5 ASAL MULA

Rahel menguap sambil terus mencari-cari artikel ditengah kegelapan. Kasurnya terlalu nyaman sampai dia terus mengantuk, padahal artikel yang dia cari kali ini sangat penting karena berkaitan dengan kematian Vito.

Salah satu tetangga Vito memberitahu Rahel soal liputan kebakaran, bahkan beritanya ada di semua koran hingga berita TV meskipun hanya satu hari. Rahel masih mencari, dia belum menyerah untuk artikel yang masih sulit. Kata kunci sudah dia masukkan beberapa kali, tapi selalu saja gagal sampai detik ini.

Artikel kebakaran dia dapatkan dengan kedua mata membulat lebar. Rahel duduk seketika, dia baca dengan teliti, tapi berakhir kecewa. Artikelnya bukan tentang rumah Vito, rumah orang lain dengan tragedi yang sama.

Helaan napas kecewa dia keluarkan begitu saja. Dia kembali tidur terlentang, menyimpan ponselnya di atas dada sambil memperhatikan langit-langit kamarnya yang tidak terlihat jelas. Liburan kali ini terasa tidak menyenangkan dengan hati yang tidak bisa tenang. Hujan terus mengguyur kota Jakarta dari hari sabtu sampai minggu malam. Tidak ada jeda, tapi sang mama tetap pergi untuk rapat penting bersama rekan bisnis.

Berakhir Rahel di dalam rumah sendirian tanpa melakukan aktivitas selain tidur, dan mencari info soal kematian Vito. Namun, sayangnya tidak ada yang dia dapat sampai detik ini. "Seharusnya gue gak pernah tau kalau lo itu hantu penasaran."

Suara khas pintu terbuka membuat Rahel menoleh, dia lihat Febby berdiri diambang pintu dengan senyum yang terlihat samar. "Udah makan malem sayang?" tanya Febby.

"Udah, satu jam yang lalu."

"Mama bawa pizza, mau makan sama mama?"

"Mau!" Rahel menjawab sambil beranjak cepat. Menghampiri Febby dengan senyum sebelum akhirnya dia keluar duluan. Pizza toping pepperoni sudah dingin, tapi tetap Rahel santap dengan perasaan bahagia.

"Tadi pagi kamu ngapain aja selain belajar Hel?" tanya Febby.

Rahel menggeleng sambil mengunyah pizza dinginnya. "Gak ngapa-ngapain, cuman tiduran di atas kasur sambil main ponsel. Lagi males ngapa-ngapain, gak ada tugas juga."

"Pasti bosen, besok kita pergi nonton film ya!"

"Asyik, nonton film! Kita nonton film hantu kan?"

"Oke!"

"Yeay! Akhirnya main sama Mama!"

*****

Vito menatap nanar pohon mangga di depannya sambil terus memainkan ayunan. Entah apa yang dia pikirkan sampai membuat wajah tampan itu terlihat lebih jelek, kesedihan tak cocok untuknya. Helaan napas samar dia keluarkan sambil menunduk, genggamannya pada tali ayunan semakin erat ketika angin kencang datang tiba-tiba.

Tidak ada yang dia lakukan selain menunggu sosok yang akan datang. Mungkin sudah datang, tapi Vito tidak tahu di mana sosok itu berdiri atau duduk.

"Senang melihatmu dengan wajah kusut seperti ini." Suara melengking itu membuat Vito mendongak, dia tatap sosok yang sedang menyisir rambut kusut pada dahan pohon mangga yang kokoh. "Kenapa murung? Gak cocok tau kalau murung kaya gitu, gantengnya jadi ilang," ucap Amara kali ini menatap manik mata Vito, tatapannya begitu mengejek.

"Bukan urusan lo," sahut Vito kesal.

"Dia tau lo hantu, terus lo malu ketemu sama dia atau malah ngehindar? Hm.. kayanya dua-duanya sama aja, aneh tau gak?" Amara mengernyit, dia ikut kesal sekarang karena ekspresi datar Vito. "Kalian berdua aneh banget. Yang satu bingung harus pergi ke mana, yang satunya malah bingung nyari cara buat bisa ketemu lagi. Huft! Emang kalian tuh ditakdirin buat ketemu."

"Lo kenapa sih? Ada masalah apa sama gue coba?"

"Gak ada, cuman pengen ngobrol aja. Gue bosen sendirian di toilet, cuman bisa jalan-jalan disekitar sekolah aja udah bersyukur banget. Kenapa sih lo malah nanya balik? Gak asik banget."

Vito tak menjawab pertanyaan Amara, dia memilih untuk membisu tanpa menatap hantu perempuan itu lagi. Tentu Amara ikut menoleh ke arah lain, tapi hanya bertahan beberapa saat sampai dia kembali memperhatikan Vito dari atas sana. "Kasian Rahel tau, dia beneran pengen ketemu sama lo. Kenapa gak dikasih kesempatan aja sih? Say good bye gitu buat kali terakhirnya."

"Aduh, gue tuh gimana ya? Pusing mikirin itu. Gue juga mau ketemu Rahel lagi, tapi gue bingung."

"Gampang sih, tinggal kasih tau wajah asli doang."

"Kaget anak orang Amara," sahut Vito kesal.

Amara tertawa cukup nyaring, "Kaget sekali doang, intinya dia tau wujud asli lo. Masalah mau temenan lagi atau engga itu urusan dia, urusan lo itu cuman ngasih tau bentuk asli lo aja."

"Kenapa?"

"Emang lo tau kapan lo berubah jadi negatif? Gak ada yang tau, dan bisa aja tiba-tiba Rahel ketemu sama lo yang negatif. Siapa yang tau kan? Mendingan didahuluin!"

****

Kepulan asap hitam lebat itu terlihat menghiasi langit malam. Kobaran api  semakin lama semakin membesar, di tambah dengan suara teriakan wanita dan laki-laki di dalam rumah.  Mereka berdua mencoba untuk keluar dari dalam kamar, tapi pintu kamarnya terkunci. Tak ada kunci yang tergelatak di atas nakas ataupun di dalam lemari. Wanita paruh baya itu hanya bisa terbatuk dan kemudian duduk di dekat suamianya.

"Mas, aku gak kuat," ucapnya terbatuk-batuk.

Suaminya sendiri memilih untuk duduk, dan menangkup wajah istrinya dengan panik. Tentu dia khawatir karena harus mati dengan cara seperti ini.  "Husna, tolong tahan! Saya yakin kita bisa keluar dari sini, saya akan cari cara supaya kita bisa keluar dengan selamat," ucapnya yakin. "Demi vito, tolong!"

Husna menggeleng karena tidak tahan dengan asap yang membuat tenggorokan dan dadanya sesak. Dia ingin udara segar, tapi sulit untuk mendapatkannya sekarang. Sementara Arya tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi, kasihan pada istrinya yang kesakitan. Dia mulai mencoba membuka pintu secara paksa, tapi usahanya sia-sia.

Api semakin membesar, kepulan asap hitam mulai memenuhi kamar sampai mereka tidak bisa melihat dengan jelas. Hal itu membuat Husna, dan Arya lemas, mereka berdua duduk di depan pintu sambil memeluk satu sama lain.

"Om, Tante awas!" teriak Rahel dengan suara gemetar. Namun, teriakan itu tak membuat Husna, dan Arya menoleh. Mereka masih tetap saling berpelukan sambil memejamkan kedua netranya.

Beberapa api dari atas turun layaknya hujan. Rahel bingung, ia tidak bisa melakukan apa pun, bahkan ia tidak bisa menyentuh benda-benda yang ada di sekitarnya. "Engga, jangan langit-langit kamarnya!"

Kedua netranya terbelalak, dan ketika beberapa runtuhan langit kamar jatuh bersama api, Rahel berteriak histeris. Ia segera menutup wajahnya dengan kedua tangan tanpa bisa melakukan apa pun.

Suasana kembali terasa normal, hembusan angin terasa menyentuh kulit Rahel. Dia mengernyit ketika melihat kondisi sekitar. Rumah yang tadinya penuh dengan api berubah menjadi normal. Tak ada lagi api ataupun tangisan histeris dari Husna.

Rahel berdiri di dekat pagar berwarna putih di tengah teriknya sinar matahari. Kakinya melangkah setelah berdiri beberapa saat, Lagi-lagi dia berhenti diambang pintu yang terbuka. Terlihat dari luar Vito sedang mengecat dinding ruangan. Tidak ada siapa pun di sini, bahkan Husna dan Arya tidak terlihat.

"Vito?" panggil Rahel sambil berjalan mendekat, tapi cowok itu tidak menyahut. Malah melenggang pergi dengan ekspresi sedih. "Vito?" panggilnya lagi, tapi kali ini dengan suara sedih.

Vito terus sibuk, kali ini menggeser sofa sendirian. Kedua matanya memerah, hidungnya pun ikut memerah. Detik itu juga dia berhenti, duduk di salah satu kursi sebelum akhirnya menangis.

Suasana menjadi tidak nyaman, Rahel bingung harus melakukan apa karena sejak tadi Vito tidak menyadari keberadaannya. "Vito, gue disini. Lo bisa ceritain semua masalah lo sama gue, Vito."

****

Rahel bangun dengan tenggorokan tercekat. Kedua pipinya juga basah. Membuatnya harus memeriksa pakaian dan sarung bantal yang ternyata ikut basah. Mimpinya sangat panjang, dan mengerikan.

Rahel mengusap wajahnya perlahan, dia tidak tahu jika memikirkan Vito akan membuatnya bermimpi tentang kebakaran rumah, tapi dia tidak tahu juga kenapa harus pindah latar tempatnya sampai seperti itu. Membuatnya menangis dalam tidur padahal di dalam mimpi tidak.

Namun, tiba-tiba saja dia kembali menangis dengan perasaan yang begitu sedih. Dia merasa kehilangan orang tua yang sangat dia sayangi, habis dilahap api. "Harusnya gue bisa ngelakuin sesuatu di mimpi itu tadi, tapi kenapa gak gue lakuin sih?" ucapnya sambil terus menangis.

"Rahel, kamu kenapa sayang?" Febby berjalan dengan tergesah-gesah mendekati putrinya.

Rahel segera memeluk mamanya begitu erat. Rasanya sangat takut, ia begitu takut jika Febby juga ikut pergi meninggalkannya seperti sepasang suami istri di dalam mimpinya.

"Kamu kenapa?" tanya Febby khawatir.

Rahel menggeleng pelan, ia masih tidak mau bercerita tentang mimpinya. Dia takut jika Febby akan memindahkannya lagi ke sekolah baru.

"Kamu beneran gapapa?" Febby melepas pelukannya, duduk di sebelah Rahel sambil menyelipkan rambut putrinya ke belakang telinga. "Mama bakalan dengerin semua cerita kamu Rahel, jangan disimpen sendiri, gak baik."

"Tiba-tiba mimpiin papa, aku jadi sedih banget sampai harus kebangun."

"Astaga, nanti mama suruh papa cepet pulang supaya kamu gak sedih lagi. Maafin papa ya sayang ya!"

Rahel hanya mengangguk sambil mendekap tubuh mungil Febby lagi. Dia masih berpikir soal mimpinya, dan Vito yang mungkin ada hubungannya dengan kasus kematian Vito. Namun, sayangnya Rahel masih harus mencari cowok itu yang entah ada di mana sekarang.

avataravatar
Next chapter