1 AWAL MULA

"Pagi Rahel." Perempuan itu menuruni anak tangga dengan pelan. Senyum hangat dia berikan untuk gadis yang sekarang menatapnya dengan senyum tipis. "Tidurnya nyenyak?"

Rahel mengangguk sebelum duduk di sofa. Memperhatikan sang ibu yang sibuk memilih tempat duduk, tidak begitu lama untuk memilih. Febby duduk berseberangan dengan Rahel akhirnya.

"Rahel, mama rasa... sekolah baru kamu itu kurang cocok," ucap Febby khawatir. "Ada rumor soal sekolah baru kamu ini Rahel, katanya berhantu. Kamu serius mau sekolah di sana? Tolong pikir baik-baik, jangan langsung mau cuman karena sekolahnya bagus."

Rahel menghela seraya memutar bola matanya malas. Sejujurnya sang mama sudah sering membicarakan masalah ini, tapi masih saja tidak mau menerima pilihannya yang sudah pasti telah dipikirkan secara masak-masak. "Ma, tahun ini aku harus pindah sekolah karena Mama yang khawatir masalah kesurupan masal itu kan? Padahal aku gak kesurupan, dan sekarang soal sekolah baru pun yang Mama tau sebatas rumor Ma. Ini cuman rumor."

"Rahel, emang masih rumor, tapi gimana kalau beneran? Terus kamu diikutin sama hantunya, mama gak bisa gak khawatir sama kamu."

"Ma, itu yang Mama pikirin, belum tentu sesuai sama yang Mama pikirin. Lagian aku belum ke sana, masih daftar aja. Ini aku masih baik-baik aja loh Ma, tolong jangan liat aku kaya orang yang gak bisa jaga diri sendiri!" pinta Rahel, ekspresi sedih dia berikan agar sang mama tak lagi khawatir.

Febby merasa bersalah karena tidak percaya dengan putri semata wayangnya. Terlalu takut sesuatu terjadi di masa depan sampai membuatnya memiliki banyak beban pikiran. Febby menghembuskan napas panjang akhirnya, memberikan senyum tulus untuk Rahel, dan berkata, "Maafin mama, harusnya mama percaya sama kamu."

"Wajar kok Mama khawatir banget sama aku, banyak kejadian gak enak dulu karena mereka. Tapi Mama tenang aja, sekarang umur aku 17 tahun, artinya aku udah bisa jaga diri. Gak akan ada gangguan lagi, aku janji gak akan ada lagi gangguan hantu yang bikin aku sakit."

"Bener ya? Kalau sampai kamu jatuh sakit karena hantu lagi terpaksa mama harus pindahin kamu ke sekolah baru. Gak peduli kamu kelas berapa, udah mau deket ujian atau engga, pokoknya kamu harus nurut!"

"Iya-iya nurut, janji!"

*****

Ada begitu banyak awan tebal di sana, sampai-sampai sinar mentari terlihat kesusahan untuk menembus. Cukup sulit memberikan kehangatan untuk semua makhluk hidup di bumi. Seakan bersedih, matahari benar-benar menenggelamkan dirinya dibalik awan.

Banyak anak-anak yang menggunakan sepeda kayuh untuk pergi ke sekolah tanpa menggunakan jaket. Beberapa diantara mereka diantar orang tua menggunakan kendaraan pribadi, ada pula yang menggunakan angkutan umum. Mereka pergi dengan terburu-buru, jalanan sudah macet seperti biasanya.

Kemacetan selalu datang tanpa mengenal waktu, membuat sebagian orang memilih untuk pergi satu jam sebelum kelas di mulai atau sebelum janji temu yang telah ditentukan agar tidak telat.

Padatnya jalan raya membuat gadis yang tengah duduk di halte menghela berat. Dia duduk sendirian, busnya tak kunjung datang. Ini kali pertamanya bus yang dia tumpangi datang lebih lama, padahal biasanya selalu tepat waktu.

Rahel menoleh ke arah kiri, busnya benar-benar terlambat. Belum ada tanda-tanda bus yang dia tunggu muncul di ujung jalan. Jalanan semakin ramai, dan mulai melamban. Jelas sekali sekarang sedang macet, tapi masih bisa bergerak selayaknya kendaraan.

"Hai!"

Suara itu membuat Rahel menoleh, keningnya mengernyit ketika cowok asing itu memberikan senyum dengan lambaian tangan sebelum duduk. Tampan menurut Rahel, dia memiliki wajah manis yang tidak membuat orang bosan untuk terus dilihat. Menyenangkan.

"Bus arah SMA Tri Sakti belum dateng atau lo ketinggalan bus?" ucap cowok asing tanpa senyum sekarang.

Rahel mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, dia kembali menatap lurus ke depan. "Belum, gue udah nunggu di sini dari tadi. Ada setengah jaman deh kayanya."

"Oh... gue pikir ketinggalan bus, soalnya cuman bus itu doang yang bisa nganter kita ke sekolah."

"Kita?" Rahel kembali menoleh, kali ini dengan kedua alis yang menyatu. "Lo... satu sekolah sama gue?"

"Iya, tapi gue liat-liat sih seragam lo masih baru banget, pasti lo anak baru."

"Iya, baru hari ini buat belajar, tapi ini yang ketiga kalinya buat ke sekolah."

"Ahh! Gitu, jadi ke sekolah cuman buat daftar sama ambil seragam dong ya? Temen gue yang anak baru juga pada gitu sih, tapi anehnya tuh mereka gak diajak keliling sekolah gitu. Kelilingnya nanti pas udah jadi siswa di sana, kelamaan banget menurut gua," jelasnya dengan ekspresi yang begitu ceria.

Rahel ikut tersenyum meskipun tipis, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi sekarang, tapi menurutnya diam dan memberikan senyum jauh lebih baik ketimbang tidak bereaksi apa-apa.

"Nama gue vito." Vito mengulurkan tangannya, tapi tak segera disambut Rahel. Membuatnya mengambil tangan kanan Rahel, dan bersalaman sebentar. "Vito, temen pertama lo, dan temen baru lo."

"Ehehe! Iya, nama gue Rahel."

"Kelas berapa?"

"Dua belas."

"Woah! Sama dong, kayanya kita sekelas nanti!" ujar Vito dengan penuh semangat, dan lagi-lagi Rahel hanya bisa tersenyum paksa.

"Busnya udah dateng, gue duluan." Rahel segera beranjak dan masuk ke dalam bus.

Vito ikut berlari menyusul Rahel. Cowok itu mencari di mana Rahel duduk, hanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya dia ikut duduk tepat di sebelah gadis yang menjadi teman barunya. "Buru-buru amat, mau ke mana sih?"

"Sekolah, mana lagi?"

"Bareng atuh Hel, kita kan satu sekolah. Jangan di tinggal gitu temen barunya!"

Rahel memberikan tatapan tak nyaman, membuat Vito merasa salah tingkah karena malu, dan bingung. "Lo kenapa sih? Ada banyak kursi loh di sini, kenapa harus di sini?"

"Lo sendirian, jadi gue duduk di sini. Lagian gue juga bayar kursinya, lo ga bayar double kan?"

"Hah! Gini banget hari pertama gue."

"Ketiga," sanggah Vito.

"Iya-iya ralat jadi tiga hari."

"Tapi kayanya gue gak jadi duduk di sini. Gue suka sebenernya cuman kayanya gak bisa." Vito beranjak, memberikan senyum manis untuk Rahel yang sekarang menatapnya bingung. "Lo duduk sendiri dulu ya, nanti pas jam makan siang gue samperin lagi kalau kita gak sekelas."

"Kaya tau aja gue di mana nanti siang."

"Loh! Jelas tau, dan lo gak boleh tau gue ada di mana." Senyum yang lebih lebar itu dia berikan lagi. "Selamat pagi, dan selamat bersenang-senang Rahel," lanjutnya sebelum pergi menuju kursi paling belakang.

Rahel tidak paham dengan Vito, tapi dia memilih untuk menoleh sekilas, dan kembali fokus pada pemandangan luar jendela. Lagi pula tidak mungkin juga dia bisa bertemu dengan Vito, dan satu kelas dengan Vito nanti.

*****

Sekolah baru dengan suasana baru tak membuat bulu kuduk Rahel meremang. Sepanjang perjalanan ia merasa biasa-biasa saja. Entah itu hanya mitos atau memang benar ada, tapi Rahel masih belum melihat satu hantu pun di sekolah.

Ia terus menyusuri koridor yang tengah ramai, sampai akhirnya dia berhenti di depan kantin. Kantin sekolah terasa begitu sunyi, seakan-akan tidak ada kehidupan. Padahal sudah jelas ada banyak orang yang sedang menyantap makanan sambil bercerita.

Rahel melihat jam tangannya, jarum jam menunjuk pada angka dua belas siang, sudah waktunya untuk makan siang sekarang. Dia memilih untuk mampir, membeli satu botol air mineral, dan duduk di dekat jendela. Pemandangan yang dia dapatkan adalah lapangan basket.

Rahel menyaksikan permainan basket dari atas dengan serius, tapi tiba-tiba saja keningnya bertaut ketika melihat cowok itu memberikan lambaian tangan. Padahal jaraknya tidak dekat, tapi Vito bisa tahu dia ada di mana, dan sedang menonton. Cowok itu benar-benar aneh, dan sekarang membuat kepala Rahel penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.

Rahel kembali memperhatikan lapangan basket, tapi Vito tidak ada di sana. Membuatnya harus fokus mencari seseorang yang sangat amat tidak penting itu. Anehnya dia lakukan beberapa kali.

"Nyari siapa Mba?"

Rahel terkejut, tentu saja Vito seperti hantu karena tiba-tiba sudah ada di sini. Padahal dia baru saja melihat Vito di bawah, beberapa menit yang lalu saja. Tidak lama, tapi sudah ada di sini. "Kok... lo... lo bisa di sini sih?"

"Bisa dong, apa sih yang gak gue bisa?" sahut Vito dengan tampang sok gantengnya. Dia memilih duduk di depan Rahel, meraih air mineral yang masih tersegel, dan buru-buru dia tegak hingga tak tersisa. "Makasih, seger banget airnya."

"Ih, kok di abisin sih? Yang beli kan gue, kenapa elo yang ngabisin malahan?"

"Jangan marah-marah, nanti cepet tua!"

Rahel mengernyit, tatapan kesal semakin dia berikan khusus untuk Vito.

"Santai dong, nanti gue beliin yang banyak deh. Satu kardus kalau lo mau juga, tapi nanti ya."

"Nanti kapan?" sahut Rahel sewot.

"Nanti pas gue sukses."

"Ih! Ngeselin banget sih lo jadi cowok!" Rahel memukul lengan kiri Vito kesal. Detik berikutnya Rahel memilih pergi tanpa peduli teriakan Vito.

avataravatar
Next chapter