webnovel

Itu Dia... Marven

"Marven." Gumam Tio.

"Siapa ya Marven, bagaimana caranya agar aku bisa tahu tentang laki-laki itu ya?" Lanjut Tio bergumam di dalam kamar rumah yang sengaja disewa oleh Firman untuk mengintai gerak-gerik istrinya selama di rumah.

"Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya Marven itu, dia bukan saudara Nyonya Mayang, dan juga identitasnya sulit sekali di temukan di internet, sungguh misterius. Aku sungguh penasaran."

Tio merebahkan tubuhnya di atas ranjang, lalu tidur dengan pulas.

Sementara Mayang tidak menyadari jika laki-laki yang mengontrak rumah didepannya adalah bodyguard suruhan suaminya.

Setelah pertemuannya dengan Marven siang tadi, kini Ia tidur disamping Zee yang kelelahan karena seharian bermain dengan Marven.

Baru saja ia ingin terlelap, ponselnya berkedip tanda sebuh panggilan masuk ke ponselnya. Mayang melihat sekilas nama sipemanggil ternyata Ia adalah Marven sahabatnya yang juga saudara kembar Maura.

"Ada apa Marven?" Tanya Mayang.

"Hanya ingin menganggu putrid tidur, aku yakin saat ini kau sedang berada di kamarmu, sambil bersiap untuk tidur." Ucap Marven diseberang telpon.

"Dari mana kamu tahu?" Tanya Mayang sambil tersenyum.

"Aku sudah hafal semua kebiasaanmu asal kamu tahu."

"Sejak kapan?"

"Sejak kau menolak cintaku dulu." Ujar Marven sambil tersenyum sedangkan Mayang terkekeh mendengar bualan Marven.

"Kamu gila Marven, aku bisa digantung Lani waktu itu jika sampai aku menerima kekonyolanmu."

"Ya, Lani sangat mencintaiku, waktu itu tidak untuk saat ini." Ucap Marven lalu menarik nafas panjang.

"Jangan begitu, aku yakin sebenarnya kalian masih saling mencintai hanya saja., kalian berdua sama-sama egois, tak mau mengalah satu dengan yang lain."

"Aku sudah tidak memperdulikannya, Mayang. Sekarang aku hanya ingin peduli padamu."

"Apa sih kamu, Marven."

"Ingin sekali aku menyuruhmu bercerai dengan Firman lalu menikah denganku. Tapi aku tahu dimana batasanku, aku tak mungkin melakukan itu, karena aku tahu kamu sama seperti aku dan Lani, sama-sama masih mencintai."

"Tadi kamu bilang, sudah tak peduli dengan Lani, kenapa bilang jika kau masih mencintainya?" Tanya Mayang sambil tersenyum walau tak terlihat oleh Marven.

"Kau benar sekali, ahhhh aku jadi malu, untuk kesekian kalinya kau memergokiku berdusta." Ujar Marven lalu tertawa terbahak.

"Kau dan Maura sama saja, tak kan mampu menyembunyikan sesuatu pun dariku."

"Kau benar Mayang, harusnya kau menikah dengankum, dengan begitu rahasia hidupku aman."

"Apa kau pikir sekarang rahasiamu sudah terancam?"

"Aku selalu was-was jika rahasia menyangkut diriku terbongkar."

"Maka kau harus memperlakukanku dengan baik, maka rahasiamju aman."

"Kau sedang mengancamku?" Tanya Marven.

"Anngap saja seperti itu Tuan CEO."

"Oya, bagaimana tawaranku, kau maukan ikut lomba memasak?"

"Aku masih memikirkannya."

"Ini kesempatan yang baik untuk membuktikan bakat memasakmu, jika kau menang namamu akan terkenal ke seantero negeri, maka kau bisa menyebut dirimu layak untuk Firman, bukan kah itu yang kamu inginkan, menjadi perempuan yang layak, walau aku tahu dengan benar jika Firman tak akan memperdulikan statusmu."

"Tapi itu penting untukku, Marven. Aku harus menjadi perempuan yang pantas bersanding dengannya."

"kau sudah pantas berdampingan dengannya, maka temuilah dia, aku yakin dia sangat merindukannmua."

"aku ingin menemuinya, tapi bukan sekarang, Marven."

"Kau keras kepala Mayang,"

"Ya, itulah aku, tapi aku memang harus membuat diriku pantas bersanding dengannya, karena pelakor diluar sana lebih keren dari para istri."

"Nah, kamu tahu banyak pelakor, tapi kamu sendiri malah tak memperdulikan Firman yang terang-terangan masih sangat mencintaimu,"

"Kau tak akan mengerti, Marven."

"Aku mengerti, Mayang. Tapi kau yang tak bisa mengerti diriku."

"Apa lagi sih Marven?" Tanya Mayang mulai jengah.

"Aku mencintaimu, dan ingin menikah denganmum tapi kau tak pernah percaya denganku."

"Mulai lagi." Gerutu Mayang, sedangkan Marven disebrang telpon hanya tersenyum simpul. Sungguh ia mengatakan yang sebenarnya pada Mayang, tapi justru Mayang tidak mempercayainya.

Mereka bersahabat sejak kecil lalu setelah lulus high scool, mereka berpisah. Maura dan Marven hidup dan bersekolah diluar negeri sedangkan Ia harus rela bersekolah di negaranya sendiri.

"Oya, kapan pernikahan Maura? Tadi aku lupa menanyakannya padamu." Tanya Mayang.

"Satu bulanan lagi."

"Oke, aku harus menyiapkan gaun untuki ke tempat resepsi Maura."

"Kamu tak perlu repot aku sudah menyiapkannya untukmu dan Zee."

"Ehh…"

"Kenapa?"

"Tidak. Harusnya kamu tak perlu repot-repot untuk itu semua, aku bisa mempersiapkannya sendiri."

"Kamu dan Zee adalah bagian dari keluargaku, aku tak mungkin membiarkan dirimu kesulitan dengan mencari gaunmu sendiri, kau, aku mama dan Zee. Semua sudah aku atur sedemikian rupa."

"Aku tak ingin kau terlibat masalah lagi dengan Lani."

"Pernikahan Maura, akan dilakukan di privat islan, jadi tak akan ada berita yang menyebar diluar sana."

"Tapi Lani kan tunanganmu, mana mungkin kalian tak mengundangnya."

"Itu dulu, sekarang kami sudah masing-masing, percayalah padaku Mayang."

"Aku percaya padamu, tapi Lani…"

"Dia tak akan melakukan apapun padamu, karena dia tak mengetahui dimana kau berada."

"Mungkin saja, ada penguntit yang mengikutimu datang menemuiku."

"Yang ada Firman yang menguntitmu, bukan Lani."

"Firman lagi…"

"Dia suamimu, punya hak untuk itu, sayang."

"Baiklah, terserah padamu saja, aku sudah ngantuk, aku mau tidur sekarang."

"Oke, selamat malam putrid tidur, mimpi kan aku…"

"Mimpi buruk…"

Terdengar tawa lebar di seberang telpon sebelum Mayang mematikan telponnya. Mayang meletakkan ponselnya diatas nakas, lalu tidur dengan lelap hingga pagi menjelang.

Marven menatap foto Mayang saat mereka berjalan-jalan dengan Zee tadi siang, bibirnya melengkung ke atas, jemarinya meraba wajah Mayang dan Zee.

"Mayang, kau hanya akan menjadi seorang sahabat dan juga adik untukku, begitu juga denganku, aku hanya akan menjadi seorang kakak untuk mu. Walau sejujurnya rasa sayang ku padamu melebihi itu semua, tapi kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, kau hanya tersenyum dan bahagia jika bersama dengan Firman. Aku akan membantumu bertemu dengan orang yang kamu cintai. Aku berjanji padamu demi Zee."

Marven terus memandangi foto Mayang, hingga Ia pun terlelap dan akhirnya tertidur begitu saja tanpa mematikan ponsel atau menaruh ponselnya di tempat yang benar.

Ditempat lainpun Firman melakukan hal yang sama dengan apa yang Marven lakukan, menatap wajah Mayang dan Zee melalui layar ponselnya, membelai kedua wajah itu dengan jemarinya lalu mencium kedua wajah itu dan mendekapnya di dada.

"Selamat malam, sayang. Selamat Malam jagoan papa." Gumam Firman, lalu terlelap dengan nyaman di kasur kingsizenya.

Cinta itu kamu yang membuat hati berdebar bahagia, cinta itu kamu yang membuat hati selalu bergelora, cinta itu kamu yang membawa jiwa dan ragaku ke surga.

Next chapter