4 Ch. 3

Khansa berjengit saat pria yang menyeretnya tadi melemparnya masuk kedalam ruangan yang bahkan tak ada cahaya apapun di sana. Celah kecil juga tak ada, benar-benar gelap.

Blam.

"Nikmati waktu yang kau punya di dalam sana dan renungkan apa yang baru saja kau lakukan."

Kaenan.

Khansa yakin jika itu adalah suara Kaenan. Pria itu memang benar-benar mengerikan.

Brak.

Brak.

Brak.

"B-buka! Ku mohon, jangan tinggalkan aku di sini." Menggedor kuat pintu di depannya, Khansa berharap jika pria-pria itu akan berbaik hati menolongnya. Atau setidaknya membiarkan dia keluar dari sini.

Hening.

Tak ada suara apapun, Khansa yakin jika Kaenan sudah pergi dan pastinya pria itu juga tidak akan membiarkan anak buahnya untuk menolong Khansa.

"Hks, keluarkan aku dari sini. Ku mohon." Isakan lirihnya kembali terdengar. Tapi tetap, tak ada tanda-tanda apapun yang terlihat akan menolongnya.

**

"Pastikan dia tidak akan kabur lagi." Mendudukan dirinya di atas sofa ruang tengah, Kaenan memijat pelan pelipisnya.

Menyuruh para pria berbadan besar itu untuk kembali mengawasi gudang, kalau-kalau gadis itu mendobrak pintu dengam kekuatan penuh, dan membuat pintunya terbuka begitu saja.

Haha.

Ini masih pagi buta dan gadis itu sudah mencoba untuk menguji kesabarannya.

"Hoi! Kau bawa kemana gadis tadi?" Dira datang dengan sebuah paha ayam yang berada dalam genggaman tangannya.

"Gudang."

Dira menghela nafas pelan, berjalan kembali menuju kamarnya yang berada di bagian sayap kanan rumah besar ini.

"Pasti ada sesuatu dari dirinya yang membuatmu tertarik hingga menyeretnya untuk kemari bukan." Itu bukan pertanyaan, Dira hanya mengungkapkan apa yang saat ini otaknya pikirkan tanpa menghentikan langlah kakinya walau sekejap.

"Benar." Kaenan bergumam pelan. "Ketertarikan untuk aku jadikan salah satu mainanku." Senyum miring tercetak jelas di bibir tipis Kaenan.

Baru saja akan menutup manik indahnya, Kaenan merasakan pergerakan pelan dari sisi tempat ia duduk saat ini.

"Kesayanganmu sudah aku letakan di ruang kerja."

Aiden.

Kaenan hanya mengangguk tanpa berniat untuk menoleh walau hanya sedikit saja. Ia lelah, bahkan ia belum tidur walau hanya sedetik.

"Tidur di kamarmu. Aku dan Rion yang akan mengurus berkas transaksi nanti." Menepuk pelan pundak Kaenan sebelum ia beranjak dari sana dan pergi untuk menemui Rion yang bahkan masih bergelung nyaman dengan selimutnya.

Ya, selain Rion. Aiden adalah salah satu dari segelintir orang yang Kaenan percaya untuk bisa berada dekat dengannya. Mengurus berkas penting dan bahkan transaksi paling besar sekali pun.

Dan untuk Dira. Dia adalah satu-satunya wanita yang bahkan bisa  leluasa berada dekat dengan Kaenan. Bukan karena ia spesial dalam artian 'perasaan', Dira memang spesial, tapi artian 'pertempuran'.

Gadis itu terlihat sangar, tapi lembut dalam satu waktu. Itu jika dalam situasi yang baik-baik saja. Jika dalam situasi genting, dia bisa berubah menjadi serigala tanpa pandang bulu, semua manusia bisa saja hanya tinggal nama jika ia sudah bersama dengan kesayangannya.

Menghela nafas lelah, Kaenan bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Tempat dimana Khansa tidur tadi malam.

"Benar juga, apa gunanya aku memiliki mereka jika mereka bahkan tidak berguna untukku."

**

Dira berjalan pelan menuju gudang dimana Kaenan menyembunyikan Khansa. Itu bukan tempat yang layak, percayalah.

Memberikan gestur badan pada pelayan Kaenan yang berjaga di depan pintu, Dira menyuruh mereka untuk segera angkat kaki dari sana.

"Tap-"

"Sekali aku katakan pergi, maka cepat angkat kaki." Nada bicaranya datar, dingin, dan menakutkan. Terlebih dengan nada rendah seperti barusan.

Membungkuk hormat, bodyguard Kaenan tadi segera pergi setelah memberikan kunci pintu pada Dira.

Selain Kaenan, Dira juga memang masuk kedalam golongan manusia yang memang memiliki kuasa di sana.

"Keluarkan aku."

Dira bisa mendengar suara rintihan yang Khansa keluarkan dari dalam sana. Entah kenapa, rasanya sesak saja mendengar itu semua.

Ceklek.

Pintu terbuka, tanpa babibu lagi Khansa langsung saja menerjang Dira dengan pelukan eratnya. Tubuhnya bergetar dan matanya sudah memerah sembab karena menangis. Di dalam sana benar-benar menakutkan!

Mengelus punggung Khansa, Dira menatap datar pada bagian dalam gudang. Itu bukan gudang penyimpanan barang, sungguh!

"Aku tidak mau di sana, tolong. Hks." Menggeleng ribut, Khansa semakin bergetar dalam isak tangisnya.

"Kita pergi dari sini." Menyampirkan jaket tebal yang tadi ia bawa dari dalam kamar, Dira menutup kepala Khansa dengan tudung yang memang sengaja ia lakukan. Gadis itu tidak akan kuat melihat hal semengerikan itu lagi.

Membawa Khansa kedalam kamarnya, Dira membaringkan gadis itu di ranjang king size miliknya. Mengambil selimut dan menarik kain itu hingga sebatas dagu. "Jangan lakukan percobaan apapun lagi, aku yang memohon padamu. Kaenan tidak akan berbaik hati lagi padamu setelah ini."

Hening.

Khansa menggigit erat bibir bawahnya untuk menekan isakan yang siap keluar kapan saja dari celah sana. Pria itu mengerikan.

"Hanya lakukan apa yang dia katakan, okey? Maka kau akan baik-baik saja." Beranjak dari duduknya, Dira berjalan menuju pintu. Ada yang harus ia urus ngomong-ngomong.

"Tu-tunggu, tadi itu... tadi itu tempat apa?" Khansa mencicit dengan tangan yang menggenggam erat selimutnya.

Tersenyum tipis, Dira berbalik sebentar. Menatap Khansa tepat pada matanya, "tempat dimana biasanya kami memberi sedikit pelajaran pada para pengkhianat."

Ceklek.

Blam.

**

"Gila! Dia benar-benar gila!" Dira mengamuk sesaat setelah dia sampai di dalam gudang tempat dimana mereka menyimpan semua senjata.

"Gadis itu bahkan masih sangat suci! Aku yakin dia bahkan belum pernah berciuman!" Menendang kotak di sudut ruangan hingga menimbulkan suara yang bergema nyaring.

Arvin yang sedang mendata jumlah pasokan mereka berjengit kaget. "Apa dan siapa yang kau maksud? Gadis yang bersama Kaenan semalam?"

"Kau sudah tau, masih saja bertanya, Sialan!" Ingin rasanya Arvin membolongi kepala gadis di depannya ini jika ia tak ingat bahwa mereka adalah partner kerja.

"Memang apa yang Kaenan lakukan? Dan lagi, kenapa kau harus peduli?" Arvin berujar sinis, apa yang merasuki gadis di depannya ini?

"Mengurungnya di gudang tempat eksekusi kita biasanya." Dira menggeram rendah, hingga saat ini Dira saja terkadang masih belum terbiasa dengan apa yang ada di dalam gudang itu.

"Dan kenapa aku peduli? Tatapan matanya dan nada pengharapannya itu persis dengan apa yang aku rasakan dulu." Suara Dira mengecil dengan kedua telapak tangan yang menutup wajah cantiknya.

Arvin jadi merasa bersalah juga, meletakan tablet yang sedari tadi ia bawa kemana-mana. Arvin berjalan mendekati Dira, "aku tak tau apa yang terjadi, tapi sebaiknya kita jangan terlalu ikut campur. Kita tau bagaimana Kaenan bukan?"

Anggukan Dira berikan, sebagian dari dirinya masih merasa jika ia harus mengeluarkan gadis itu dari sini. Tapi sebagian yang lain mengatkan biarkan saja, gadis itu juga akan keluar nantinya. Entah hidup atau sudah tak bernyawa lagi.

"Argh!"

**

Kaenan benar-benar tak peduli, ia bahkan membiarkan saja Dira mengeluarkan Khansa dari dalam gudang. Terserah apa yang mau gadis itu lakukan, Kaenan bisa memikirkannya nanti.

Meresapi aroma kamarnya yang terasa sedikit berbeda, Kaenan merasa jika ia bisa mencium aroma embun padang rumput dan sedikit aroma manis buah-buahan serta sedikit aroma bunga di dalamnya.

"Menenangkan."

TBC.

SEE U NEXT CHAP.

HAVE A NICE DAY.

THANK U.

DNDYP.

avataravatar
Next chapter