang setinggi lutut, dan bekas kebakaran yang terlihat jelas. Rumahnya benar-benar tak terawat, dibiarkan begitu saja.

Rahel membuka pagar rumah yang menimbulkan suara di tengah suara hujan. Dia melangkah perlahan meskipun sebenarnya takut ada ular atau lintah di halaman rumah. Dia berpikir untuk melangkah lagi, tapi berakhir dengan berdiri di dekat pintu pagar.

"Vito?" gumam Rahel, kedua matanya memicing untuk memastikan cowok yang sedang duduk di teras rumah adalah Vito.

Ekspresinya nampak sedih sekali, seragam sekolah yang dipakai pun sangat lusuh. Berbeda dengan Vito yang biasanya Rahel lihat di sekolah. "Vito?" panggil Rahel dengan berteriak.

Vito menoleh malas, mereka saling tatap untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya Vito menghilang begitu saja. Membuat Rahel kebingungan sendiri karena dia tidak tahu apa masalahnya sekarang.

****

Hari ini sekolah tak terasa nyaman sebagaimana biasanya. Hantu tampan bernama Vito tak pernah muncul di hadapan Rahel. Hal itu membuat Rahel sedih karena tak ada lagi teman laki-lakinya yang terkesan begitu cerewet dan lucu.

Entah apa yang membuat Vito menghilang, bersembunyi, bahkan menghindari Rahel kemarin. Seakan-akan ada masalah besar yang membuat pertemanan mereka menjadi renggang.

Rahel berjalan melewati gerbang tinggi sekolahnya. Kakinya memilih untuk berjalan dengan pelan, dia juga fokus pada jalanan di depan sambil menggenggam tali ranselnya dengan erat.

Rahel menghela pelan, langkahnya ikut berhenti di dekat persimpangan jalan. Kedua matanya menyipit sebelum mendongak, beberapa rintik hujan menyapa kulit wajah Rahel tanpa ada tanda-tanda akan turun hujan.

Rahel mempercepat langkahnya, tapi hujan datang begitu deras. Dia lupa membawa payung ataupun jas hujan, padahal tadi pagi Febby sudah memberitahu untuk membawa jas hujan beserta payung sebagai pertolongan pertama.

Klakson mobil membuatnya menoleh tanpa menghentikan langkahnya yang cepat, tapi kemudian Rahel berhenti ketika mobil berwarna merah itu berhenti. Segera dia masuk dengan seragam yang lumayan basah.

"Kan mama udah bilang buat bawa jas hujan sama payung tadi, bandel banget sih gak di dengerin mamanya ngomong," omel Febby.

Rahel hanya bisa memberikan cengiran dengan rasa malu. Memang dia yang bodoh hari ini, dan dia akui hal itu.

"Mama denger kalau ada temen kamu yang kesurupan, beneran?" Febby masih fokus menyetir, sementara Rahel mulai merasa tak nyaman dengan jantung yang berdegup lebih cepat.

"Um... iya, ada yang kesurupan. Aku liat dia ketawa di sekolah waktu mau pulang."

"Kamu gak pergi buat nemuin hantunya kan?"

"Engga kok, gak kaya gitu. Aku gak ada niatan bodoh kaya gitu kok, masih mau hidup normal," bohong Rahel meskipun dengan ekspresi kebingungan khas orang yang tidak bisa berbohong.

Febby masih tidak melihat Rahel sampai detik ini, dia fokus dengan jalanan yang tidak terlihat jelas karena hujan lebat. "Kalau ada apa-apa atau ketemu sama hantu langsung bilang ke mama ya! Nanti mama bantu apa pun itu, pokoknya kamu harus bisa hidup tenang."

"Iya kalau aku gak bisa ngadepin."

"Gak bisa ngadepin?" Febby menoleh dengan mening bertaut dalam, tatapan tajam dia berikan untuk pertanyaan yang tidak bisa keluar dari bibir.

"Gak gitu... bukan gitu kok Ma. Maksudnya tuh aku bakalan kasih tau semuanya ke Mama, gitu hehe iya gitu."

"Bener ya? Awas aja kalau engga, kalau sampai kamu bohongin mama, mama gak akan pikir dua kali buat pindahin kamu."

"Hehe, iya gak akan bohongin Mama."

avataravatar
Next chapter