4 Kenangan Kedai Lesehan

"Youre stupid, come on. Wake up!" Sullivan merutuki dirinya sendiri, mendadak ia merasa seperti seorang pengecut yang lari dari dosanya. Selama lima tahun ini, ia terus berlari menghindari Shireen dengan berbagai cara. Rasa takut kehilangan Alea lebih besar mengalahkan dingin hatinya.

Dari jendela kantor ia menatap jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di seberang kantor terlihat motel berbentuk seperti rumah toko, bertingkat sebanyak enam lantai. Biasanya jika ia sedang bekerja, Shireen setia menunggunya di sana. Terkadang, mereka tersambung lewat telepon dan saling memandang dari kejauhan.

Bibir Sullivan tersenyum simpul mengingat kenangan manis itu, sesaat kemudian lenyap dari wajahnya. Walau mempertahankan wajah dinginnya, ia sangat yakin bahwa Shireen sangat mengenalnya. Pria jangkung, berbadan kurus dengan kumis tipis diatas bibirnya, hingga saat ini masih belum bisa melupakan Shireen.

Kemana pun ia pergi, dimana pun ia berada bayang Shireen sulit hilang dari pikirannya. Rasa benci dan rindu berkecamuk jadi satu dalam batinnya, jika ia bukan pria. Mungkin air matanya sudah deras meluncur, merasakan segala keperihan hatinya.

Hari ini ent keberuntungan atau kesialan yang ia dapatkan, setelah lama tidak bertemu dengan wanita itu. Pertemuan tidak sengaja di minimarket tadi, membuka lagi luka lama yang sedang coba ia sembuhkan. Ponsel diatas meja kerja bergetar, Sullivan beranjak menghampirinya dan mengambil benda pipih tersebut.

Tertera dilayar nama Rangga teman dekat, sekaligus pemilik usaha gym yang sedang ia jalankan saat ini. Sullivan tersenyum lalu jempolnya bergerak menggeser layar ponsel. Suara ceria Rangga langsung menggema di dalam ponsel, ia pun terkekeh pelan.

"Bos, lo emang the best deh. Thanks ya, Claudia sekarang jadi milik gue seutuhnya," ucap Rangga, di seberang telepon. Aura bahagia bisa dirasakan oleh Sullivan dari nada bicaranya.

"Youre wellcome, bro. Itu juga berkat usaha lo sendiri, gue mah apa atoh cuma pembantu," sahutnya, sambil terkekeh pelan.

"Ah, lo mah kebiasaan nggak mau di sanjung."

"Jangan berlebihan, gua nggak suka. Lo tahu itu, bro."

"Its oke suhu, maafkan muridmu yang lebay ini."

"Kapan lo balik Jakarta?"

"Dua minggu lagi, kenapa?"

"Nggak apa-apa, gua udah gerah duduk di kursi direktur nih."

"Itu, kan, hak lo juga bro. Kenapa mesti gerah coba."

"Semua di sini milik lo, gua cuma bantuin lo. Oke."

"Ya ya ya, ya udah gue usahain segera balik Jakarta. Sekarang, gue mau happy dulu sama Claudia."

"Ok."

Nada tutt mengakhiri pembicaraan mereka, Sullivan menggelengkan kepalanya. Sudah hampir sebulan Rangga berada di Bali untuk mengejar cinta kekasihnya, Claudia. Hampir setiap hari rekannya itu meminta arahan padanya untuk menaklukkan pujaa hatinya. Walaupun ia sendiri tidak begitu mengerti cinta, atas arahannya Rangga bisa mendapatkan kekasihnya.

Sullivan berjalan keluar ruangan untuk mencari makanan, suasana kantor di lantai dua masih terdengar ramai. Pria itu berjalan setelah keluar dari lift, udara dingin dari penyejuk ruangan seketika terasa mengusap keringatnya. Dia menghampiri Pak Yudi, security kepercayaannya yang sedang bertugas.

Dia berpesan pada ajudannya itu, jika ada yang menanyakannya. Katakan saja sedang keluar sebentar, karena resepsionis kantor sudah pulang sejak sore hari. Setelah menyampaikan pesannya, dia kembali berjalan keluar dari kantor dan mematikan ponselnya.

Entah mengapa hatinya tergelitik untuk mengunjungi kedai lesehan yang ada di samping motel. Dia berdiri sejenak menatap kedai yang tertutup baliho berukuran besar, bergambar lele juga ayam jago bertuliskan pecel lele madiun. Di dalamnya terdengar riuh canda tawa pengunjung, aroma lele goreng juga ayam bakar menguar menusuk indera penciuman.

Saat kakinya hendak masuk ke dalam kedai, dia melangkah mundur dan menjauhi kedai. Kenangan bersama Shireen kembali melintas di pikirannya, Sullivan menghela napas panjang. Berusaha menetralkan pikiran dan perasaannya, dia masih berdiri mematung di luar kedai.

"Om, aku pesan lele goreng aja. Om, sukanya apa?" tanya Shireen saat itu.

Sullivan terkesiap melihat pemandangan di depannya yang seperti nyata, semua bergerak layaknya film yang diputar mundur. Menariknya pada sebuah kenangan yang tak terlupakan.

"Gue ayam bakar aja," jawabnya.

"Jutek amat sih," sungut Shireen, membetulkan anak rambutnya yang menutupi mata.

"Biasa aja."

"Om, lu nggak pernah senyum apa? Dari gue liat lu pertama kali, itu muka lempeng aja banget," goda Shireen.

"Lu belum kenal gue," sahut Sullivan, memalingkan wajahnya.

"Sebentar lagi, akan ku tahu siapa dirimu ki sanak." Shireen bergaya so cool.

Sullivan geli melihat aksinya, namun dia menahan sebuah senyuman yang ingin ia sunggingkan di bibir tipisnya. Dia mengalihkan pandangannya ke luar kedai. Shireen meraih tangan kanannya, wanita muda itu menatap lekat manik mata cokelatnya.

Perbedaan usia diantara mereka yang lebih cocok menjadi ayah dan anaknya. Tidak sedikitpun memperlihatkan kekakuan mereka dalam berbicara. Pembawaan dirinya yang santai, juga Shireen yang sudah tidak canggung padanya. Mengundang perhatian beberapa orang yang ada di sekitar mereka, orang-orang tersebut melemparkan tatapan aneh.

Nada bicara Sullivan yang keras seperti sound system volume tinggi. Juga candaan Shireen yang penuh dengan gombalan manis. Membuat mereka berdua jadi pusat perhatian, tapi keduanya sama sekali tidak peduli dengan keadaan.

"Apaan sih, pegang-pegang. Kagak enak diliatin orang tau!" Sullivan protes, lalu menepis pegangan Shireen.

"Ih, sini, ah." Dengan cepat Shireen menggenggam kembali jemarinya, Sullivan berusaha melepaskan pegangan tangannya. Namun, di kiri kanan meja ada botol saos juga lalapan yang sudah terhidang. Wajahnya berubah kecut, dia berusaha abai dengan tatapan orang yang tersenyum mengejek.

"Shireen, lepas!" Sullivan berbisik, giginya bertaut menahan geram.

"Kalo nggak mau, gimana?" Alis Shireen bergerak-gerak, wajahnya tersenyum tengil.

"Lo tau akibatnya apa, kan?" balas Sullivan, menatap sengit.

"Ah, biasanya ngancam aja," rutuk Shireen, ia pun melepaskan pegangan tangannya.

"Jangan bikin perkara sama gue di tempat umum, ngerti lo!" hardik Sullivan, rahangnya mengeras karena marah pada Shireen. Baru kali ini dia ditertawakan di muka publik.

"Jangan suka marah-marah, cepet tua tau lo nantinya. Pokoknya, aku tidak akan melepaskanmu sampai kapanpun. Karena kita seperti hati dan jantung yang tidak akan pernah terpisahkan, kecuali maut yang memisahkan kita," ucap Shireen, dengan nada manja. Dia menautkan kedua jari telunjuk kiri dan kanan, sehingga membentuk love.

"Sialan, lebay!" tukas Sullivan. Shireen memonyongkan bibirnya, karena kesal wanita itu memasukkan lalapan leunca ke dalam mulutnya. Seketika rasa pahit memenuhi rongga mulut, dia pun kelabakan meminta air.

Seseorang menepuk bahu Sullivan dari belakang, hingga dia tersadar dari lamunannya. Seorang wanita memakai celana hitam panjang, dipadukan dengan blouse berwarna jingga. Kepalanya dibalut dengan hijab segiempat dengan warna senada. Wajahnya tersenyum lebar, saat Sullivan membalikkan badannya.

"Apa kabar Pak bos," sapa wanita itu.

"Zhie, lo di sini?" Sullivan balik bertanya.

"Iya, lagi jalan-jalan. Ngapain bengong, inget sama dia yah," ujar wanita yang dipanggil Zhie.

"Hmm, nggak. Lo lagi ngapain, ada acara?" tanya Sullivan lagi.

"Nggak, suntuk aja jadi pengen jalan bos. Sendirinya ngapain di sini?"

"Mau cari makan," jawabnya, singkat.

"Ya udah, kita makan bareng," ajak Zhie.

"Lets go," sambut Sullivan.

Mereka berjalan menyusuri trotoar kota, Zhiefany adalah mantan asisten manager di kantor sekaligus teman dekat Sullivan. Meski sudah tidak bekerja di kantornya, hubungan mereka masih terjaga cukup baik. Sikap Sullivan yang rendah hati pada karyawannya, membuat semua orang merasa nyaman dengannya.

avataravatar
Next chapter