26 Kau hanya

Reista bangun dari tidurnya dan menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong, ia berharap semua yang semalam ia dengar adalah mimpi. tapi tidak saat ia melihat potongan lingerie yang sudah berantakan di atas lantai.

Reista bangun dan membereskan lingerie itu, membungannya kedalam kotak sampah dan tidak memperdulikan lagi. ia memutuskan untuk mandi, membasuh pikiran serta tubuhnya dengan tidak bersemangat.

Setelah selesai mandi, Reista memakai baju kerjanya, ia akan kekantor dan memberikan surat resign secara langsung. mau bagaimanapun ia harus bersikap profesional saat mengundurkan diri. serta membereskan beberapa pekerjaan yang memang tanggung jawabnya.

Ia memoles makeup sedikit tebal, dengan lipstik berwarna pink yang lebih mencolok. bibir kecilnya ini terlihat sedikit menggoda dengan warna terang. Rok span berwarna hijau tua dan baju berlengan sabrina berwana hitam. Reista menggerai rambutnya yang halus itu. memakai hig heels 12cm.

Sebenarnya Reista tak pernah berdandan berlebih saat ke kantor, tapi entah mengapa hari ini ia ingin menunjukan tubuhnya yang tidak kalah bagus ke semua orang. terutama pada suami terkutuknya.

Reista keluar dari kamarnya dan berjalan anggun keruang makan dilantai satu, disana dia sudah melihat tiga orang yang seperti keluarga bahagia. aku duduk dengan tenang di kursi makan.

"pagi Mom". aku tersenyum kearah anakku ini, walaupun aku membenci ayahnya. tapi aku tidak boleh melampiaskan perasaan ini ke anak kecil yang tidak tau apa-apa tentang masalah ini.

"Pagi sayang, maaf Mommy tidak kekamarmu tadi pagi. Mommy sedikit lelah, apa kamu sudah membereskan tugas kesekolahmu nak?".

"tenang saja Mom, aku sudah membereskannya. dan jika Mommy masih lelah Mommy bisa istrahat saja dikamar". Renandra mengelus pipiku dengan lembut, aku hampir saja menangis jika tidak kuingat ada dua pasangan medusa didepannku saat ini. anaknya bisa semanis ini mengapa juga ayahnya bisa sangat kejam.

"tidak Mommy hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan".

"kau bisa istirahat Reista". ucapan Ramel membuatku melihat kearahnya dengan wajah dingin, ingin rasanya aku melemparnya dengan piring didepannku.

"ahh tidak usah". katakan pelan.

Aku sibuk memberikan sarapan kepada Renandra dan tak memperdulikan piring Ramel yang sedari tadi kosong, aku sudah tidak ingin menanyakan ia mau makan apa atau mau bagaimana lagi. aku benar-benar muak padanya.

"Ramel sayang, kau ingin makan apa?". pertanyaan medusa yang berbentuk Caca ini membuatku benar-benar ingin melemparnya dengan piring.

Aku tak mendengar suara ramel menjawab ucapan Caca, aku melirik kedepan dan kulihat Ramel menatapku instens dan tidak kalah juga si medusa melirikku tak suka. dua manusia sialan, mereka yang menyakitiku namun saat ini mereka memperhatikanku seperti aku ini penjahat.

"dimana Teh biasa yang aku minum Reista?". ucapan datar Ramel membuatku berhenti memakan buah yang baru saja aku kunyah.

"Irennn, buatkan teh untuk tuan Ramel". teriakanku membuat Iren berjalan cepat kearah dapur.

"kau menyuruh iren?, aku ingin teh buatanmu".

"kau mempekerjakan banyak maid dirumah ini, mengapa juga kau harus menyuruhku. aku ini Ratu dirumah ini, sudah sepantasnya aku menyuruh". ucapanku terdengar cukup menyakitkan, aku hampir saja menepuk pelan bibirku jika tak ku kondisikan.

"kau sedang memperjelas posisimu nyonya Reista". Caca berucap dengan memandangku sinis, aku hanya melihat kearahnya sedatar mungkin. sepertinya gertakanku di makan malam waktu itu tak membuatnya jera, dia malah semakin menjadi-jadi dihadapan Ramel saat ini.

"tidak usah diperjelas Caca, Aku memang Nyonya rumah ini, bahkan aku bisa mengusirmu dari sini sekarang juga".

"cobalah jika kau berani". Caca menghadapku dengan mengejek, aku tersenyum sinis padanya. jika saat ini tak ada anakku Renandra, aku tak segan-segan menjambak rambutnya.

"Toniiiii, Dileennnnn!!!!. cepat kemari". aku memanggil dua penjaga kepercayaan Ramel dengan sedikit kencang. mereka datang tergopoh-gopoh sedikit panik. mungkin saat ini mereka mempertanyakan mengapa aku bisa memanggil mereka dengan cukup kencang.

"ada apa nyonya?." tanya mereka pelan.

"usir perempuan bernama Caca ini, dan bereskan pakaianya secepat mungkin. aku tidak ingin satupun barang miliknya menganggu istanaku".

"Tapi.. nyonya caca".

"aku nyonya rumah ini, bukan perempuan ular sepertinya".

"Baik.. Baik kami akan..."

"Pergilah kalian keluar, tidak ada yang dapat mengusir siapapun tamuku". ucapan Ramel terdengar lebih dingin dari biasanya. aku melihatnya sedikit menantang, aku menunggu ucapannya selanjutnya dari ini.

"Mom, ayo kita berangkat. aku diantar Mommy saja". Aku menarik nafas panjang, aku harus menetralkan emosiku didepan Renandra. pegangan kuat di tangan anakku membuatku tau bahwa saat ini ia ketakutan dengan kondisi yang sedikit menenggangkan dipagi hari.

"Ramelson suamiku, aku tidak ingin melihat Caca dirumah ini lagi. usir dia dan jangan biarkan dia menginjakkan kakinya dirumahku". aku membereskan peralatan makan Renandra dan menuntunnya untuk berangkat sekolah.

"ini rumahnya juga Reista anyelir wiltson". ucapan Ramel menyebut nama panjangku tanpa embel-embel Etrrama membuatku seketika membeku.

"Tapi aku ingin dia pergi". jawabku telak dengan sedikit emosi.

"dia adik dari istriku yang sangat aku cintai, dia punya hak atas rumah kakaknya". aku tertawa dengan miris, jadi selama ini aku siapa?.

"adik istrimu? aku tidak punya adik Ramel".

"Reista!!!. ingat dimana posisimu". teriakan Ramel, membuat Renandra mengenggam tanganku erat, aku hanya tersenyum menatapnya.

"aku tau posisiku Ramelson, aku istri sah dan ibu dari anakmu".

"kau hanya istri dan bukan ibu kandung anakku".

"hanya?, seterah kau saja tuan Ramel yang terhormat". aku menggandeng tangan Renandra dan membawanya untuk cepat-cepat berangkat kesekolah. kami menaiki mobil berbeda yang diatar oleh supir. mataku sedikit memanas, hatiku benar-benar remuk saat ini. Ramel memperjelas siapa aku. aku 'hanya' pengganti.

"Mommy? Mommy jika ingin menangis, menangis saja." ucapan Renandra membuatku benar-benar tidak kuat menahan tangisku lagi, air mata yang sudah kutahan sejak tadi turun dengan deras. aku tidak tau bagaimana mengungkapkan perasaanku saat ini.

"maaf ya sayang, maaf kamu harus melihat semua ini". kataku dengan suara yang serak.

"tidak Mom, Mommy tidak perlu meminta maaf. aku bangga punya ibu sebaik Mommy, aku tau bahwa daddy tidak mencintai Mommy seperti Daddy mencintai Mommy andine". Renandra mengelus pipiku dengan pelan, ia menghapus air mataku yang sudah pasti membuatku sangat jelek saat ini.

"maaf". kataku lagi, aku tidak tau ingin mengatakan apa, menangis didepan anak umur 6 tahun. yang dengan tenang menghapus airmataku yang bodoh ini.

"menangislah Mom, aku tidak akan membiarkan Mommy disakiti terus oleh Daddy. maaf karena keinginanku untuk menjadikan Mommy ibuku sepenuhnya membuat Mommy menderita". aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Mommy tidak menderita sayang, Mommy senang menjadikan kamu sebagai anak Mommy yang baik dan sangat tampan". aku mencoba sedikit tersenyum dan memeluknya, aku mencium puncak kepalanya berkali-kali. ada satu kebahagiaan yang diberikan tuhan padaku, seorang anak laki-laki yang sangat mengerti perasaanku, walaupun dia tau aku bukan ibu kandungnya, tapi dia selalu ada disampingku saat aku membutuhkannya.

avataravatar
Next chapter