2 Wanita Yang Diabaikan

Di depan kasir, wajah Sullivan berubah pucat saat menyadari bahwa dompetnya tidak ada di saku belakang celananya. Ia menatap si kecil Alea, yang tengah asyik mengunyah sebatang cokelat, yang belum sempat ia bayar.

Sullivan merogoh semua sudut sakunya, hingga ke saku terkecil di area celananya. Ia berharap menemukan selembar uang, untuk membayar cokelat yang sudah dimakan oleh Alea. Namun, tidak ada satu lembar pun uang tertinggal di sana.

Pria itu mulai merasa panik dan malu, karena berdiri lama di meja kasir. Di belakang ada seorang wanita yang akan membayar belanjaannya. Sullivan bergeser ke samping, mempersilahkan wanita itu bertransaksi duluan. Di dalam saku celananya, ia hanya menemukan dompet kecil berisi surat-surat kendaraan.

"Kenapa?" tanya Alea, mulutnya penuh dengan cokelat yang belepotan.

"Duh, cantik, dompetku ketinggalan nih," jawab Sullivan, mengacak poni bocah dihadapannya.

"Oh, ya udah," sahut Alea, tangan yang belepotan dengan cokelat itu membetulkan poninya.

"Mas, maaf. Dompet saya hilang. Apa bisa saya tinggalkan ini sebagai jaminan, nanti saya segera kembali untuk menebusnya," ujarnya pelan kepada pria muda di meja kasir.

"Mohon maaf, Pak. Saya takut salah. Sebentar ya, saya panggil dulu senior di toko ini," jawab pria muda berwajah seperti oppa oppa korea, yang tidak cocok dengan pekerjaannya saat ini.

"Mas, saya aja yang bayarnya!" Suara seorang dengan logat sunda khas menghentikan langkah Mas Kasir ganteng.

Sullivan dan Mas Kasir serentak menoleh ke arah rak mie instant, yang terletak tidak jauh dari meja kasir. Wanita dengan balutan hijab lebar berwarna tosca, berdiri menyunggingkan senyum pada mereka. Sosok anggun dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, berjalan pelan ke arah meja kasir.

Menatap sosok itu membuat hati Sullivan lemas, tubuhnya seakan rontok seketika. Tulang-tulang terlepas dari tubuhnya, Shireen, wanita yang sudah ia coba lupakan selama lima tahun terakhir. Kini muncul dihadapannya dengan penampilan yang jauh berbeda.

Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan penuh canda tawa. Sekaligus menyisakan luka-luka yang mendalam, juga bahagia yang tiada tara. Sullivan menggendong Alea, lalu berjalan menuju pintu masuk mini market.

"Berapa semuanya Mas?" Wanita itu sudah berdiri didepan meja kasir.

Meski berjarak satu setengah meter, aroma tubuh Shireen yang khas dan familier untuknya. Menguar mengisi rongga penciumannya, Sullivan menarik napas dalam. Pria itu memejamkan matanya sesaat, lalu membuang napasnya kasar. Ia menguatkan hatinya, agar tidak luluh oleh sosok yang pernah ada dalam masa lalunya.

"Dua puluh empat ribu, Ukhti," jawab Mas Kasir sambil tersenyum salah tingkah, melihat kecantikan Shireen.

"Ini lima puluh ribu." Shireen menyodorkan uang selembar berwarna biru.

"Kembaliannya, Ukhti," kata Mas Kasir, menyodorkan tangannya.

"Buat Mas aja," sahut Shireen, sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas bermerk Channel di samping tangan kanannya.

Wanita itu menoleh ke Sullivan yang masih berdiri mematung didekat pintu keluar. Bocah kecil di gendongannya terlihat tetap santai menikmati cokelat yang hanya tinggal setengah. Pria itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah tak berani menatapnya.

Saat itu di minimarket hanya tinggal mereka berdua, tidak ada lagi antrean di meja kasir. Shireen menghampiri mereka berdua, jantung Sullivan berdegup kencang. Saat Shireen semakin dekat dengannya, tangan pria itu mulai gemetar. Sehingga menurunkan Alea dari gendongannya, ia menatap Shireen dan Alea. Mereka seperti dua wanita yang sangat mirip namun berbeda ukuran.

"Assalamualaikum, nama kamu siapa?" Shireen mengelus pipi gembil Alea.

"Alea imut, tante ...." Alea menjawab ceria, bocah cerewet itu sangat suka jika ada yang menyapanya dengan ramah.

"Cantik namanya, mama kamu pasti secantik kamu juga, ya." Shireen mengacak poni Alea, bocah itu mencebik kesal kemudian tertawa kecil.

Sullivan mencoba menggerakkan kakinya yang terasa beku. Ia menggamit tangan mungil Alea dan mengajaknya keluar dari minimarket. Shireen mengikuti langkahnya dengan cepat, mereka pun berhenti diteras minimarket. Lalu duduk di meja bundar yang ada di sana, Alea duduk diatas permainan berbentuk kartun Spongebob dan tertawa semringah.

"Apa kabar, Om Sullivan?" sapa Shireen membuka percakapan mereka. "Tolong, aku ingin bicara, Om," pintanya lembut.

"Bagaimana kabarnya, Om?" ulang Shireen lagi.

"Baik, Shireen," jawab Sullivan datar. Shireen tersenyum tipis mendengar pria itu bicara.

"Memang, tidak pernah berubah," desis Shireen, lalu kembali menatap Sullivan dihadapannya.

"Kamu lagi ngapain di sini?" Sullivan bertanya, ia membuka suaranya.

Shireen memandang Sullivan lekat. Pria itu memberanikan dirinya membalas tatapan Shireen. Mata tajam itu masih sama seperti dulu, penuh kasih sayang, ketulusan, kehangatan. Namun sepi, jauh menelisik ke dalam jiwanya yang hampa. Shireen hampir saja menangis, tapi sesuatu menahannya mengeluarkan air bening dari mata bulatnya.

"Aku hampir gila selama lima tahun ini. Aku selalu berusaha cari Om kemana pun." Suara Shireen sedikit meninggi, seiring emosi yang datang mendadak dalam dadanya.

"Apa peduliku?" jawab Sullivan sekenanya.

"Pasti peduli, Om." Shireen berusaha meyakinkan dirinya.

"Kamu salah, Shireen. Sudahlah jangan banyak berharap lagi." Sullivan membalas tatapan Shireen yang ada dihadapannya. Ia berusaha menunjukkan wajah dinginnya, supaya nampak tidak peduli akan kehadiran wanita itu. Meski hatinya mulai merasakan panas, karena rasa sakit.

"Sekali saja, Om, Shireen mohon ... Apa salah Shireen sebenarnya ...." Shireen mengatupkan kedua tangan, lalu mengangkat ke atas kepalanya.

Jari jemari Sullivan saling merapat gelisah, ia sudah tidak tahan berada dihadapan Shireen. Ia memalingkan wajahnya dari wanita didepannya, lalu memanggil Alea mengajaknya pulang.

"Apa, Boy, lagi asyik main ah. Kok, ngajak pulang sih," protes Alea. Pipinya kembang kempis ia maju mundurkan, menambah gemas siapapun yang melihat.

"Ya sudah, Alea main saja lagi atuh yah. Biarkan Ayahnya ngomong dulu sama tante di sini, oke?" tawar Shireen, sedikit melirik Sullivan yang nampak mulai jengah.

"Hmm, tante bawa buku? Boleh aku pinjam?" tanya Alea, mengulurkan tangan kanannya.

"Oh, ada, tapi teh hanya ada buku catatan kecil. Gimana, atuh?" Shireen memonyongkan bibirnya.

"Nggak apa-apa, aku mau gambar sebentar." Alea kekeh meminta, ia tertawa geli mendengar logat bicara Shireen yang terdengar aneh di telinganya.

"Nah, ini." Shireen menyodorkan sebuah buku catatan dan pulpen. Bocah itu langsung menyimpannya diatas meja, dengan serius ia menggambarkan sebuah rumah.

"Eh, maaf, tante apakah boleh aku buat rumah di sini?" tanya Alea, sambil meneruskan gambarnya.

"Boleh saja, sayang," sahut Shireen seraya menyunggingkan senyum.

Shireen menghela napas panjang, hatinya ragu untuk mengungkapkan pertanyaan yang mengganggu batinnya. Sejak ia melihat Alea di dalam minimarket tadi, wajah dingin Sullivan sudah sangat ia hapal sejak lama.

"Om, kenapa selama ini menghilang?" tanya Shireen.

"Bukan urusanmu, lagipula kenapa harus repot mengurusi kehidupan orang lain. Kamu itu cuma bawa kesialan tau nggak," lirih Sullivan, menelan ludahnya.

"Tapi, saat kejadian terakhir kali di kamar hotel itu. Om itu, kan ...."

"Stop it Shireen!" potong Sullivan gusar. Air mukanya memerah seketika. "Jangan lagi ungkit kejadian di masalalu, paham lo!" ucapnya lagi setengah membentak.

"Please, Om Sulli. Aku di sini bukan ngajak debat, aku cuma mau kita bicara dari hati ke hati," kata Shireen, berusaha menenangkan Sullivan. Ia sangat tahu bagaimana pria dihadapannya ketika emosi.

"Apakah, Alea adalah anakku, Om?" tanya Shireen dengan lantang. Pada akhirnya pertanyaan itu terlontar, karena rasa penasaran yang mendorongnya.

avataravatar
Next chapter