1 KECELAKAAN

"Awaaaassss!!!" 

 

Suara decitan rem, klakson dan teriakan seorang cowok dari arah belakang, membuatku terkejut setengah mati.

 

Tidak sempat melihat, tiba-tiba saja, tubuhku seolah melayang, pandanganku mengabur. Tahu-tahu sudah berada di tengah jalan. Dengan posisi menelungkup. 

 

Telapak tangan perih, lutut  juga pedih, hidung mancungku rasanya sakit. Kurasa ujungnya terluka. 

 

Padahal sebelum ambil jalur kanan, sempat lihat kaca spion, tidak ada motor di belakang, hanya sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Eh, malah ditabrak begini. Apes sekali nasibku pagi-pagi.

 

Seketika lokasi tempat kecelakaan yang menimpaku dan cowok itu, jadi macet. Seseorang membantuku berdiri. 

 

"Wah, Mbak, kira-kira dong kalau mau motong jalan, itu seinnya ke kiri, tahu-tahu belok kanan, nggak pake aba-aba lagi."

 

Cowok yang menabrak tadi tampak berjalan agak terpincang ke arahku. Syukurnya aku masih sadar dan rasanya baik-baik saja.

 

"Lha, kok nyalahin saya. Situ nggak pake mata, udah jelas mobil depan nepi ke kiri, jangan salahin saya dong!"

 

Aku mana mau disalahkan, jelas-jelas dia yang sudah menabrak. Malah dia yang merepet begini.

 

"Wah, dasar emak-emak, nggak mau kalah!" ucapnya menyinggung perasaanku. 

 

"Situ bilang apa? Saya ini masih gadis, enak aja bilang emak-emak!"  jawabku seolah menantangnya. Pokoknya aku tidak mau disalahkan begini, sorry lah yaw.

 

"Hah! Susah urusan sama kaum satu ini!" katanya sambil berbalik, lalu menegakkan lagi motornya. 

 

"Woi, nggak bisa gitu, maen kabur aja lo. Ini motor gue gimana!" teriakku kesal di tengah jalan itu.

 

Sudahlah terlanjur malu. Biar deh mereka lihat, untung masker masih terpasang. Peduli amat, aku merasa di posisi yang benar kok. Dia yang salah, kenapa datang-datang langsung main tabrak saja. Apa tidak bisa mengendarai sepeda motornya biasa saja? Sudah tahu setiap pagi jalanan ini pasti disesaki kendaraan, tidak hanya kaum laki-laki saja yang memenuhi jalan. Banyak juga kaum wanita yang juga bekerja. Dan tidak semua juga yang memiliki pasangan, yang bisa mengantarkan pergi bekerja setiap pagi.  

 

"Sudahlah, Mbak, kalau mau kelarin masalah, mending di tepi itu aja. Entar ketahuan sama polisi, kena pasal macam-macam nanti."

 

Seorang pengendara lain menghampiriku. Dan kulihat, cowok itu juga dihampiri oleh pengendara yang lainnya. Mungkin bermaksud membiarkan kami mediasi, tanpa harus mengganggu kelancaran lalu lintas. 

 

Sepeda motorku dibawa oleh cowok lain untuk diketepikan. Banyak sekali yang peduli padaku. Biasalah ya, kalau cewek cantik jatuh dari motor, banyak tangan yang akan terulur untuk membantu. Beda jika yang jatuh itu kaum bapak-bapak. Boro-boro di tolongin, palingan cuma disuruh cepat berdiri, terus jalan lagi. 

 

"Makasih ya, Mas," ucapku sopan ke arah cowok yang sudah membantu membawa motorku ke tepi jalan.

 

Cowok yang menabrak aku tadi juga sudah berdiri di sebelah. 

 

Tak butuh waktu lama, lalu lintas lancar kembali. Orang-orang yang sempat membantu, juga telah berlalu pergi, menyisakan aku dan cowok ini. Tatapanku sinis ke arah dia. Halah, lagaknya sombong sekali, macam orang sukses saja gaya nelponnya.

 

"Iya, saya terlambat, Pak. Ada insiden kecil di jalan. Ah iya, nabrak emak-emak galau. Biasalah, Pak. Iya, makasih ya Pak, atas pengertiannya, saya akan segera ke sana."

 

Sumpah, ingin kutoyor mulutnya itu. Seenaknya saja bilang aku ini emak-emak galau.

 

"Heh! Kamu itu ya, bukannya minta maaf, malah nyolotin saya!" bentakku ke arahnya, sambil menurunkan masker sampai dagu. Helm juga sudah kulepas, jilbab sampai kusut-kusut seperti ini. Belum lagi hidungku, perih. Huft!

 

"Mbaknya yang salah, malah saya yang dimaki!"

 

Hih! Dasar ya nich cowok, tidak mau kalah. Perempuan apa laki-laki sih sebenarnya dia ini. Wajahnya juga tidak kelihatan lagi, pasti sengaja, supaya tidak bisa kulihat betul bagaimana rupanya. Takut kutandai 'kan. Makanya kalau salah, tidak usah menyolot pula. 

 

"Kamu itu yang salah, udah tahu ada cewek motoran di depan, malah pakai ngebut segala lagi. Untung kepala saya nggak pecah, itu motor gede kamu juga udah rusakin motor matic saya. Pokoknya kamu harus tanggung jawab, ganti rugi, saya nggak mau tau!"

 

Aku kesal sekali rasanya. Tapi, dia malah santai saja gayanya, juga tidak mau melihat kondisi motorku.

 

"Nggak bisa! Kamu yang salah!" jawabnya cuek, sambil memasang kembali helmnya.

 

"Lho kok nyalahin saya, kamu itu, pake motor nggak kira-kira, ini pagi, jalanan rame, nggak mikir apa bakal nyelakain orang kayak gitu!"

 

Dia menatapku tajam, tidak terima kali dengan apa yang aku bilang ini. Benar 'kan. Dari tadi sudah kukatakan dengan jelas, coba saja dia berkendara biasa saja, tidak akan terjadi insiden seperti ini.

 

"Kalau kamunya tetap di jalur kiri sesuai arah sein kamu, nggak tiba-tiba sok paten motong di kanan, nggak bakal kayak gini kejadiannya. Itu bahaya tahu. Nyelakain orang lain juga kan jadinya."

 

"Enak aja ngomongnya gitu, harusnya kamu itu bisa jeli, di jalan raya kok ugal-ugalan. Kalau mau balap-balapan di sirkuit sana. Sekalian aja ikut F1, biar kerasa jadi pembalapnya."

 

Pagi-pagi bertengkar sama cowok yang mulutnya 'lemes' gini, bikin naik darah, bukannya minta maaf saja dari tadi.

 

"Kok bawa-bawa F1, hei, Mbak, nggak usah ngomongnya kemana-mana dulu ya. Sekarang bahasan itu soal Mbak, yang udah bikin pengendara lain celaka. Apa perlu saya ajarin gimana tata caranya berkendara yang baik dan benar?"

 

Buset ini cowok, malah menantang aku. Bilangnya aku emak-emak, mulut dia saja melebihiku. Menjawab saja dari tadi. Ya Allah, rasanya ingin kusumpal saja mulutnya itu dengan kaos kaki busuk.

 

"Biasa aja lah ya lagaknya. Saya udah punya SIM, udah lulus ujian sepeda motor, jadi nggak perlu repot-repot nawarin diri buat jadi mentor motor saya!"

 

"Kalau gitu, harusnya Mbak tahu aturan di jalan itu gimana. Bukannya malah sein ke kiri, belok kanan. Itu yang bikin orang lain celaka."

 

Waduh, benar-benar membuatku kesal, sakit hati sekali. 

 

"Kenapa sih susah banget lo itu minta maaf, gue cewek lho, udah lo tabrak, untung gue nggak kenapa-napa! kalau tadi gue sampai nggak sadar diri gimana? Hah!" 

 

Keluar juga kan mulut kasarku. Dari tadi ditahan-tahan, dia terus nyalahin aku.

 

Tapi, dengan tidak sopannya, dia malah naik ke atas motor. 

 

"Mbak sendiri bilang nggak kenapa-napa kan, jadi nggak ada yang perlu kita bahas lagi, sorry saya buru-buru!"

 

Dia lalu menghidupkan sepeda motor.

 

"Enak aja, buka masker lo! gue foto, buat laporin ke polisi!" geramku sambil mengacungkan HP ke arahnya.

 

Dia lalu mengibaskan tangan, menutup kaca helm dan pergi. Tidak tinggal diam, kufoto saja motornya, lengkap dengan nomor plat kendaraan itu. Nanti kulaporkan sama Om, yang sudah jadi Kapolres Kota ini. 

 

Awas aja lo! 

 

Sakit hati sekali rasanya, dasar cowok tidak bertanggung jawab! Aku sumpahin susah dapat jodoh! Jahat. Huh!

------------

avataravatar
Next chapter