6 Serangan Asap

Saat itu tangisnya pecah melihat bayi merah yang sudah tidak bernyawa. Namun, tangisnya terhenti saat dia melihat ponsel, seseorang mengirimkan foto Sullivan berada di rumah sakit saat dia sedang berjuang melahirkan.

Karena masih dalam pemantauan tim dokter, dia belum diizinkan pulang. Sepanjang malam dia merasa gelisah ingin segera menemui Sullivan. Hatinya curiga dengan keberadaan pria itu, padahal sudah lima bulan mereka bersitegang karena masalah dengan Ghailan juga masa lalu Shireen sebagai kupu-kupu malam.

Pagi hari, dia pun nekad kabur dari rumah sakit dan bergegas menuju rumah Sullivan. Setelah perdebatan alot, pada akhirnya dia pasrah melihat dinginnya sikap pria itu padanya dan mengusirnya dengan sangat kasar. Shireen sangat paham, bagaimana Sullivan saat sedang berbohong dan tidak.

Biasanya Sullivan akan diam, jika dia tahu sesuatu. Akan tetapi, saat berdebat dengannya pria itu terus menjawab cepat pertanyaan yang dia lontarkan. Satu perkataan Sullivan yang sampai saat ini masih terngiang di telinganya.

"Setiap perbuatan pasti ada balasannya. Nyawa dibayar nyawa, Shireen," ucap Sullivan kala itu.

Shireen menghela napas panjang, lalu membuangnya pelan. Matanya masih siaga menatap Sullivan yang baru saja menutupkan tirai. Pertanda pria itu akan tidur, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari menjelang pagi. Shireen ikut menutup tirai motel, lalu membaringkan badannya diatas kasur.

Dalam ruangan tiga kali dua meter itu, dia selalu menghabiskan waktu saat sedang merindukan kedamaian hidupnya dulu bersama Sullivan dan Ghailan. Lima tahun mencari keberadaan Sullivan, takdir mempertemukan mereka kembali di tempat yang sama.

Jakarta, kota yang penuh kenangan dan sejarah bagi Shireen. Sejak bertemu dengan Sullivan, hidupnya banyak berubah. Cara unik pria itu mendidiknya, sangat dia sukai walaupun harus merasakan babak belur. Kadang dia tidak mengerti jalan pikiran Sullivan yang sangat sulit ditebak olehnya.

Shireen membenamkan kepalanya ke bantal berwarna putih. Hatinya penuh harap bahagia, semoga Sullivan mau menemuinya besok di taman tempat biasa mereka berbincang saat suntuk. Shireen segera memejamkan matanya, tak lama dia pun tertidur pulas.

Cuaca siang itu sangat terik, hingga siapapun enggan keluar rumah. Sullivan baru saja tiba di sekolah Alea, di sana sedang berlangsung acara bertemakan ibuku pahlawanku. Sullivan duduk di bangku paling belakang, selesai meeting dengan kliennya. Lantas, dia bergegas menghadiri acara di sekolah Alea, kesayangannya.

Bocah berusia lima tahun itu terlihat ceria, saat menceritakan siapa sosok pahlawan bagi dirinya. Ditangannya, Alea memegang foto Sullivan dan Kanaya yang duduk berdampingan. Dengan lantang bocah itu mengatakan dihadapan semua orang, kalau Sullivan adalah Ayah sekaligus Ibu yang mengurusnya.

Saat selesai menyampaikan ceritanya, riuh gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi aula. Sullivan tersentak kaget, mendengar antusias para orang tua yang memberikan tepuk tangan untuk Alea. Dia pun ikut menepuk tangannya pelan, lalu berdiri melambaikan tangan pada Alea. Bocah itu turun dari panggung, berlari ke arahnya lalu memeluknya mesra.

"Boy, aku kira nggak bakal datang," kata Alea, mulutnya dia majukan ke depan, badannya bergoyang-goyang pelan.

"Mana bisa, boy nggak datang ke acara penting anak cantik ini," sahut Sullivan, membelai rambut bocah kesayangannya.

"Thanks boy, gimana ceritaku. Bagus nggak?" tanya Alea, wajahnya tersenyum semringah nampak harap-harap cemas menunggu reaksi dan komentar pria yang selalu dia panggil boy.

"Emm, mau jujur apa bohong nih," goda Sullivan, sudut bibirnya terangkat sebelah. Alisnya bergerak ke atas dan bawah.

"Boy." Alea mencebik kesal lalu memalingkan wajahnya.

"Hahaha, sini sini," lanjutnya, memegang lengan bocah kecil dihadapannya.

Sullivan turun dari kursi, mensejajarkan posisinya dengan Alea yang berdiri dengan wajah cemberut menggemaskan. Sullivan memandang bocah, dengan bola mata cokelat, juga rambutnya yang setengah ikal. Membuatnya teringat kembali pada Shireen, Sullivan menyunggingkan senyum. Lalu mengambil dagu Alea dan mengangkat wajah bocah tersebut.

"Dengar girls, boy bangga karena kamu sudah berani tampil didepan publik. Tetap pertahankan kepercayaan dirimu, okay," ucap Sullivan, mengacak poni Alea.

"Berarti, bagus donk penampilanku, boy," cetus Alea tersenyum semringah.

"Bagus, girls." Sullivan mengacungkan jempolnya.

"Horeee," teriak Alea berjingkrak kegirangan.

"Mau hadiah apa?" tanya Sullivan.

"Hadiah? Kan, belum diumumkan siapa yang menang."

"Kalah ataupun menang, nggak penting buat boy. Kamu berani tampil saja, boy senang sudah. Jadi, mau hadiah apa?" ulang Sullivan, mengulangi pertanyaannya.

"Main aja," jawab Alea.

"Main? Kemana, girls?"

"Ke taman Bougenville, yang dekat sama tempat kerja boy itu," pinta Alea lagi, wajahnya tersenyum semringah.

Sullivan menelan ludah, napasnya terasa tercekat mendengar permintaan bocah kesayangannya. Sejak pagi di kantor, dia berusaha abai dengan pesan yang dibacanya semalam. Taman Bougenville merupakan tempat favoritnya bersama Shireen.

Melihat Sullivan terdiam melamun, Alea menepuk pipi kanannya. Pria itu tersadar dari pikirannya dan mengiyakan permintaannya. Bocah itu memeluk Sullivan erat, lalu kembali berlari ke belakang panggung menunggu pengumuman pemenang cerita terbaik.

Siapapun dan apapun bisa ditolak oleh Sullivan, namun permintaan Alea tidak bisa dia tolak sedikitpun. Rasa sayang yang tercurah pada bocah itu, membuat Sullivan bertahan hidup. Alea adalah sumber kekuatan, sekaligus kelemahannya. Sullivan menghela napas panjang, hatinya bertanya-tanya. Kenapa Alea memilih taman itu sebagai hadiah.

Di penghujung acara, panitia mengumumkan pemenang cerita. Alea menyabet juara harapan 2, hadiahnya berupa kalung penghargaan dan sebuah bingkisan. Dengan bangga bocah itu mempersembahkan hadiah yang didapatnya pada Sullivan.

Usai acara, mereka pun pulang ke rumah dan beristirahat, saat mengeluarkan ponsel dari sakunya. Gelang pemberian Shireen terjatuh, Alea yang baru saja datang, langsung memungut benda tersebut.

"Bagus boy, beli dimana?" tanya Alea, seraya memakai gelang tersebut yang kebesaran ditangan mungilnya.

"Dikasih orang, kalau mau ambil aja," jawab Sulllivan, matanya sibuk menatap layar ponsel.

"Ciyee, diem-diem unya pacar nih," goda Alea tersenyum mengejek. Pipi gembipnya bocah itu bulatkan saat membunyikan siulan. "Suwiit, suwiit."

"Anak kecil udah sok tahu pacaran," tukas ullivan, tanpa menleh sedikitpun.

"Boy, youre boring man. You know!" tandas Alea, lalu pergi meninggalkan ullivan yang sibuk dengan ponselnya.

***

Sore hari Sullivan menepati janjinya pada Alea, mengantarkan bocah itu bermain di taman Bougenville. Taman yang cukup luas untuk bermain, bukan hanya nyaman untk oanak kecil bermain saja. Karena tersedia area mainan seperti ayunan, perosotan, tanngga berputar dan pasir dibawahnya. Sullivan bernapas lega karena Shireen tidak datang ke taman.

Alea tertawa riang memainkan pasir, sesekali tangannya melambai mengajak Sullivan bermain. Tapi, pria itu memilih duduk saja memperhatikan dirinya. Karena banyak teman sebayanya, Alea tidak terlalu peduli terhadap sikap acuh Sullivan.

"Kalau dia masih hidup, pasti sudah seumuran gadis itu," ujar seorang wanita yang tiba-tiba dudk di sebelahnya.

'Shireen,' ucap batin Sullivan, dia menoleh ke arah kanan. Shireen tersenyum semringah, karena Sullivan mengenali suaranya. Pria itu segera memalingkan wajahnya, pandangannya lurus menatap Alea yang sedang main lempar pasir bersama temannya.

"Nggak usah so jaim gitu, gue tau batin lu manggil nama gue, kan babang," terka Shireen, menelengkan kepalanya menatap Sullivan.

"Ngapain sih kesini, bikin rusak pemandangan aja," ketus Sullivan, wajahnya berubah kecut menampakkan ketidak sukaannya.

"Loh, kok, ngapain. Gue kirim pesan semalam sama lu, lupa yeah Babang," goda Shireen, menggereak-gerakan alisnya.

Sullivan masih bergeming dengan posisinya, dia lupa dengan pesan Shireen yang kertasnya dia buang ke tempat sampah. Dia membetulkan kacamatanya, lalu mengeluarkan kotak rokok dari tas selempang kecil yang selalu ada dipinggangnya. Dengan cepat dia menyalakan rokok, seketika asap putih melambung di udara.

Shireen menutup hidungnya karena sesak menghirup asap rokok, wanita itu menjauhi Sullivan. Sullivan sengaja menghisap rokok kat-kuat, karena pria itu tahu kalau Shireen sangat benci dengan asap rokok. Dibalik kerudung yang menutupi hidungnya, Shireen merutuk kesal.

"Asem, nggak berubah isengnya itu aki-aki. Asli deh gedek banget, dia tau gue benci asap rokok. Makanya sengaja banget itu rokok digituin sama tua bangka," gerutu Shireen. Seolah mendengar yang diucapkannya, Sullivan menoleh lalu tersenyum sinis.

avataravatar
Next chapter