6 Ch. 5

Arvin, Rion, Dira, dan Aiden tengah sarapan bertiga di halaman belakang. Memilih untuk menghindari Kaenan yang tengah dalam mode singa miliknya.

Arvin bahkan masih menceloteh heboh saat melihat tadi bagaimana Khansa di seret dengan penuh perasaan oleh di Kaenan iblis.

"Zhasha it-"

"KHANSA!" Dira, Rion, dan Aiden berteriak kesal. Telinga teman mereka ini kenapa? Sudah tuli atau bagaimana?

"Santaii, Khansa maksud Pangeran. Dia cantik ya."

Tiga manusia di sana mengangguk bersamaan.

"Jadikan teman bisa tidak ya?"

"Bisa!"

Arvin berjengit kaget, kenapa tiga manusia ini malah berteriak histeris? Apa mereka juga merasakan bagaimana efeknya?

"Tenang kawan-kawan, besok kita dekati." Arvin tersenyum manis, mengunyah sosis bakarnya dengan tenang lalu menatap Dira dengan alis yang naik-turun.

"Nanti!" Dira tak mau tunda-tunda, gadis itu terlalu manis untuk di acuhkan selama sehari ini.

"Kita nanti ada transaksi. Kaenan pasti tidak akan pergi dan kita berempat yang akan turun tangan." Aiden menjelaskan. Kaenan pasti lebih memilih bersantai bersama anjing kesayangannya di halaman belakang tanpa mau ada pengganggu.

"Kita bawa Khansa?" Arvin mengusulkan ide gila.

"Tidak!" Rion menolak mentah-mentah. Itu adalah ide terburuk yang pernah ada! "Dia hanya akan menjadi beban. Nanti transaksi besar, sekali gagal Kaenan akan menggantung kepalamu di pintu masuk." Tekan Rion.

"Benar juga, mana mungkin kita membawanya, dia belum punya basic apapun kecuali menangis sesenggukan." Dira dan mulut kurang ajarnya yang memang tidak salah bicara. Tapi kenapa harus terlalu jujur?

"Haruskah kita mengajarinya?" Arvin kembali memberi ide.

"Jangan sembarangan memberi pelajaran, Arvin. Dia bisa saja menodongkan senjata pada kita saat dia sudah ahli dengan itu semua." Rion memang yang paling waras. Bersama Aiden tentu saja. Hanya saja Aiden lebih suka diam.

"Lalu?"

"Hanya amati dia untuk saat ini. Jika memiliki bekal-bekal pengkhianat lebih baik tembak mati dari sekarang." Aiden sekalinya bicara memang kata-kata kejam saja yang keluar dari mulutnya.

"JAHAT SEKALI!" Arvin dan Dira berseru tak terima.

"Kalian ingin Kaenan yang akan turun tangan?" Pancing Aiden lagi. Sudah bagus di beri saran terbaik malah meminta langsung sang Raja Iblis yang turun tangan.

Gelengan, Arvin dan Dira berikan. Benar, Kaenan memang lebih kejam. Bukan langsung membunuh, dia lebih suka dengan penyiksaan pelan terlebih dahulu. Biar ada kenangan, begitu katanya.

"Mari kita susun rencana."

**

Khansa masih sesenggukan, tapi tidak ada air mata yang keluar dari sana. Menggenggam erat selimut yang membalut tubuhnya dengan tubuh tegang tak berani bergerak barang seinchi saja.

Di sampingnya ada Kaenan yang sudah terlelap dengan wajah datar seperti biasanya.

Bukan, bukan. Mereka tidak melakukan kegiatan yang 'iya-iya'. Kaenan hanya menyuruhnya tidur tenang tanpa bergerak barang sedikit saja.

Dan ya, Khansa benar-benar tenang. Bahkan untuk bernafas saja ia harus berpikir dua kali.

"Hks."

Rasanya sesak, hidungnya penuh ingus, tapi ia tidak bisa bergerak karena takut pistol yang berada di bawah bantal Kaenan malah menodong dahinya.

"Hks."

"Kau berisik sekali." Dengus Kaenan. Pria ini tidur atau pura-pura saja ya?

"Hidungku penuh ingus!" Entah dapat keberanian dari mana, Khansa balas mendengus. Setidaknya biarkan Khansa ke toilet.

Huhu.

Mata Kaenan terbuka pelan, menampakan manik hitam kelamnya yang menatap tajam pada wajah memerah Khansa.

"Lucu juga." Pikir Kaenan.

"Dalam hitungan lima kau harus sudah kembali ke sini." Titah Kaenan.

"Hah?"

"Satu."

Khansa masih belum mengerti, menatap Kaenan yang hanya terkekeh sinis padanya.

"Dua."

Sret.

Brak.

"Tiga."

Dan Kaenan bersumpah bahwa ia baru saja mendengar suara menjijikan yang keluar dari dalam kamar mandi. Semacam suara lendir yang baru saja Khansa paksa keluar dari dalam hidungnya.

"Empat."

Brak.

Sret.

"Lima."

Tepat waktu, Khansa sudah kembali berbaring ke atas ranjang dengan tubuh yang terbalut selimut tebal. Tak mempedulikan Kaenan yang bahkan masih menatapnya.

"A-apa?" Cicit Khansa. Tatapan Kaenan itu tetap saja seperti akan melobangi kepalanya. Khansa tidak akan pernah terbiasa.

Kaenan mendengus, melirik pada jam digital di atas nakasnya dan bangkit dari ranjang. Tanpa mengucapkan apapun, ia langsung saja masuk ke dalam kamar mandi dengan hanya bermodalkan celana bahan panjang.

Ingat! Dia toples!

Khansa yang melihat punggung tegap itu malah memerah malu. Tolong, Khansa! Status yang kau miliki sekarang itu adalah tahanan. Dan kenapa kau malah bersemu manja saat melihat punggung tegap dengan goresan luka memanjang itu?!

"Hah? Goresan luka memanjang?" Meneliti lagi punggung tegap Kaenan yang masih belum menghilang dari balik pintu, Khansa tercekat di tempatnya. Khansa rasa, dulu pada masa kejayaannya luka yang ada di punggung Kaenan itu pasti dalam.

Brak.

"Ugh, aku harus kasihan atau bagaimana?"

**

"Sial! Sial! Sial!" Dira menyemburkan begitu saja jus mangga yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.

"Apa? Kenapa?" Arvin dengan mode penasaran tingkat tingginya merebut kilat ponsel Dira hingga gadis itu tak bisa berbuat apa-apa.

"Sial! Gawat!" Arvin tak beda jauh dengan Dira. Mengumpat kesal dan mengacak frustasi helai rambutnya.

"Kenapa?" Aiden sebagai manusia paling kalem mengambil ponsel Dira dan hampir saja menyumpah serapah karena apa yang baru saja ia lihat.

Ini gawat, benar-benar gawat. Kaenan pasti akan sangat murka setelah mendengar kabar ini.

"Siapkan pasukan kita sekarang." Rion langsung mengambil ancang-ancang dan berjalan menuju gudang tempat dimana mereka biasa menyimpan senjata.

Dira langsung berlari menuju markas yang satunya lagi, yang tak terlalu jauh dari mansion utama. Mengabari anak-anak yang lain bahwa mereka sebentar lagi akan duel dengan anak sebelah.

Arvin dan Aiden berjalan pelan menuju kamar Kaenan yang mungkin saja si pemilik masih tertidur santai di dalam sana. Menyiapkan mental tentang bagaimana amukan Kaenan setelah ini nantinya.

"Menurutmu bagaimana?" Tanya Arvin.

"Mungkin dia tidak akan marah, tapi setelah misi ini selesai dia pasti akan menguliti kita dari ujung rambut hingga ujung kaki." Dan jawaban yang Aiden berikan cukup membuat Arvin bergidik ngeri.

"Siapkan ment-"

"Oh, Kaenan. Anak buah Gery baru saja menculik Kaenu."

"Kita berangkat sekarang."

"-al."

Arvin meneguk ludahnya kasar, Kaenan memang terlihat santai, tapi percayalah. Hati pria itu tengah meledak-ledak sekarang.

Bukh.

"Akh, sakit, Pendek!" Sungut Aiden. Apa salahnya hingga si boncel Arvin ini malah menggeplak kepalanya?

"Aku belum selesai menyiapkan mental! Hitam!"

"Ak-"

"Pegang ini!" Rion tiba-tiba saja sudah berada di depan mereka dengan dua buah senjata yang Arvin sangat tau jika itu adalah miliknya dan milik Aiden.

Revolver Ruger Super RedHawk. 454 Casull dan Pistol Glock 20.

"Ugh, sayangku. Apa Rion baru saja menodaimu?" Arvin langsung saja mengambil Revolver miliknya dan menyelipkan benda itu di belakang pinggangnya.

"Jangan berubah menjadi menjijikan, Arvin!" Dengus Aiden. Dia geli sendiri mendengar gaya bicara Arvin. Menyelipkan Glock 20 di balik pinggangnya.

"Ayo kita bersenang-senang."

**

Khansa mengeryit heran saat melihat lima manusia yang sudah duduk dengan punggung bersandar di sofa.

"Ugh, tidak ada buku gambar?" Tanya Khansa kurang ajar. Menunjuk wajah-wajah berandalan di depannya ini yang sudah penuh lebam dan beberapa yang lengannya sudah berdarah.

Berbalik lagi menuju dapur, Khansa mengambil wadah kecil yang akan ia gunakan untuk mengisi air dan beberapa bongkah balok es.

"Heh, heh! Mau kemana kau?" Tanya Khansa saat melihat Kaenan yang akan berjalan menaiki anak tangga.

"Bukan urusanmu!" Dengus Kaenan.

Berdecak kesal, Khansa meletakan wadah air di atas meja tamu dengan keras lalu berjalan cepat menuju tempat Kaenan.

Sret.

"Nakal sekali kau, Malin Kundang!" Memutar telinga Kaenan hingga pria itu meringis walau masih dengan wajah datar.

Bruk.

"Duduk baik-baik kau di sini!" Menunjuk tepat pada batang hidung Kaenan yang nampak terkejut dengan perubahan sikap Khansa.

"Berlaku juga untuk kalian berempat!" Mengalihkan jemarinya pada Rion, Arvin, Aiden, dan Dira yang akan melarikan diri.

Kembali duduk manis dengan tangan terlipat di atas paha. Mereka mengangguk pelan. Menundukan kepala dengan mata yang saling lirik-melirik.

"Dia maung, aku takut." Cicit Arvin.

"Dia ibu tiri." Bisik Dira.

"Shh, akh." Kaenan meringis pelan saat Khansa menekan tepat kain basah pada luka yang berada di atas pelipisnya.

"Ini saja meringis kau! Bagaimana jika kau tertembak?" Menekan lebih kencang luka Kaenan dengan sengaja hingga pria itu menatap sinis padanya.

"Apa pedulimu? Aku ingin ke kamar!" Dengus Kaenan hendak berdiri dari duduknya.

Plak.

"Ouch."

Sebelum telapak tangan Khansa mendarat tepat pada dahi Kaenan yang sudah kembali terduduk. Dan jangan lupakan bagaimana ekspresi empat manusia lainnya yang sudah memucat takut.

"Melawan kau pada orang tua!" Jengah Khansa. Mengoles alkohol dan obat merah lalu menaruh plaster luka pada wajah Kaenan yang masih bisa di tutupi dengan benda kecil itu.

"Sekali lagi melawan, awas kau!" Ancam Khansa.

"Kemari kalian!" Kali ini beralih pada empat manusia yang sudah menggeleng heboh. Sumpah, lebih baik mereka mengobati lukanya sendiri saja.

"Kau duluan!"

"Tidak! Kau saja!"

"Rion! Kau paling jantan! Ayo duluan!"

"Tidak! Aiden saja!"

"Aku tak mau!"

Khansa menatap jengah empat manusia di depannya ini, di minta mendekat malah main tuding-tudingan.

"Kau yang paling tinggi! Kemari!" Tunjuk Khansa mengarah pada Rion yang malah menggeleng ribut.

"Rion! Kau pergilah!" Arvin mendorong-dorong bahu Rion hingga pria itu terjerembab jatuh ke atas lantai.

"Kau, ku suruh mendekat malah menggeleng ribut!"

Plak.

Kali ini dahi Rion yang menjadi sasaran pukulan telapak tangan Khansa. Sungguh pedas rasanya.

"Dan apa ini?! Kau ingin menggambar di wajahmu?!" Kain basah tadi menekan sedikit kuat pada lebam di sudut bibir Rion.

"Sakit." Mata Rion berkaca-kaca. Belum lagi lengannya yang baru saja kena belati tadi malah makin berdenyut hebat.

"Buka jasnya! Ingin tawuran segala pakai jas!" Sungut Khansa. Membantu membuka jas Rion karena ia merasa kasihan melihat pemuda itu yang meringis pelan.

"Ini apa?" Tunjuk Khansa pada lengan Rion. Cukup dalam, tapi rasanya tidak perlu sampai mendapat jahitan.

"Kecelakaan." Jawab Rion asal.

"Kecelakaan? Kau berbohong? Aku tepuk lagi dahimu baru tau rasa!" Ancang-ancang tangan Khansa sudah di depan dahi Rion. Tapi ia tak sampai hati juga melihatnya.

Meniup pelan luka Rion sesaat setelah ia mengoleskan obat merah pada luka pria itu. Membalutnya dengan perban dan kembali meniti, apa ada luka lain atau tidak. "Ada yang lain?"

Gelengan Rion berikan.

"Ada!" Arvin berseru kencang.

"Hatinya! Dia kemarin baru saja patah hati!" Kali ini Dira yang mengompori.

Sungguh teman biadab mereka ini memang.

"Jangan terlalu dipikirkan. Banyak wanita yang antri untuk menjadi teman hidupmu." Khansa menepuk pelan bahu Rion. Menyuruhnya duduk di sebelah Kaenan yang hanya bisa mendengus kesal.

"WOOO! PUPU PUPUUUUU!" Arvin dan Dira berseru heboh. Ya Tuhan, kapan lagi bisa membully Rion. Muehehe.

"Pasien selanjutnya. Aiden? Kau sudah siap nampaknya." Khansa tersenyum manis pada Aiden yang sudah pucat pasi. Lukanya dengan Rion tak beda jauh. Tapi yang membuat Aiden cemas, apa gadis itu juga akan menepuknya? Ugh.

"Ini satu lagi! Segala macam tawuran pakai jas. Buka!"

"Ini apa lagi ini?! Kecelakaan?"

Khansa mengomel tak henti-henti, ingin menepuk luka memangjang di lengan Aiden, tapi ia tak sampai hati. Bagaimana ini mestinya?

Aiden hanya diam, menikmati saat kain basah itu menyentuh lukanya dengan lembut, tapi kadang juga keras. Meniup pelan luka bekas sayatan belati di lengannya dan tersenyum kecil saat balutan lukanya sudah selesai.

"Nah, jadi anak baik setelah ini. Mengerti?"

Aiden mengangguk cepat. Duduk di sebelah Rion yang sudah hampir tertidur karena mendengar omelan gadis itu.

"Kalian berdua. Kemari!" Khansa menunjuk sisa dua manusia yang sudah akan mengancang-ancang akan melarikan diri.

"Ke. Ma. Ri."

"Tidaaaaak!"

Sret.

TBC.

SEE U NEXT CHAP.

THANK U.

DNDYP.

avataravatar
Next chapter