1 Menikahlah!

"Bisakah sehari saja, kamu mengosongkan waktu untuk menemaniku," pinta Dirga kepada Amelia istrinya.

"Tidak bisa, Mas. Kamu tau sendiri jadwalku padat, banyak rapat yang harus aku ikuti," tolak Amelia dengan argumentasi yang sama setiap Dirga memintanya menemani ke jamuan makan malam atau acara yang mengundang Dirga sebagai tamu kehormatan.

"Seandainya aku tau, tak akan aku biarkan kamu mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, apa gunanya kamu mengurusi semua orang, sedangkan aku sendiri suamimu tak bisa kamu urusi!" sesal Dirga.

"Mas, sudahlah, jangan ngaco kayak gitu dong, kamu tau sendiri, dari dulu aku pingin terjun ke dunia politik, kamu tau obsesi aku ini, sekarang setelah ini terwujud, apa kamu tidak senang? Mengertilah!"

"Aku mengerti, tapi aku berhak, minta sedikit saja waktumu untukku, aku suamimu, aku punya hak terhadap dirimu!" tekan Dirga, dia secara tidak langsung mengatakan posisi dirinya terhadap Amelia.

"Sudahlah, aku tak ingin ribut, sudah berkali-kali aku katakan, jika Mas, mau istri yang menurut dan seharian waktunya di gunakan untuk melayani semua keperluan Mas, maka menikahlah! Aku tak keberatan," ucap Amelia.

Dirga menggeleng kasar, dia rasanya ingin melemparkan hape yang dia pegang ke wajah istrinya, karena jengkel dengan perkataan Amelia.

"Aku kan sudah bilang, aku tak butuh istri lain, aku maunya kamu, aku hanya mencintai kamu, aku butuh istri aku, istri aku!" ucap Dirga berulang kali.

"Kalau begitu, maka terimalah, aku hanya bisa menemanimu, jika jadwalku sedang kosong, kalau Mas tak bisa terima, menikahlah!" ulang Amelia, wajah cantik wanita itu tersenyum, dia puas hari ini karena dia kembali memenangkan adu mulut yang hampir tiap saat terjadi.

"Hah!" Dirga membuang napas kasar. "Baiklah, jangan salahkan aku jika aku harus membagi hatiku, kamu yang memintanya," ucap Dirga lagi, lalu pergi meninggalkan Amelia.

Amel tetap melanjutkan riasan yang sempat terjeda, karena Dirga yang tiba-tiba meminta dirinya, untuk menemani ke acara yang di adakan oleh kampus tempat suaminya mengajar.

Dia sama sekali tak terpengaruh dengan perkataan Dirga, karena sejak dua tahun yang lalu, dia selalu mengucapkan ancaman yang sama dan tak pernah terbukti sampai sekarang.

*****

Dirga menyugar rambutnya, pikirannya kalut, setiap bertengkar dengan Amel, dia selalu kalah, entah mengapa lelaki itu terlalu lemah, mungkin karena dia terlalu mencintai wanita yang sudah lima tahun dia nikahi.

"Kenapa lagi sih, pak Dosen tampan? Istri nggak bisa nemenin lagi?" tanya Furqan, teman sesama dosen dan juga sahabat Dirga, lelaki itu memang tau semua masalah rumah tangga Dirga, bukan karena Dirga yang tak pandai menjaga rahasia, hanya saja rumah mereka yang berdampingan dan istri Furqan merupakan teman baik Amel, jadi bisa di pastikan, setiap curhatan wanita itu akan sampai kepada suaminya melalui perantara Furqan, untung saja dia bukan lelaki bermulut lemas, sehingga bisa dipastikan rahasia Dirga aman.

"Entahlah, setiap aku memintanya, dia tak pernah bisa, apa susahnya sih, mengosongkan waktu sejam dua jam untuk menemaniku," curhat Dirga.

"Sabar, cuma lima tahun, sebentar lagi masa jabatannya akan berakhir dan dia akan kembali menjadi ibu rumah tangga seperti yang kamu inginkan," hibur Furqan, beruntung Dirga memiliki teman sebaik dia, yang tak pernah menjadi kompor di setiap masalah temannya.

"Semoga saja, karena aku sudah mendengar kabar kalau partai tempatnya bernaung, memintanya untuk mencalonkan diri menjadi walikota di pemilihan nanti."

Furqan menggeleng, tak tau harus berkata apa, dalam hati merasa bersyukur, walaupun istrinya juga seorang yang sibuk, tapi tetap bisa meluangkan waktunya jika Furqan memintanya.

"Sudahlah, tak usah dipikirkan, ayo, sebaiknya kita berangkat, aku juga tak di temani istri, dia sedang ke rumah mamanya, siapa tau di tempat acara nanti, kamu bertemu calon bidadarimu berikutnya," seloroh Furqan.

"Aamiin," ucap Dirga.

Walaupun keduanya hanya bercanda, tapi tak ada yang tau rencana Allah kepada makhluknya.

Hari ini adalah peresmian sebuah kampus swasta yang bekerjasama dengan kampus negeri tempat Dirga menjadi dosen tetap.

Dia yang merupakan Dekan di Fakultas Ilmu Kesehatan, tentu mendapatkan undangan. Bukan hanya dia, semua Dekan juga di undang, bahkan ada beberapa tamu penting dari luar yang juga mendapatkan undangan.

Setelah acara formal selesai, semua tamu undangan di persilahkan menikmati jamuan makan yang di sediakan oleh pihak penyelenggara acara, Furqan dan Dirga mengambil makanan di meja prasmanan.

"Astaghfirullah!" ucap seorang gadis dengan lirih, dia tak sengaja menumpahkan air kuah, sehingga mengotori meja prasmanan.

Dirga yang tepat berada di samping gadis itu, hanya menoleh sesaat, sebelum dia kembali fokus mengambil lauk yang terlihat menggoda selera. Dia duduk di meja VIP bersama beberapa rekan sesama Dekan.

Dirga mengedarkan pandangan mencari Furqan, dia tak nyaman makan di tempat tersebut, semua serius dengan pembahasan yang dia tak suka. Wajahnya tersenyum, ketika melihat sahabatnya itu sedang duduk di sebuah meja dan terlihat serius berbicara dengan seorang lelaki yang memakai jubah dan surban.

Lelaki itu memutuskan untuk pindah ke tempat sahabatnya itu, melihat Dirga datang, Furqan memperkenalkan kepada lelaki yang berjubah dan bersurban, yang ternyata pemilik sebuah pondok pesantren di kota mereka.

Ketiganya terlibat pembicaraan yang serius tapi santai, entah kenapa Dirga merasa nyaman berbicara dengan Kiyai Ridwan, saat sedang asyik berbicara mengenai penggalangan dana, gadis yang tadi mengambil makanan bersama Dirga muncul dan duduk di samping Kiyai tersebut, tak lama kemudian seorang lelaki yang Dirga tak kenal ikut duduk di kursi yang masih kosong.

Nampak wajah gadis itu terlihat kesal, setelah kedatangan lelaki yang bernama Irfan.

Kiyai Ridwan melihat perubahan wajah gadis itu, dia memegang tangan gadis tersebut, lalu membisikkan sesuatu, tak lama gadis itu bangkit dan pindah duduk di samping Dirga.

Dirga bisa melihat jelas sosok gadis yang sedang duduk di sampingnya, gadis itu mengambil sebotol air mineral, lalu membukanya.

"Alhamdulillah," ucapnya ketika selesai meneguk minuman langsung dari botolnya.

"Astaghfirullah," lirih gadis itu lagi, ketika tak sengaja botol yang dia pegang tertumpah, sehingga membasahi baju yang dia pakai.

"Kek, aku ke mobil saja, pakaianku basah, tidak enak di lihat orang," pamit gadis itu, dia sedikit berbisik di telinga Kiyai Ridwan. Tapi, masih bisa di dengar oleh Dirga

Kiyai tersebut mengangguk tanpa berkata apapun, gadis itu bangkit meninggalkan mereka yang masih duduk di meja tersebut.

Lelaki yang duduk di samping Kiyai Ridwan, terus memandang gadis itu hingga pergi.

"Ikbal, jaga pandanganmu, dia itu cucuku dan bukan muhrim mu!" Tegas Kiyai Ridwan kepada lelaki yang bernama Ikbal.

"I— ya, Kiyai." Setelah mengatakan hal tersebut, Ikbal permisi meninggalkan tempat itu.

Dirga kembali menikmati makanannya, namun fokusnya kembali terusik ketika mendengar obrolan antara Kiyai Ridwan dan Furqan.

"Dia itu cucuku namanya Aisyah, anak dari Imran, pemilik yayasan ini." Dirga mendengar informasi yang di sampaikan oleh Kiyai Ridwan, dia sama sekali tak tertarik dengan gadis itu. Sehingga dia terus saja melanjutkan makan, tanpa mau ikut bergabung dengan obrolan mereka.

"MasyaAllah, anaknya cantik dan kalem yah, sudah menikah?" tanya Furqan.

Kiyai Ridwan hanya tersenyum, sejenak terdiam lalu berkata.

"Alhamdulillah, dia permata kedua orangtuanya. Sayangnya, dia belum menentukan pilihan, padahal sudah banyak yang datang untuk meminangnya."

"Alasannya? Saya pikir dia sudah cukup umur untuk menikah," ucap Furqan, menimpali perkataan Kiyai Ridwan.

"Wallahu a'lam bish-shawab," jawab Kiyai Ridwan, matanya menerawang, entah sedang memikirkan apa.

"Apa ada kriteria khusus untuk meminang cucu Kiyai?" tanya Furqan, sedikit hati-hati.

"Tak ada, yang penting Soleh, shalat lima waktu dan bertanggungjawab, serta anaknya setuju," jawab Kiyai Ridwan.

Hening sejenak, tak ada obrolan lagi.

"Apa Nak Furqan berniat mengkhitbah cucu saya?" tanya Kiyai Ridwan kemudian.

"Oh, bukan saya Kiyai. Tapi, teman saya ini," jawab Furqan cepat, lalu menepuk pundak Dirga.

Lelaki itu mematung, tak tau harus bereaksi apa, atas kejahilan temannya.

"MasyaAllah, kalau memang serius, silahkan datang ke pondok, bicara langsung dengan abahnya Aisyah." Dirga dan Furqan saling berpandangan mendengar jawaban dari Kiyai Ridwan.

Lelaki paruh baya itu menatap Dirga, seolah meminta jawaban, Furqan diam-diam mencubit paha sahabatnya itu.

"I— nsya, InsyaAllah, Kiyai," jawab Dirga akhirnya, walaupun sedikit terbata karena terkejut.

Setelah itu tak ada lagi obrolan, Kiyai Ridwan pamit pulang lebih dulu, karena ada jadwal mengisi kajian di tempat lain.

"Abah, tunggu yah Nak!"

*****

avataravatar
Next chapter