7 Ch. 6

Tak jauh beda dengan tiga pasien sebelumnya, Arvin dan Dira juga mendapat bagian masing-masing. Dira terlebih lagi.

"Kau perempuan malah ikut tawuran."

"Seharusnya kau itu di dapur dengan bumbu masak!"

"Emansipasi wanita, emansipasi wanita kepalamu!"

Kira-kira seperti itu omelan Khansa yang sungguh panjang kali lebar. Membuat Kaenan dan Rion yang hampir memasuki alam mimpi kembali tersentak kaget karena suara melengking perempuan itu.

-Flashback-

Kaenan segera mengambil Revolver Smith and Wesson 500 Magnum miliknya. Menyelipkan benda itu di belakang punggungnya dan pergi begitu saja tanpa mempedulikan Khansa yang sudah kembali jatuh masuk ke alam mimpinya.

"Jangan biarkan dia kabur lagi." Pesan Kaenan pada dua anak buahnya yang berjaga di depan pintu kamar.

Berjalan cepat menuruni tangga dan masuk kedalam mobil yang sudah ada Rion di sana. Kaenan terlalu malas untuk membawa mobil hari ini.

"Bagaimana bedebah itu bisa membawa Kaenu bersamanya?" Geram Kaenan.

"Entah, mungkin mereka sudah menguntit Kaenu dari jauh-jauh hari." Rion dengan wajah tak berdosanya menjawab tanpa kenal takut. Setidaknya Kaenan tidak akan membunuhnya sekarang, setelah misi nanti mungkin bisa jadi.

"Apa masih soal wilayah?"

"Bisa saja."

Kurang lebih tiga puluh menit dengan kecepatan di atas angka  delapan puluh, Rion berhasil mendarat dengan selamat. Tentunya yang lain juga.

Pasukan yang Kaenan maksud bukan pasukan besar-besaran, untuk masalah seperti ini Kaenan lebih suka membawa maksimal sepuluh orang, sudah termasuk dengan dia sendiri, Rion, Arvin, Aiden, dan Dira.

Perlu di ingat bahwa Dira tidak akan pernah tinggal dalam misi apapun. Tak peduli jika ia pria atau wanita.

"Kaenan? Kau sudah datang? Cepat sekali."

Menodongkan senjatanya, Kaenan tak ambil pusing lagi dengan pria di depannya ini. "Mana kakakku?"

Darwin, pria itu menyingkir. Memperlihatkan keponakannya yang terduduk di atas kursi dengan mata yang tertutup kain hitam.

Cih, adegan penculikan yang memuakan! Setiap aksi penculikan pasti selalu seperti ini.

Kaenan sedikit mendapat kejutan tentu saja. Cecenguk-cecenguknya ini bilang jika yang di culik itu Kaenu, bukan keponakannya.

"Masih berniat menodongkan senjata?" Darwin, pria itu Kaenan tau. Dia hanya bawahan rendahan malah bersikap seperti bos besar. Sini, mendekat! Biar Kaenan bidik kepala botaknya itu.

Dor.

Dor.

Dor.

Rion dan Arvin langsung saja menembak kepala pria yang berada tepat di sisi Rezvan, keponakan Kaenan.

Dan Kaenan? Tentu saja membidik kepala Darwin. Jika perang jangan tanggung-tanggung lah.

"Mendekat pada anakku, kematian kalian akan lebih menyakitkan." Berjalan menuju Alfi yang sudah menangis keras. Kaget tentu saja.

"Hitungan kedua kalian belum menyebutkan dimana Kaenu, lihat apa yang akan kalian dapat dengan keluarga kalian."

"Satu."

"D-"

"Bersama bos besar."

Kaenan berdecih kesal, sungguh sialan kecil itu. Punya anak buah bodoh semua, sudah bodoh penakut lagi!

"Evan, tak apa?" Kaenan menggendong Rezvantepat setelah ia melepaskan ikatan pada tubuh anak tersayangnya.

"Hks, Evan takut, Uncle." Bocah delapan tahun itu menangis kencang dengan tangan yang memeluk erat leher Kaenan.

"Jangan buka mata sebelum Uncle minta oke." Mengusap punggung bergetar itu, Kaenan berjalan menuju pintu keluar. Hendak menuju mobil sebelum suara Rion menggema keras.

"AWAS!"

Dor.

Terlambat.

Aiden yang berada paling dekat dengan Kaenan menjadi korban. Bagaimanapun, perjanjian mereka adalah melindungi Kaenan dan keluarganya dengan hidup mereka sendiri. Ini salah satu contoh kecilnya.

"Kembali atau pria ini hanya tinggal nama."

Oh, Kaenan hafal betul suara ini. Tertawa pelan, Kaenan berbalik dengan Rezvan yang masih berada di dalam gendongannya.

"Oh, Kak? Kau bersamanya?" Penghancur memang si albino sialan ini. "Jangan terlalu dekat, dia menjijikan."

Gery, pria itu terkekeh dengan Kaenu yang berada tepat di sampingnya. Berlutut tentu saja. Menodongkan moncong pistol tepat pada dahi Kaenu, pria itu tertawa besar. "Masih berani menghinaku ternyata."

"Alasan apa aku harus takut." mengeluarkan kembali pistolnya, Kaenan membidik tepat pada kepala Gery.

Sudah cukup basa-basinya, Kaenan lelah. Ia ingin makan, tidur, dan mengerjakan berkas perusahaan.

"Nah, mari kita selesaikan ini." Menyerahkan Rezvan pada Dira yang hanya tersenyum cantik. Ugh, pria tampannya kini telah kembali berada dalam pelukannya.

"Hei sayang. Aunty bersamamu." Kekeh Dira. Mencium pipi Rezvan yang hanya memeluk erat lehernya. Ayolah, anak itu masih terlalu kecil. Oke?

"Hanya berikan aku wilayah terbesarmu dan dua pria kesayanganmu ini akan selamat."

Alis Kaenan berkedut kesal, apa katanya? Wilayah terbesar? Sungguh kurang ajar si buncit tak tau diri ini! "Aku lebih suka bermain senjata."

Dor.

Dira langsung berlari mencari tempat aman, bukaan. Dia bukan takut, di dalam dekapannya ini ada anak kecil. Jika pria ini terluka, Kaenan akan mengulitinya tentu saja.

"Aish, sialan ini. Beri aba-aba terlebih dahulu apa salahnya." Dira memaki kesal. Hampir saja ia terjerembab jatuh hanya karena hampir menginjak tali sepatunya sendiri.

Dor.

Dor.

Ugh, suasana ini makin memanas. Dira ingin ikut terjun rasanya.

Dor.

"Ugh, mampus kau! Botak licin!" Sungut Dira seraya meniup ujung pistolnya.

Tenaang, seluruh pistol anak buah Kaenan tidak akan menimbulkan suara apapun. Uang Kaenan terlalu banyak untuk meminta modifikasi pada pemilik perusahaan.

Hehe.

Ini sudah hampir lima belas menit dan belum juga ada tanda-tanda adu senjata ini akan berakhir.

Sebenarnya mereka sudah kalah jumlah ini, tapi bagi Kaenan jumlah tidak ada apa-apanya. Kualitas mereka lebih unggul tenang saja.

Bugh.

Bugh.

Dor.

"Bagaimana? Masih mau?" Oh, ini suara Aiden. Manusia itu masih bisa turun tangan setelah tangannya tertembus peluru?

Brak.

"Oh!" Dira hampir saja menjerit seperti anak perawan. "Sudah ketahuan ya? Baiklah. Giliranku." Keluar dari persembunyiannya.

"Jangan buka matamu, oke." Rezvan mengangguk, memeluk lebih erat leher Dira saat ia rasa perempuan itu bergerak ribut enrah karena apa.

"Aunty."

"Tenang, sebentar lagi kita pulang."

Kaenan yang sedang fokus pada Kaenu dan Gery hampir saja menembak kepala Dira saking kesalnya pria itu. Bagaimana bisa?! Dia! Berkelahi dengan Rezvan yang berada dalam gendongannya?!

"Akan aku bakar habis sepatu ballet milikmu!" Geram Kaenan.

Dor.

"Cukup main-mainnya." Menembak kaki Gery hingga pria itu jatuh terduduk, Kaenan mulai berjalan pelan dengan aura setannya.

Sret.

"Akh."

"Bahkan hingga kau menjilat sepatuku! Aku tak akan pernah memberikan apapun itu yang kau inginkan! Bermimpilah!" Menginjak kaki Gery hingga pria itu menjerit penuh kesakitan, Kaenan malah menambah jambakan pada kepala pria itu.

"Jangan pernah nampakan lagi wajahmu di depanku!"

Sret.

Membawa Kaenu pergi dari sana dan menyuruh seluruh anak buahnya untuk angkat kaki. Sebelum...

Sret.

Bugh.

"Dira, peringatan untukmu." Menendang begitu saja wajah pria yang masih menghajar Dira dengan membabi buta. Kaenan mengambil alih Rezvan yang hanya diam dengan wajah pucatnya.

"Ya, apa katamu saja." Dira pasrah kawan-kawan. Salahnya juga memang.

"Terima kasih." Kaenu berbisik pelan. Suaranya sudah habis untuk meminta tolong sepertinya.

-End flashback-

Khansa berseru kagum. Memang luar biasa perempuan satu ini. "Waaah, aku bangga padamu!"

Puk.

Puk.

Menepuk pelan bahu Dira yang tanpa sengaja mengenai luka di dalam sana.

"Akh."

"Oh, masih ada pasien ternyata."

**

Khansa tengah bersembunyi di bawah meja makan dengan kuku-kuku jarinya yang ia gigit gemas. Ntah apa yang merasukinya tadi, Khansa dengan spontan saja mengobati luka-luka para berandal itu.

Mengomel? Oh ayolah, hanya berbaring diam seraya bernafas saja di sebelah Kaenan membuatnya hampir buang air di celana!

"Aaarght, bodoh! Bodoh! Bodoh!" Maki Khansa pada dirinya sendiri. Karena terbiasa mengomeli Al di rumah itu.

"Keluar sekarang atau aku akan menarik keluar usus-usus keritingmu itu dari dalam perutmu!"

Khansa menelan liurnya gugup. Ancaman Kaenan tidak manusiawi sekali. Nyalinya yang ciut makin ciut jadinya.

"Satu."

Khansa sudah akan menangis, bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ini? Huhuu.

"Dua."

Membathin pada dirinya sendiri, Khansa mulai meyakinkan diri.

"Tig-"

Duk.

"Ugh, sakiit." Kepala bersurai hitam ini menyembul dari kolong meja. Mengusap bagian yang terantuk dengan wajah merengut dan memaki kesal pada pinggiran meja yang baru saja ia kutuk.

"Jad-"

"Huwaaaa. Neneeeek! Maafkan aku, aku tidak sadar apa yang aku lakukan. Ku mohon, aku ingin pulang. Adikku pasti menunggu di rumah."

Kaenan bahkan belum sempat menyelesaikan ucapannya dan gadis ini, bahkan sudah selesai meminta maaf sekalian memohon ampunan.

Luar biasa.

Tap.

Tap.

Tap.

"Kau punya adik?" Dira yang tengah mengunyah semangka berlari dengan penuh suka cita menghampiri Khansa.

"Tentu."

"Pria? Wanita?" Arvin ikut bergabung. Berdiri di belakang Dira dengan wajah semangat perjuangannya.

"Pria."

"Yes!" Dira berseru kencang. Mendorong dahi Arvin agar pria itu kembali ke ruang tamu dimana ia tengah sibuk mengunyah tadi. "Tampan tidak?"

"Menurutku tidak, tapi kata orang lain iya."

"Yes!" Lagi. Berseru kencang. Cuci mata ini, cuci mataaa. Mendekat kearah Kaenan, Dira berbisik pelan.

Kaenan masih diam, haruskah ia kabulkan? Tapi bagaimana ya. Ya sudah lah! Anggukan Kaenan berikan. Makin bersorak gembira Dira tentu saja.

"TERIMAAA KASIIIIH."

Tap.

Tap.

Tap.

"Jadi?"

Khansa kembali meneguk kasar liurnya, suara Kaenan sungguh menakutkan. Sumpah.

"Maafkan aku. Huhu."

TBC.

SEE U NEXT CHAP.

THANK U.

DNDYP.

avataravatar