17 HARI PERNIKAHAN

Aku sudah resmi menjadi istri dari lelaki ini. Dia yang memang kaku, dan sama sekali terlihat tidak tertarik padaku. Sejak selesai akad nikah, hingga bersanding di pelaminan hari ini, ia sepertinya tidak ingin bersitatap denganku.

Lantas, kenapa menerima perjodohan ini, kalau setelah menikah tidak sudi melihatku? Senyumnya hanya mengembang saat ada tamu yang datang, menyalami, memberi selamat, dan berfoto. Setelah itu, duduk kembali dan kaku lagi.

"Hei, Mas, A', Bang, Kang, Bro?"

Entah harus memanggilnya siapa, sekarang.

Dia menoleh. "Ada apa?". Lalu bertanya demikian.

Dingin sekali, seperti salju.

"Aku manggil kamu, gimana?"

Aku sedikit mendekatkan wajah ke telinganya, agar apa yang kukatakan bisa didengar dengan baik, sebab, musik dari band penghibur acara ini masih menggema keras, memekakkan telinga.

"Terserah kamu aja. Semua kamu yang atur, saya hanya menuruti."

Lho? Kenapa saat ini, seolah-olah dia yang merasa seperti terdzolimi. Harusnya aku, yang telah dipaksa menikah, karena menurut ayah, dialah calon terbaik.

Sebal sekali rasanya, aku pun membuang pandangan ke segala penjuru, dan tiba-tiba tatapan terfokus pada satu sosok, yang kukenal baik, bahkan sengaja diabaikan setelah resmi bertunangan dengan Alan. Aku sama sekali tidak mengundangnya, serta sengaja menyembunyikan pernikahan ini. Namun, kenapa sekarang dia ada di sini?

Wajahku pias, manakala ia dengan gagah berani bersalaman dengan ayah dan ibu. Padahal sebelumnya, setelah empat tahun memacari tanpa kejelasan, ia tak berani berjumpa dengan orangtuaku.

Aku semakin pias, saat ia menaiki panggung, memberi ucapan selamat padaku, serta lelaki di sebelah ini.

"Teruntuk wanita yang sangat istimewa, Nada Adiba, terima kasih telah memberikan banyak pelajaran selama empat tahun ini, kamu memang wanita sempurna. Saya merasa bangga pernah menjadi bagian dari masa lalumu."

Aldo mengarahkan pandangan padaku. Tentu saja hal tersebut membuatku sangat malu. Kumundurkan sedikit tubuh ke belakang, agar tertutupi oleh Alan, yang bergeming, bahkan melihat ke asal suara pun, tidak.

"Tak lupa juga untuk pria gagah, yang kini bersanding bersama dengannya. Izinkan saya mempersembahkan satu buah lagu untuk mengiringi kebahagiaan kalian."

Jantungku semakin berdegup kencang, manakala, ayah, dari kejauhan begitu jelas menyorotku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Mungkin, beliau hendak protes padaku, karena kedatangan Aldo, seolah membuka aib masa laluku.

Musik mulai mengalun, mengiringi permintaan lagu yang akan ia dendangkan. Mendengar intronya saja, perasaanku sudah nelangsa. Dia pasti akan membuatku menjanda setelah ini.

"Ku tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya.

Aku terluka, tak bisa dapatkan kau sepenuhnya.

Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya.

Ku tak bahagia, melihat kau bahagia

Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia.

Harusnya aku yang kau cinta, dan bukan dia.

Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya.

Harusnya yang kau pilih bukan dia."

Penggalan itu saja, sudah membuat kepalaku berdenyut. Riuh hadirin yang datang ke pesta pernikahan, membuat suaranya nyaris tenggelam. Banyak para kaum hawa bersorak-sorai, karena terpesona dengan kemerduan suaranya. Mereka semua abai, sebab terbuai oleh nyanyian itu. Padahal Aldo pernah terlihat keluar masuk dari rumahku, meski hanya sekali, tiga bulan yang lalu, sebelum aku dilamar Alan.

Namun, karena pesona Aldo begitu luar biasa, hingga membuat hampir semua tak menyadari bahwa pemuda itu adalah mantan kekasihku.

Aku mengurut kepala, lalu melirik suamiku, yang dinginnya semakin bertambah saja, tapi, setiap ada tamu yang naik ke pelaminan, hendak menyalami kami, senyumnya selalu mengembang.

"Apa dia youtuber? Apa dia membuat ini semua hanya untuk konten?"

Aku terkejut dengan pertanyaan Alan. Pandanganku terarah pada satu sosok yang terlihat tengah merekam Aldo, semua penonton, dan saat ini, menyorot kami.

Aduh, Aldo membuat semua semakin kacau saja.

"Aku nggak tau, A'."

Kupanggil saja dia begitu, karena adiknya juga memberikan sapaan demikian.

Tak lama, Aldo naik ke pelaminan. Ia terlihat tersenyum lebar. Sudah puaskah membuatku berada di ujung tanduk pernikahan, yang baru saja kumulai?

"Selamat, Nad. Nggak nyangka, kamu tega giniin aku. Pantas kamu menghilang, ternyata ini jawabannya."

Mendengar ucapannya, seolah mengenaskan sekali, tetapi, sebenarnya berbanding terbalik dari penampakkan di wajahnya. Senyumnya tetap terkembang, tampak ikut berbahagia dengan acara ini.

Sudahlah, aku tidak mau ribut-ribut. Tak perlu menjawab apa pun, sambut saja jabat tangannya, kemudian lepaskan.

Eh, lepaskan! Kenapa dia malah mempereratnya.

"Hmmm."

Alan melirik dan langsung memberi kode, agar aksi jabat tanganku dengan Aldo segera disudahi.

"Biarkan saya menggenggam tangannya sedikit lama. Bukankah kamu sudah memiliki dia seutuhnya, Bro. Berbagi sedikit ini aja, masa nggak mau!"

Aldo menjawab kode keras suamiku tadi, sambil terus menggenggam tanganku.

"Al, lepasin aku."

Terpaksa harus sedikit memelas, agar dia mau melepaskan. Mengenal Aldo lebih dekat selama empat tahun, membuatku cukup paham bagaimana karakternya.

Aldo, sosok yang perhatian, dan terlihat begitu tulus menyayangi. Hanya saja, ia tak kunjung berani untuk meminangku pada ayah dan ibu. Sementara usia ini semakin bertambah saja, terlebih aku anak tunggal, dan perempuan pula. Dua puluh lima tahun, menurut ayah dan ibu adalah usia pas untuk berumah tangga.

"Maaf, Nad. Aku nyakitin kamu, ya?"

Ya ampun, tatapannya melemahkan iman sekali. Ini yang kuhindari setengah mati. Setelah resmi menjadi tunangan Alan, ayah bilang aku harus bisa menjaga amanat. Setengah statusku bukanlah seorang gadis lajang lagi, tetapi, milik orang.

Ayah memberi tahu ini, agar aku menjaga nama baik keluarga juga. Sebab, banyak mata yang akan menjadi saksi, jika aku tetap berkeliaran di luaran, jalan bersama dengan Aldo, meski tanpa sepengatahuan ayah dan ibu.

"Nggak apa-apa, makasih udah datang."

Aku menunduk kian dalam, dan sedikit berpaling ke arah berlawanan. Semoga dia mengerti, lalu segera pergi.

Aldo seperti paham, ia lantas beranjak untuk menyalami Alan sebentar. Setelahnya, kulihat sorot kamera sudah mengarah padanya.

Perasaanku sungguh tidak enak. Apa yang akan ia lakukan dengan video itu? Jika dia unggah, sungguh keterlaluan sekali.

*

Setelah melewatkan hari yang melelahkan ini. Akhirnya, kami sudah berada di kamar penganten, yang telah dihias sedemikian rupa. Untuk sementara, kami tinggal di rumah ayah dan ibu. Harapanku, kalau bisa selamanya saja. Mana bisa diri ini berpisah dari ayah dan ibu.

Alan baru keluar dari kamar mandi, yang ada di dalam kamar. Ia tampak sudah mengenakan pakaian, baju kaos putih dan celana panjang.

Sementara aku, sudah sejak tadi selesai berbenah, dan saat ini tengah berbaring di atas tempat tidur, berbalas pesan dengan Ina, sahabatku.

Kulihat Alan sekilas, dia tak menoleh. Mau sampai kapan menahan pandangan seperti itu. Aneh sekali!

Kekesalan ini akhirnya kutumpahkan pada Ina.

@Nada

[Dia nggak mau lihat gue, Na. Padahal waktu lamaran, dia bahkan ngajak gue ngomong berdua. Sekarang, malah nggak mau noleh sedikit pun. Kalo ngomong, pasti pandangannya ke depan aja. Sebel nggak sih?]

@Ina

[Lo ada bikin salah kali, Nad? Inget-inget deh, apaan.]

Apa ya? Kucoba ingat-ingat, tapi, tak ada yang teringat.

@Nada

[Ya udahlah, biarin aja. Entar kalo gue mood, gue tanya. Lo istirahat aja, dah malem. Makasih banyak ya, sob, udah mau hadir, capek-capek bantu di sini.]

@Ina

[Apa sih yang nggak buat lo. Oh ya, soal Aldo tadi, bukan gue lho, ya, yang ember soal pernikahan lo. Gue konfirmasi aja, meski lo nggak nanya, takutnya lo kepikiran gue.]

@Nada

[Gue percaya sama loe.]

Setelahnya, aku iseng scroll percakapan di whatsapp sampai ke bawah, kelihatan ada nama 'siAlan' muncul. Aku lupa kalau pernah chatting sama dia. Isinya apa ya?

Mataku terbelalak. Apa-apaan ini?

Aku tak menyangka pernah mengirim sesuatu hal seperti ini padanya. Apakah ini yang membuat dia berubah dingin bagai salju?

Kulirik dia yang juga tengah membuka ponsel, berbaring di samping.

Tak lama, HPku berdenting.

@siAlan

[Apa saya harus tidur di lantai? Sesuai perjanjian pra nikah ala-ala, yang kamu kirim tiga bulan lalu?]

Langsung saja kugigit bibir ini.

------------

avataravatar
Next chapter