3 MALAH KENA SEMPROT

Aku lagi-lagi dipelotototin Ayah. Roman-romannya entar bakal dapet wejangan gratis ala Pak Lurah nich.  

"Saya jadi tidak enak. Mbak Nada, saya minta maaf ya. Insya Allah dalam satu minggu ke depan, kerusakannya akan saya ganti."

Sialan, eh si Alan udah kayak orang serba salah. Sementara Pak Abdul, alias Pak Lurah, yang nggak lain adalah Ayahku, cuma tersenyum sungkan saat Alan noleh ke do'i. 

"Tidak apa-apa, Nak Alan. Kesalahan pasti karena Nada, dia memang kalau berkendara, suka tergopoh-gopoh tidak jelas."

Aku langsung natap Ayah dengan sorot protes. Kok malah anaknya sih yang disalahin, jelas-jelas yang terluka parah itu aku. 

Dia mah, liat aja, luka nggak, lecet juga nggak. Motor dia malah baik-baik aja. 

"Saya yang salah, Pak Abdul. Tadi terburu-buru, jadi tidak fokus lihat jalan."

"Nah kan, dia ngaku juga."

"Nada, sudah ah." 

Ibu mencubit, membuatku langsung merengut. Aneh, kenapa seolah-olah orang yang udah mencelakakan  malah dapat pembelaan dari orangtuaku. 

"Iya, saya minta maaf ya Mbak Nada."

"Mbak, Mbak, memangnya aku Mbakmu!"

Lagi, cubitan Ibu mendarat dipinggang. Aku meringis, antara geli dan sakit. 

Selanjutnya, nggak ada obrolan berarti, suasana canggung lebih mendominasi, sampai akhirnya menjelang Maghrib, dia pun pamit. 

Nggak tinggal diam, kususul dia keluar.

"Hei, liat dan itung-itung berapa dana yang harus dipersiapkan buat baikin motor aku."

Dengan gaya songong, kutunjuk ke arah motor yang masih berada di luar pagar. 

Si Alan pun memerhatikan kondisi motor maticku. 

"Saya nggak nyangka, ternyata sampai se tragis ini kondisinya. Nggak ada yang kamu tambah-tambahin kan?"

Tanganku terkepal, coba aja nggak ada Bapak sama Ibu yang lagi jalan menuju pagar, udah kutonjok mulutnya itu. Comber! Argh!

Tapi, dia malah tersenyum melihat ekspresi murkaku, sambil mencoba menghidupkan sepeda motorku. 

"Berarti nggak ada kerusakan berarti, paling cuma ganti lampu depan sama spion kanan."

Lagaknya, udah kayak montir. 

" Enak aja, cuma ganti lampu sama spion. Bodynya itu cling, aku maunya mirip baru."

Alan masih tersenyum, ia lalu menepuk-nepuk tangannya, setelah memeriksa bagian ban belakang motorku. Dan merogoh ke saku kemeja, yang tertutup jaket.

"Ini. Kamu bisa hubungi saya, kalau dalam waktu dekat terjadi masalah sama motornya. Saya janji kan minggu, karena jadwal free saya cuma hari itu."

Aku menatap sinis ke arah kartu nama yang dia berikan. Tukang service komputer aja, sok elit, pakai kartu nama segala. 

"Saya izin undur diri dulu ya Pak, Bu, Mbak."

Ucapannya langsung disambut ramah oleh Ayah dan Ibu. 

------------

Kupikir semua baik-baik aja. Tapi, ternyata pas makan malam, Ayah kembali membahas soal sikap nggak ramahku tadi ke si Alan. 

"Bagaimana ceritanya, kamu sampai tabrakan sama Alan?" tanya Ayah memulai pembicaraan saat di meja makan. 

"Nada ditabrak dari belakang sama dia, Yah. Udah gitu, dia malah nyolot nyalahin Nada, trus pergi gitu aja. Motor pake nggak mau idup segala lagi."

Aku menggerutu, meminta pembelaan dari Ayah. Soalnya tadi, di depan Alan, Ayah kayak nggak peduli sama kesakitanku. 

"Kamu tidak apa-apa kan? Kenapa tak pulang saja, tadi?" tanya Ibu. 

Aku cuma mengangguk, "Nggak bisa, Bu. Banyak kerjaan di kantor tadi."

Hening beberapa saat. 

"Mengenai ... ." 

"Nada juga mau bahas dia, Yah."

Nggak sopan memang. Ayah belum selesai bicara udah kupotong. Padahal belum tahu, yang mau dibahas Ayah sebenarnya apa. 

Ibu menepuk lenganku, pelan. "Kamu itu, Ayah belum selesai ngomong sudah dipotong."

"Lha, kan yang mau dibahas soal sialan kan?"

"Hust, kamu itu, baik-baik sebut nama orang." 

"Orangnya kan nggak ada di sini, Bu. Jadi suka-suka kita lah nyebut dia gimana!"

"Nada!" seru Ayah terlihat garang.

Aku tersentak. Dan diam seribu bahasa, tak berani mengangkat wajah, apalagi bergerak. 

Ayah menghela nafas. "Ayah rasanya sudah mendidik kamu dengan baik. Mengajarkan bagaimana cara bertutur kata yang sopan pada orang lain, bertingkah laku santun sebagai anak perawan. Tak pernah Ayah ajarkan kamu bicara lantang, dan menantang seperti itu, apalagi terhadap tamu."

Ingin rasanya kujawab, gimana sakitnya hatiku dengan sikap nggak bertanggung jawab si Alan itu.  Tapi, tak berani. Ayah tampak serius. 

"Apa perlu Ayah sampaikan lagi, Sabda Rasulullah SAW tentang kenapa kita harus memuliakan tamu?" 

Aku masih bergeming, nggak mau angkat wajah, apalagi natap Ayah. 

"Sekesal apa pun kamu, hendaklah tetap menjaga lisan dan mimik wajah saat berbicara dengan tamu, yang datang ke rumah kita."

Perlahan kuhela nafas. Sumpah, ingin meluahkan perasaan, tapi, Ayah bukanlah orang yang tepat untuk dijadikan tempat mencurahkan hati. Bicara dengan Ibu, tak mungkin di depan Ayah. Yang bisa kulakukan sekarang hanya mendengarkan petuah Ayah, mengenai adab-adab bersikap terhadap orang lain, sebab aku adalah seorang anak perawan, yang usianya sudah cukup matang untuk, huft ... menikah.

------------

Apa yang Ayah khawatirkan memang ada benarnya juga. Sebab, sudah banyak anak-anak gadis seusiaku, yang telah menikah. Sahabatku, Ina Lembayung, saat usianya dua puluh tiga, dinikahi pacarnya, dan sekarang mereka sudah memiliki seorang anak, yang berusia hampir dua tahun. 

Sedangkan aku, empat tahun pacaran dengan Aldo, meski dijalani dengan cara diam-diam tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu, belum juga diberi tanda-tanda akan dilamar.

Aku meraih ponsel dan membalas whatsapp Aldo, yang ia kirim dua jam lalu.

Aldo : [Lagi apa, Nad? Kenapa seharian nggak ada nelpon?]

Aku : [Ada banyak masalah, aku baru diceramahin lagi sama Ayah.]

Aldo : [Boleh aku telpon?]

Ya, setiap kali berada di rumah, Aldo pasti nanya dulu kalau mau nelpon. Soalnya, aku nggak mau aja, Ayah sama Ibu curiga kalau aku udah punya pacar. 

Aku : [Jangan, besok aja kita ketemu. Kamu jadikan jemput aku pulang kerja.]

Aldo : [Iya, jadi.]

Aku : [Kalau gitu, besok aku nggak bawa motor, aku naik angkutan umum aja.]

Aldo : [Ntar kamu pulangnya gimana?]

Aku : [Ya kamu antar lah. Aku mau kamu datang ke rumah.]

Aku emang udah capek pacaran kayak gini terus. Aldo terlalu cemen, nggak kayak suami Ina, setahun pacaran, langsung berani ngelamar. Nah Aldo, empat tahun pacaran, belum juga kelihatan hilalnya mau ngelamar. Apa nunggu setara sama jangka waktu kredit rumah dulu, baru datang minta aku ke Ayah.

------------

avataravatar
Next chapter