3 Ch. 2

Khansa kembali memberontak saat keluar dari mobil mewah yang baru saja membawanya ke tempat entah-berantah ini.

"Lepas! Aku tidak mau! Hks." Terisak pelan, Khansa masih berusaha untuk melepaskan cengkraman pada tangannya yang tak main-main bagaimana sakitnya.

Kaenan, pria itu hanya diam seraya melangkah masuk setelah pintu utama terbuka oleh para pelayannya. Mengabaikan bungkukan sopan dari pekerjanya, Kaenan tetap tenang menarik tangan gadis di belakangnya ini.

"LEPAAS! Hks. AKU INGIN PULANG!" Berteriak histeris, Khansa memukul-mukul punggung tegap pria yang bahkan tak lagi bersuara semenjak terakhir kali ia mengatakan siapa namanya.

Ceklek.

Brak.

"Sudah aku katakan bukan. Hidup yang kau punya saat ini bukan lagi milikmu! Tapi milikku." Menghempas tubuh Khansa ke atas ranjang king sizenya, Kaenan berdecih pelan seraya menyisir pelan rambutnya menggunakan jemari yang tadi baru saja menggenggam senjata kesayangannya.

"Hidupku milikku! Kau tidak punya hak apapun!" Berteriak keras walau nyatanya manik hitam bulat jernih itu kini sudah kembali beruraian air mata.

"Sekali lagi kau membantah, aku tak akan berpikir dua kali untuk menembak kepalamu."

***

"Siapa yang pria gila itu bawa?" Wanita dengan rambut panjang dan mata kucing khas miliknya itu bertanya pada pria tinggi, yang baru saja mengikuti Kaenan pada saat eksekusi tadi terjadi.

"Sakit mata." Dengan suara lesu ia menjawab. Mengikuti Kaenan itu harus mempunyai tenaga ekstra. Baik fisik maupun mental.

"Sakit mata?" Membeo kecil, gadis dengan mata kucing tadi mengeryit heran. Korelasinya apa?

"Aish! Yang aku maksud itu saksi mata!"

"Oh."

Hening...

Hening...

Hening...

"Rion! Kau serius? Saksi mata? Kenapa tidak tembak mati saja?" Dira, gadis bermata kucing itu setengah menjerit tak percaya. Biasanya juga Kaenan akan langsung memenggal kepala atau tidak menembaknya begitu saja. Ini kenapa malah menyeretnya pulang?

"Tanyakan saja pada Kaenan. Aku lelah." Bersungut dengan tangan yang memijat pelan pelipisnya, Rion bersandar pada sofa ruang tamu. "Mana Aiden? Dia harus membersihkan kesayangan Kaenan ini." Melirik sekilas pada katana yang sudah kembali bersarang pada rumahnya.

"Aiden? Membeli cemilan bersama Arvin."

Hening.

Tak ada lagi yang bersuara, hingga Dira dengan sengaja menendang tulang kering Rion yang hampir saja masuk ke dalam alam mimpinya. "Menurutmu, Kaenan akan membunuhnya atau menjualnya?"

"Tanyakan itu pada Kaenan! Sialan! Kau menendang bagian yang tepat!" Rion mengumpat dengan mata yang menatap sinis pada sosok Dira yang hanya tersenyum manis padanya.

"Tentu! Aku salah satu petarung terkuat yang Kaenan punya." Membanggakan diri, Dira tersenyum remeh dengan tangan yang mengibas-ngibas helai panjangnya.

"Cih, petarung terkuat yang bahkan melihat serangga terbang saja langsung menjerit setengah mati!"

Mampus!

Serangan telak!

Dira terdiam dengan wajah merengutnya. "Wajar! Aku juga masih perempuan." Pembelaan diri yang sia-sia memang. Tapi tak ada salahnya mencoba bukan?

"Alasan kau, Kucing garong!"

"Kemari kau!"

***

Khansa terbangun dari tidurnya yang ia sendiri juga tidak tau kapan ia mulai hilang kesadaran. Melirik pada jam digital di atas nakas, Khansa menghela nafas berat.

Jam empat pagi.

Khansa yakin, Al pasti sudah menunggunya selama berjam-jam di rumah mereka. Ugh, Khansa ingin pulang.

Tap.

Menapakan kakinya di atas lantai, Khansa turun dari ranjang dengan wajah bantal miliknya. Tujuan awalnya adalah dapur, tenggorokannya perih ngomong-ngomong.

Ceklek.

Hal pertama yang ia lihat adalah lorong panjang dengan cat dinding berwarna putih polos dengan beberapa lampu yang menempel di sana. Cantik.

Berjalan pelan dengan kaki yang meninjit, Khansa bisa merasakan jika jantungnya berdetak cepat saat ini. Entah dia akan bertemu dengan Kaenan langsung atau malah dengan anak buah berbadan kekar miliknya.

Kedua pilihan itu sama-sama menakutkan. Khansa belum ingin mati, maaf-maaf saja.

Dengan gerakan pelan, membuka pintu lemari pendingin untuk melihat dan berharap bahwa ia akan menemukan minimal segelas air putih dingin. Itu saja sudah cukup dan mari lanjut dengan rencana keduanya.

"Ya Tuhaan, seg-"

"Hoi!"

Bruuuush.

Tanpa sengaja, tanpa ada niat apapun, Khansa benar-benar spontan menyemburkan minuman yang berada di dalam mulutnya.

Itu murni karena ia terkejut, sungguh.

"Ugh, maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja, sungguh." Khansa gelagapan seraya meraih tisu di atas meja makan. Khansa dengan sangat pelan mulai membersihkan wajah gadis cantik di depannya ini.

"Puah! Semburan barusan sungguh luar biasa." Dira, gadis itu meraih tisu yang tadi sandera Kaenan itu pegang. "Kau lembut sekali, tisunya bahkan tidak menyentuh kulit wajahku."

Dira tidak bermaksud membentak gadis itu, sungguh. Pembawaannya memang selalu seperti ini, jadi Dira terkadang juga mengalami kesulitan sejujurnya.

"M-maafkan aku. Aku... Aku sungguh tak sengaja."

Dira bisa melihat bahwa gadis itu sudah mulai membentul selaput lapisan tipis pada matanya. Ugh, Dira jadi tidak sampai hati.

"Tak masalah, lanjutkan minummu." Duduk bersandar pada kursi meja makan, Dira hanya tersenyum tipis. Tangannya bahkan sudah bergetar ketakutan. Dira belum menyentuhnya bahkan seujung rambut. Tapi responnya sudah seperti ini.

"Kau yang tadi bersama Kaenan bukan?"

Anggukan patah-patah dengan tatapan ketakutan Dira terima.

"Namamu?"

"Khansa."

"Nama lengkap?"

"Khansa Zhafira Auristela."

Dira jadi terlihat seperti ibu tiri, bukan begitu? Menghela nafas pelan, Dira mengetuk meja hingga membuat atensi Khansa teralih padanya. "Duduk."

Khansa menggenggam erat gelasnya tadi lalu berjalan pelan dengan kepala tertunduk dalam. "Aku benar-benar minta maaf."

"Dira, namaku Dira. Dan aku memintamu untuk duduk di sebelahku. Bukan berdiri di depanku."

Sret.

"Umurmu berapa?"

"Delapan belas mendekati sembilan belas tahun."

"Ken-"

"Maaf menyela, tapi bisa bantu aku kabur dari sini?" Khansa menatap Dira dengan mata berkaca-kaca penuh permohonannya. Gadis di depannya ini terlihat baik.

"Aku bisa membantu apapun." Dira mengusap pelan surai Khansa hingga mata gadis itu berbinar indah. "Tapi tidak dengan itu."

Binar pada mata Khansa lenyap begitu saja. Apa ia akan selamanya mendekam di dalam rumah besar ini? Bagaimana dengan adiknya nanti?

"Aku ingin pulang."

"Rumah ini tidak seburuk itu, jadi... semoga kau bisa beradaptasi dengan baik." Bangkit dari duduknya, Dira mengelus puncak kepala Khansa dan pergi meninggalkannya sendirian di sana.

"Aku benar-benar bisa membantu apapun, tapi jangan yang berhubungan dengan Kaenan. kekuatan yang aku punya masih jauh di bawahnya."

***

Kaenan hanya memantau dari CCTV ruang kerja, menyaksikan bagaimana Khansa menyemburkan air tepat pada wajah Dira, membuatnya terbahak begitu saja.

"Mentalnya kuat juga." Kaenan kembali terbahak, mungkin saja jika Dira akan mengamuk, tapi saat melihat wajah memelas Khansa, Kaenan yakin gadis itu kembali menelan bulat-bulat umpatannya.

"Aah, berniat kabur rupanya." Berdiri dari duduknya, Kaenan berjalan menyusuri lorong dengan tangan yang bersedekap di depan dada.

Memberi sedikit kejutan juga tak masalah nampaknya. Gadis itu terlihat bosan.

Tap.

Tap.

Tap.

"Kenapa susah sekali membuka pintunya."

Kaenan dapat mendengar dengan jelas bagaimana suara Khansa terdengar bergetar di telinganya. Melodinya begitu indah.

"Ugh, aku mau keluar dari siniii."

Terlebih dengan rengekan yang baru saja menyapa gendang telinganya, Kaenan benar-benar terkekeh pelan di dalam hatinya. Mari menonton lebih lama lagi.

"Buka."

Khansa berjengit kaget, pintu di depannya ini terbuka begitu saja. Membuat binar mata yang barusan redup itu kembali lagi pada manik bulatnya.

Memutar tubuh dan membungkuk sedalam-dalamnya, Khansa benar-benar berterima kasih pada manusia di depannya ini. "Ter-"

Ucapannya terputus begitu saja saat melihat wajah siapa yang sekarang berada di depan wajahnya. Menakutkan!

"Berniat kabur? Hmm." Kaenan tersenyum tipis. Menatap tepat pada mata Khansa yang bergetar mencari alasan apapun itu bentuknya.

Khansa hanya diam seribu bahasa, menunduk dengan tangan yang saling berpilin di bawah sana. Ia tak betah di sini, auranya tidak mengenakan. Khansa hanya ingin pulang, kembali ke rumah kecilnya dan bertemu dengan adik kesayangannya.

"Tak ingin buka suara?" Mendekat selangkah pada Khansa dan terkekeh sinis saat gadis di depannya ini yang malah melangkah mundur.

Tanpa pikir panjang, Khansa berbalik begitu saja dan berlari meninggalkan Kaenan yang bahkan hanya bersedekap dada di belakang sana.

"Tangkap."

Dengan satu kata itu saja, Khansa sudah banyak yang mengejarnya di belakang sana. Belum sampai setengah dari total luas pekarangan rumah Kaenan, Khansa sudah kembali di seret untuk masuk ke dalam rumah dengan Kaenan yang masih berdiri di tempat semula.

"Lemparkan dia ke tempat biasa."

TBC

THANK YOU

SEE YOU NEXT CHAP

DNDYP

avataravatar
Next chapter