11 Dendam Masa Lalu

Basecamp geng Bedog terdengar riuh oleh amarah Bryan, yang melemparkan drum kosong sebagai pelampiasan emosinya. Pria dengan kepala plontos, juga tangan yang penuh dengan tato, dan lambang geng mereka di tengkuknya. Merasa geram, karena anak buahnya tidak berhasil menangkap Sullivan.

"Maaf, bos, kita kira Bos faham. Kalau Sullivan bukan lawan seimbang, jadi kita ...." Ucap salah satu tim yang mengejar Sullivan dan Shireen.

"Diem lo pada, lo emang ngeselin semuanya parah. Nangkep satu orang aja harus ngintai selama itu dan nggak berhasil! Lo tau nggak, itu malu-maluin gue!" hardik Bryan, menunjuk-nunjuk kepala anak buahnya.

"Maaf, Bos," sahut mereka serempak.

"Lain kali, lo gagal lagi. Gue gak jamin, besok paginya kalian masih bisa napas," ancam Bryan, semua anak buahnya jadi ketakutan.

"Saya janji akan berhasil menangkap dia, Bos," ucap Gong, meyakinkan Bryan.

"Jangan cuma bacot aja, lakukan dengan benar. Paham, lo!"

Geng Bedog terkenal sadis, bukan hanya kerusuhan di pasar Sumbersari yang mereka kacaukan, Sering kali mereka membegal para pengendara motor dan motor di daerah Kalimalang. Sebagian mereka juga ada yang bertugas mencopet spesialis handphone, di komplek DKI wajah mereka sedang diincar security komplek.

Di rumahnya, Sullivan berpikir keras bagaimana menyelesaikan urusan dengan Geng Bedog. Dia tidak punya bukti apapun untuk membela diri, dirinya cukup paham bagaimana karakter Bryan, kawannya dulu saat dirinya masih tersesat. Bryan bisa melakukan apapun, pada orang terdekat yang dia sayangi.

Pria yang terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin itu, tak segan menghabisi adiknya sendiri. Saat dirinya tidak sejalan dengan keinginan sang adik, yaitu Liliana yang tak lain adalah kekasih Sullivan. Liliana merupakan cinta pertama bagi Sullivan, namun kisahnya harus berakhir, karena gadis itu mati didepannya dengan mulut berbusa.

Entah apa yang Bryan masukkan ke dalam makanan mereka, sebab makanan Sullivan baik-baik saja. Hubungan mereka berdua pun mulai renggang, karena seringnya terjadi perselisihan. Apalagi sesuatu yang sangat Bryan jaga, berhasil dipegang oleh Sullivan.

Sejak saat itu dia Sullivan memutuskan keluar dari dunia hitam. Kepergian Liliana yang mengenaskan didepan matanya, membuat dirinya menjadi pribadi yang tertutup. Dia tidak pernah mau membuka atau berbagi cerita pada siapapun. Sekalipun orang itu sudah dida kenal lama, bagi Sullivan sebuah kepercayaan itu mahal harganya dan tidak mudah diberikan pada sembarang orang.

Konflik masalalu yang masih belum usai, tidak pernah dia duga mengancam masa depannya. Rahasia itu kini harus dia selesaikan secepatnya, karena dia sudah lelah hidup dalam pelarian selama bertahun-tahun.

Sullivan menghela napas panjang, dia sadar telah membawa Shireen ke dalam masalah besar. Dia paham betul, nyawa gadis itu dalam bahaya. Setelah berpikir lama, dia memutuskan untuk menemui Shireen dan memastikan keadaannya.

Security indekost mengetuk pintu kamar Shireen, karena mengantuk berat. Gadis itu tidak mendengar suara ketukan pintu, sehingga Pak Dahri sang penjaga pintu harus menggedornya beberapa kali. Shireen memaksakan bangun walaupun dia masih ingin tidur, setelah insiden semalam dia merasa sangat lelah.

"Ya, Pak Dahri, ada apa? Hooaamm." Shireen menguap lebar tanpa menutup mulut.

"Ebuset, Neng, kalo nguap itu tutup mulut. Kata orang tua saya, itu jin pada masuk ke dalam mulut kalo pas nguap nggak ditutup," ujar Pak Dahri.

"Jin mana mau masuk ke mulut bau comberan kaya saya, Pak" seloroh Shireen, mukanya malas sambil terus menggaruk kepalanya.

"Setdah, kalo di bilangin kagak caya banget."

"Hehehe, ada apa bangunin aku pagi-pagi begini?" tanya Shireen.

'Pagi apaan, siang begini.' bisik hati Pak Dahri.

"Wey, ngapa diem atuh, Pak.'

"Eh, iya, itu, anu. Ada yang mau ketemu kamu, Neng."

"Hah? Siapa?"

"Namanya Dagong temen kamu di tempat kerja katanya," jelas Pak Dahri.

"Dagong?" Shireen keheranan, karena tidak pernah mendengar nama temannya seperti itu.

"Iya, kenapa? Kagak kenal?" Pak Dahri balik bertanya.

"Nggak apa-apa, bilang aja sebentar lagi Aku turun," perintah Shireen.

"Oke melehoy, siap laksanakan." Pak Dahri menaruh tangan kanan didepan jidatnya, memberikan hormat lalu turun ke lantai bawah.

Shireen meraih cardigan yang tergantung di balik pintu, mengikat rambutnya asal lalu menyusul Pak Dahri. Dari kejauhan dia melihat pria berkepala plontos, tengah duduk dengan wajahnya yang sangar. Shireen menelan ludah, dia takut jika pria plontos itu adalah yang mengejarnya semalam.

Dagong melirik ke arah Shireen, Shireen tersenyum dan mencoba bersikap biasa. Dia duduk dihadapan Dagong, kakinya bersilang lalu melipat tangan. Matanya memindai menatap Dagong yang menampakkan wajah tidak ramah.

"Siapa ya?" tanya Shireen, jantungnya berdegup kencang.

"Lo yang semalem di diskotik bawa cowok itu, lo tau nggak dia dimana?" Dagong balik bertanya, wajah sangarnya terlihat ingin menerkam Shireen.

"Iya Om, saya cuma antar dia ke klinik. Setelah itu nggak tau," jawab Shireen, setenang mungkin.

"Lo nggak bohong!" bentak Dagong.

"Nggak, ngapain bohong. Ya, tanya aja sama pihak klinik kalo nggak percaya," tukas Shireen, jantungnya semakin berdetak kencang.

"Sejak kapan lo kerja di diskotik, itu hah?"

"Bukan urusan Om atuh, baru kenal kok, nggak sopan nanya-nanya privasi orang."

Dagong melotot mendengar perkataan Shireen, melihat ketenangan wanita itu dia pun percaya Shireen tidak mengenal Sullivan buruannya. Dia bangkit lalu pergi meninggalkan indekost begitu saja.

Shireen bernapas lega, setelah Dagong pergi. Dia mengusap dadanya yang berdebar, keringat dingin yang membasahi kening, dia menyekanya dengan ujung cardigan. Pak Dahri memperhatikan dari jauh, Shireen menganggukkan kepalanya memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja.

Waktu menunjukkan pukul 13.00, jam makan siang telah tiba. Perut Shireen keroncongan merasa lapar, karena dia baru saja bangun. Dia berjalan cepat kembali ke kamarnya, saat pintu terbuka dia melonjak kaget dan membantingkan pintu keras.

Sosok lelaki jangkung berkacamata, yang dia tolong semalam. Tengah bersantai di kamar pribadinya. Napas Shireen tercekat, dia takut pria itu merudapaksa dirinya.

"Bujug buneng! Ngapain kamu disini." Shireen mencecar Sullivan yang duduk diatas kasurnya.

"Berisik! Sini lo duduk," perintah Sullivan, dengan santai menunjuk tempat di sebelahnya.

"Eh, nggak bisa. Kalo Pak Dahri tau, mampus aku diusir dari sini. Lagian, dari mana kamu masuk, hah?" cecar Shireen, dia masih berdiri didepan pintu. Tangannya terus menunjuk Sullivan.

"Bawel neh, udeh duduk dulu sini." Sullivan mengulangi perintahnya.

"Kamu nggak macem-macem, kan, Pak Tua."

"Jangan ngeres, gua nggak nafsu sama lo."

"Isy!"

Shireen masih ciut untuk mendekat, dia merapatkan cardigannya. Setelah sadar Sullivan terus melihat bagian atas dada nya yang terbuka. Dibalik cardigan, dia hanya mengenakan tanktop hitam yang longgar. Membuat bagian dada nya terlihat sebagian, hampir ke bagian dua gunung kembar yang melekat di tubuhnya.

Perlahan dia memberanikan diri berjalan mendekati Sullivan. Sebelum duduk, dia beranjak ke dapur yang ada di bagian kanan kamar, mengambil roti, selai, sekaligus pisau kecil untuk berjaga-jaga. Dia duduk bersila didepan Sullivan, tangannya santai mengeluarkan roti dari plastik, lalu mengoleskan selai cokelat. Matanya waspada menatap Sullivan yang terus melihat ke arahnya.

"Ngapain liat-liat, gue cantik ya." Shireen tersenyum tengil, memuji dirinya sendiri.

"Heh, pede banget. Orang itu udah pergi?" tanya Sullivan.

"Makhluk botak itu? Udah, kenapa? Dia temen kamu?" Shireen balik bertanya, mulutnya penuh sambil mengunyah roti.

"Bukan urusan lo."

"Ngapain sih di sini, buruan keluar sana. Pak Dahri liat, habis kita berdua. Eh, tepatnya aku bakal diusir tau. Di sini ketat, nggak boleh bawa cowok kecuali ngobrol di ruang tamu," terang Shireen, wajahnya gusar, perasaannya tidak enak.

avataravatar
Next chapter