5 Kecupan Lembut Bibir Camelia

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, dirinya harus kembali ke kantor karena terlalu lama berada di kafe dan perempuan itupun belum mengungkapkan tujuan ingin bertemu dengannya untuk apa, malah menikmati es krim vanilla strawberry yang dipesan oleh Rahandika dan membuang-buang waktu saja.

"Setengah menit lagi, katakan apa tujuan kamu ingin bertemu dengan saya," sahut Raven yang kali ini sudah memasang wajah serius, tidak ingin berlama-lama dengan Camelia.

"Es krim lo aja belum dimakan, Rav, nanti keburu mencair lho." Camelia mengalihkan pembicaraan dan menunjuk es krim pria itu yang masih utuh.

Raven menurunkan pandangan ke arah es-krimnya yang memang sudah mencair karena didiamkan begitu saja. Dalam keadaan seperti ini mana bisa ia menikmatinya, karena yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pekerjaan yang harus tertunda, dan membuang waktu dengan percuma.

"Emang udah mencair kok, udahlah nggak usah buang-buang waktu. Saya sibuk dan akan segera kembali ke kantor," telak Raven yang ingin segera menyudahi obrolannya dengan perempuan itu.

Camelia merengkutkan bibir, tidak suka dengan sikap Raven yang selalu berbicara tinggi kepadanya. Pria itu benar-benar tidak bisa bersikap baik padanya, walau hanya satu menit saja.

"Iya, iya," balas perempuan itu sembari mengambil tisu untuk mengusap bibirnya yang masih terasa es krim tersebut menempel di sela-sela bibirnya, dan gerakan bibir Camelia tadi sempat terlihat oleh Raven, dan laki-laki itu langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain, jangan sampai dirinya tergoda.

Namun, bukannya langsung bicara tujuannya ingin bertemu dengan Raven untuk apa, Camelia malah menyodorkan satu sendok esk kirim ke arah Raven, berharap agar pria itu sudi membuka mulutnya. Paling tidak Raven merasakan sekali saja betapa nikmatnya es krim pemberian dari temannya itu.

Bukan membuka mulut, namun Raven malah memberikan tatapan interogasi kepadanya dengan kedua tangan yang menyilang di dada. Ekspresi wajah yang begitu seksi di dalam pandangan perempuan itu. Namun, ia sadar jika Raven tidak suka padanya.

"Sebelum gue bicara, alangkah lebih baik lo makan es krim dulu, supaya keadaan lo lebih santai dan pandangan lo nggak nakutin gitu," pinta perempuan itu yang cukup pegal ketika berada di posisi seperti ini dan Raven pun merasa enggan untuk membuka mulut sampai membuat Camelia kesal dan menubrukkan sendok es krim tersebut ke arah bibir Raven, memaksanya untuk merasakan, namun yang ada perempuan itu malah meleburkannya sehingga berceceran di sekitaran di bibir Raven.

Pria itu mencoba menahan emosi dan segera mengambil sapu tangan di dalam jasnya dengan cara yang sangat elegan, tanpa mengeluarkan suara sama sekali dan hanya terdengar helaan napas Raven yang berat, menandakan jika laki-laki itu tengah kesal kepadanya. Namun, lebih dulu Camelia menghentikannya, ia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Sorry, sorry, biar gue aja yang lap bibir lo," pinta Camelia mengambil tisu di dalam tas dengan gerakan cepat.

Perempuan itupun mencondongkan wajahnya berhadapan dengan Raven sekarang, tidak ada rasa canggung sama sekali bagi Camelia melakukan hal seromantis tersebut bagi pasangan yang semisal memiliki status hubungan. Namun, berbeda dengan pria itu yang cukup gugup melihat wajah Camelia dari jarak dekat. Wajah cantiknya dari dulu tidak pernah berubah, masih tetap sama, dan ia tak menampik pernah jatuh cinta kepadanya sampai perasaannya tersebut terhenti setelah mengenal dan menjalin hubungan dengan Luna. Namun, dengan perlahan pandangan Camelia mulai menurun dan memperhatikan pahatan indah dari setiap ruas wajah Raven yang sedang menatapnya. Hidung mancung, rahang tegas, bahkan dengan buah jakun yang terlihat menonjol di leher. Keduanya pun tampak saling tukar pandangan merasa betah berada di posisi seperti ini, tak sadar jika keberadaannya di tempat umum. Camelia pun terlupa dengan tujuan awalnya berada di posisi seperti ini untuk apa.

Tak terasa jika Camelia menelan saliva tatkala melihat es krim tersebut yang menempel di bibir Raven yang terlihat seksi. Ia tidak ingin mengelapnya menggunakan tisu melainkan dengan cara yang cukup eksotis menggunakan anggota tubuhnya yang lain. Entah dari mana ia memiliki keberanian untuk melakukan tindakan konyol tersebut, terlebih kepada Raven, laki-laki dingin yang sulit sekali didekati. Sehingga mengikis jarak keduanya, dan anehnya Raven pun seolah tersihir dengan pesona Camelia di depan wajah tak menyingkirkan wajah perempuan itu. Bahkan saat detik-detik Camelia malah mengecup bibir Raven demi mengelap es krim di bibir pria itu dengan lembut, Raven malah menerima begitu saja kecupannya dan tak menampik cukup menikmati. Selain merasakan manisnya es krim tersebut, ia pun bisa merasakan lembutnya bibir Raven yang sejak awal bertemu dengannya ia sudah tergoda.

Tersadar membuat kedua bola mata Raven langsung membulat seketika dan menyingkirkan wajah perempuan itu di hadapannya dengan sedikit kasar. Camelia yang tersadar dengan kebodohnnya langsung menunduk, ia takut dengan sikap Raven tadi. Namun, ia sama sekali tak menyesal karena bisa merasakan bibir manis dari pria itu, dirinya pun menerima jika Raven akan memarahinya nanti.

"Berani banget kamu kecup bibir saya!" sentak Raven yang tidak suka dengan cara perempuan itu yang mengecup bibirnya dengan berani di tempat umum.

"S-sorry, lagian bibir lo menggoda banget," ujar Camelia tanpa merasa bersalah dan dengan entengnya berbicara jujur, sementara Raven masih mengusap terasa bibir perempuan itu menempel dengan bibirnya.

"Kayanya udah kebiasan kamu deh magut bibir orang tanpa permisi, nggak sopan!" cetus Raven dengan perasaan kesal, beberapa kali pria itu mengusap bibirnya karena masih merasakan bibir Camelia yang sulit sekali dihilangkan.

"Jangan samakan cara hidup kamu di luar negeri dan di Indonesia!"

Setelah keadaan normal kembali. Raven melirik ke arah jam mewah made in Swiss di lengannya, ia benar-benar menghabiskan waktu secara percuma, bahkan harus ada tragedy kecupan segala yang membuatnya akan terus teringat.

"Katakan, ada keperluan apa kamu ingin berbicara pada saya?"

"Lo terima aja perjodohan ini, Rav." Camelia langsung mengutarakan, ia pun merasa terlalu lama menahan pria menyebalkan itu.

"Kenapa? Bukannya kemarin kamu nolak?" Raven balik bertanya membuat perempuan itu tergelak sebentar.

"Ehm—"

"Apa karena kamu diancam nggak bakal dapat harta warisan dari kakek Rasya, makanya kamu meminta saya untuk menyutuji perjodohan ini."

"I-iya, itu lo tahu, Rav. Sayang banget semua aset harta kakek gue kalau disumbangin. Gue kan cucunya dan berhak dong dapet, dan satu-satunya cara agar gue dapet warisan dari kakek Rasya yaitu menikah dengan lo."

"Tante kamu aja belum nikah, masa kamu mau melangkahi tantemu sendiri sih, Mel."

"Maksudnya tante Mely?" sergah Camelia.

Raven mengangguk dengan memicingkan wajah.

"Ya gue tahu sih, tapi yang disuruh nikah itu gue bukan tante Mely. Ya mau gak mau gue ikutin keinginan kakek dong. Udahlah lo terima aja perjodohan ini, toh kita sama-sama simbiosis mutualisme. Lo sendiri nggak bakalan jadi milyarder kalau nggak nikah sama gue. Nenek Hanna itu udah klop banget, jadi dia nggak mau kalau cucunya nikah dengan perempuan lain. Lo sendiri bilang nggak mau mengecewakan nenek Hanna, jadinya lo harus terima dong gue jadi istri lo," cetus Camelia dengan penuh percaya diri jika dirinya adalah pilihan terbaik dari nenek Hanna. Meskipun ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi istri Raven, malahan ogah bagi perempuan itu menjadi istrinya. Namun, ini semua demi harta sang kakek.

"Tapi, saya nggak yakin nenek bakalan terima kamu, kalau tahu dengan cara hidup dan apa yang kamu lakuin di Ausi, Mel. Mungkin nenek Hanna pun merasa enggan dan lebih memilih cucunya menikah dengan perempuan lain, yang lebih baik dan pantas untuk menjadi istri cucunya."

Camelia mendadak terdiam sembari memicingkan wajah mengingat sudah dua kali Raven mengatakan kalimat yang membuatnya harus berpikir dalam. Ia tak menampik dengan pergaulannya yang cukup bebas, dan anehnya mengapa Raven benar-benar tahu dengan kehidupannya dulu saat di Ausi. Sebegitu burukah ia di mata Raven.

"Emangnya apa sih yang lo tahu dari gue? Dan apa yang gue lakuin di sana?" perempuan itu balik bertanya dengan nada yang cukup tinggi.

"Saya nggak suka dengan pergaulan kamu yang cukup bebas, dulu saat pertama kali saya dijodohin dengan kamu. Saya setuju, tapi setelah saya tahu kelakuan kamu di sana yang tentunya sering mabuk. Itu yang membuat saya ilfeel, bahkan nggak yakin kamu masih perawan atau nggak!"

Camelia mendadak menjadi patung jika sudah dihadapkan dalam posisi seperti ini. Ia tidak bisa menyanggah dengan ucapan dari pria itu, karena sebelumnya ia memang pernah terbangun di atas ranjang yang sama dengan mantan kekasihnya. Namun, pria itu mengelak tak melakukan apa pun, bahkan bajunya saja masih tersemat di tubuh, menandakan memang tidak terjadi sesuatu dengannya. Mungkin dirinya sudah hamil sekarang, jika memang melakukan hubungan.

"Terserah lo mau berpikiran jelek mengenai gue, gue terima karena gue nggak sebaik kriteria calon istri yang lo idamkan. Tapi, gue pengen lo setuju dengan perjodohan ini, toh kita nggak sama-sama cinta dan lo bisa ngelakuin apa pun yang lo mau, termasuk menjalin cinta dengan perempuan yang lo suka, yang sesuai dengan kriteria, gue nggak akan ngelarang, anggap aja kita nikah kontrak, lo bisa cerain gue kapanpun lo mau. Gue menyetujui pernikahan ini karena harta kakek gue, supaya nggak disumbangin!" cetus Camelia dengan penuh penegasan. Ia tidak ingin mendengar ucapan Raven yang terus menyudutkannya, dan jujur membuat hatinya sakit. Bahkan di dalam hati perempuan itu berusaha sabar dalam menanggapi sikap Raven yang begitu menyebalkan.

Raven hanya menggelengkan kepala saja sembari tersenyum tipis.

"Gimana Rav, please dong …." Camelia mengatupkan kedua tangannya di hadapan Raven, ia berharap agar pria itu mau mengiyakan. Sementara Raven tampak berpikir antara mengiyakan atau menolak, namun sejujurnya sang nenek pun mengancam hal yang sama seperti ancaman dari kakek Rasya kepada Camelia, namun perbedaannya ia tidak bisa menolak keinginan dari perempuan yang sangat dicintainya itu, yang merupakan jantung hatinya.

Raven dalam posisi bingung sekarang dan sesekali mengusap wajahnya.

"Menikah tanpa adanya cinta rasanya seperti hambar, apalagi niat kamu nikah cuma karena harta dari kakekmu saja. Nikah itu sakral, bukan hal untuk dijadikan alat permainan semata."

"Perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya kok, Rav. Sekarang kita emang nggak saling cinta, tapi nggak tahu nanti. Gue tahu kalau nikah itu sakral, tapi nggak ada cara lain, kita jalani aja."

Raven langsung menatap kedua bola mata perempuan itu, antara sadar atau tidak Camelia mengatakannya.

To be continued...

avataravatar
Next chapter