2 Mendapat Restu

"Ga, Dirga! Kok main pergi aja sih! Nggak nungguin aku?"

Furqan berlari mengejar Dirga yang sudah lebih dulu ke mobil, wajah lelaki itu terlipat tujuh.

"DR. Dirgantara, SKM, M.Kes., tunggu! Kayak cewek aja, ngambekan!" Lagi-lagi, Furqan berteriak, dia tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang mengarah kepada tingkah mereka.

Dirga, merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci mobil, dia menekan kunci otomatis, agar pintu mobilnya tidak terkunci.

Dia membuka pintu dan masuk, Dirga memperbaiki posisinya, lalu menutup pintu, memasang sabuk pengaman.

Furqon segera masuk di pintu sebelah, untuk penumpang.

"Ga, kamu kok marah sih, aku kan cuma bercanda, jangan di masukin ke dalam hati," mohon Furqan, dia sedikit menyesal, karena sudah mengerjai temannya dengan sangat keterlaluan.

Dia menggoyangkan lengan Dirga yang memegang stir mobil.

"Diam, nggak! Atau aku turunin di sini."

Firqan menutup mulutnya, dia tak lagi berani berkata-kata, Dirga melirik Furqan lalu mulai menyalakan stop kontak, terdengar bunyi mesin yang sangat halus, kakinya menginjak kopling, dan tangannya mulai memasukkan persneling, perlahan Dirga menjalank mobil.

"Ga, aku minta maaf, aku cuma bercanda!" Furqan kembali membuka mulutnya. Mendengar suara lelaki itu, Dirga segera memberi tanda sent kiri, agar mobil yang dari arah belakang tidak waspada.

Mobil berhenti, di pinggir jalan, Dirga mematikan mesin mobil, lalu memiringkan sedikit duduknya, Dia menatap Furqan dengan pandangan tak bersahabat.

"Bercanda boleh, tapi lihat tempat, sikon dan orang yang kamu ajak bercanda. Dia itu pemuka agama, lagian tidak baik bercanda dengan membawa pernikahan, apa kamu tidak tau, kalau Kiyai Ridwan itu adalah ulama terkemuka, sudah pasti amalannya banyak. Bisa jadi dia sedang di kelilingi malaikat dan percakapan kalian di catatan." Dirga terlihat kesal, dia berbicara dengan suara tinggi.

"Aku tidak berpikir kesitu," sesal Furqan,dia mengetuk-ngetuk dashboard, berusaha menghalau perasaan bersalahnya.

"Kamu dengar sendiri kan? Kiyai Ridwan menuggu kita, terus kamu mau ingkar janji begitu?" tanya Dirga, dia kembali mengusap wajahnya dengan kesal, dia marah dengan sahabatnya.

"Kalau dia menunggu, kita harus datang," jawab Furqan enteng.

"Woiiii, dengar yah Pak Furqan, SKM, M.Kes, calon doktor. Dia nunggu kita buat lamar cucunya, bukan buat kajian, atau menuntut ilmu, sadar nggak sih, kamu?"

Dirga mengepalkan tinjunya, dia rasanya ingin menonjok kepala sahabatnya itu.

"Siapa bilang kita mau datang kajian, sudah jelas kita akan datang untuk melamar Aisyah buat kamu!" jawab Furqan, seperti tak ada beban.

Plak

Dirga benar-benar memukul kepala Furqan, walaupun tak terlalu keras, lelaki itu meringis kesakitan.

"Kamu tau aku sudah menikah, tidak mungkin ada orang tua yang rela anaknya di madu," ucap Dirga.

"Kamu yah, apa tadi nggak denger, syaratnya yang penting anaknya mau, menjalankan shalat lima waktu. Aku nggak dengar syaratnya harus perjaka, duda atau beristri."

Plak

Dirga kembali memukul kepala Furqan, dia tak mengerti bagaimana bisa sahabatnya itu, mau menjerumuskan dirinya ke dalam neraka.

"Sudahlah, aku malas membahas masalah ini, awas saja kalau sampai ini berlanjut," ancam Dirga.

"Kamu ini, kamu inget yah, tidak ada yang tidak mungkin, kalau Allah berkehendak, jangan kan dua istri, tiga atau empat, pasti bisa kalau Allah menghendaki."

Dirga menggeleng, tak ada gunanya dia meladeni orang seperti Furqan, seandainya saja dia tidak berteman sejak dari bangku kuliah. Pasti Dirga sudah memutuskan hubungan sebagai teman dan penasehat pribadinya.

Dia kembali melajukan mobilnya, rasanya dia ingin segera berpisah dengan makhluk yang sedari tadi membuat kepalanya ingin pecah.

***

Dirga masuk kedalam rumah, dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Dia sangat lelah, setelah sepanjang jalan harus mendengar nasehat dan ide gila dari mulut sahabatnya.

Sepertinya dia butuh mandi, pijat dan tidur, agar tubuhnya kembali fit. Dia melirik jam di tangannya, hari sudah sore, sepertinya waktu masih cukup untuk meminta istrinya memijit nya sebentar, sebelum dia mandi.

Dirga bangkit dan melangkah ke kamar, terdengar suara gemericik air dari kamar mandi, wajah Dirga tersenyum, dia membuka dasi yang sedari tadi masih melekat di lehernya.

Tak berapa lama, nampak Amel keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk yang menutupi dada sampai paha.

Dirga meneguk salivanya yang terasa kering, melihat tubuh putih, mulus dan terawat milik istrinya, membuat hasrat kelelakiannya muncul. Memang, sudah agak lama mereka tidak memadu kasih.

Tatapan mata Dirga terlihat begitu mendamba, lelaki itu mendekati Amel, berniat untuk mengutarakan keinginannya.

Tangannya terulur untuk meraih pinggang Amel, namun wanita itu mengelak, dia memutar badannya, mendekat ke lemari dan mengeluarkan pakaian.

Dirga mengikuti istrinya, dia memeluk pinggang ramping Amel.

"Ish, jangan peluk-peluk, kamu bau keringat!" ucap Amel, dia mengedikkan bahu, agar Dirga tak menyentuhnya.

Lelaki itu terdiam, dia tak menyangka akan penolakan Amel, bahkan dia merasa heran dengan pernyataan wanita itu, karena setahunya, pas awal menikah, Amel paling suka mencium bau keringatnya. Bahkan, sering sekali, Amel akan tidur di bawah ketiak Dirga, karena rindu akan bau lelaki yang telah menjadi suaminya itu.

Amel melangkah meninggalkan Dirga, dia bahkan sempat menyenggol bahu lelaki tersebut.

"Aku mau ke Jogja, ada kunjungan kerja ke sana." Amel berkata sambil memakai pakaian.

"Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Dirga, lelaki itu terlihat keberatan.

"Kegiatannya mendadak, aku di minta menggantikan ketua partai tempatku bernaung," ucap Amel santai. Kali ini dia mulai memoles wajahnya dengan skincare terkenal, yang membuat wajahnya semakin glowing.

"Aku tidak mengijinkan kamu pergi!" seru Dirga.

"Aku bukan meminta ijin, aku memberitahu kamu, Mas!" balas Amel santai, bahkan untuk berbalik menatap ke arah Dirga saja dia tak mau.

"Kamu Istriku, kamu harus ikut apa kataku."

"Mas, aku bukan lagi anak kecil, yang harus kamu larang, suami istri itu harus saling support, bukan malah mengekang kayak gini!" Amarah Amel, tiba-tiba saja pecah, dia bahkan menghentakkan lipstik yang baru saja akan dia pakai.

"Aku mengekangmu? Apa kamu tidak salah? Kamu tidak akan seperti ini, jika aku tidak menggunakan powerku sebagai Dekan untuk memenangkanmu. Kamu tau betapa ribu mahasiswa yang aku ancam untuk memilihmu, jika tidak nilai mereka akan eror. Lalu seenaknya kamu mengatakan kalau aku tak mendukungmu? Memang, kamu sudah tak waras!" Dirga meluapkan kekesalannya, dia tak terima di tuduh tak mendukung karir Amel.

"Jadi kamu mulai perhitungan sama aku, Mas?" tanya Amel, dia kini bangkit, lalu menghadap nke arah Dirga, wanita itu melipat tangan di dada dan menatap tajam ke arah suaminya.

"Aku tidak perhitungan, aku mengingatkan kamu, lagian ingat posisi mu, kamu istri, aku suamimu. Jadi, aku yang harus kamu utamakan, bukan kerjaan," jawab Dirga.

"Aku sudah menjadi istri yang setia, apa itu kurang?" tanya Amel.

"Aku memang membutuhkan istri yang setia, tapi itu tidak cukup, aku juga membutuhkan istri yang selalu ada buat aku, memperhatikan aku, mengikuti kemauanku dan memuaskan hasratku ketika ku inginkan!"

Amel membuang napas kasar, dia melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, benda berwarna gold dengan taburan berlian di atasnya, menunjukkan angka Romawi enam, sebentar lagi dia akan di jemput oleh rombongan yang akan membawa dirinya ke bandara.

Tak ingin terus berdebat, Amel berbalik, lalu menarik laci meja riasnya. Dia mengeluarkan sebuah kertas HVS kosong dan menulis sesuatu di atasnya. Setelah itu dia memberikan kertas tersebut ke tangan Dirga.

Dia lalu mendorong tubuh suaminya menjauh dan dia berjalan mengambil koper yang telah di sediakan, sampai di depan pintu kamar, dia berbalik dan berkata.

"Menikahlah, aku sudah memberimu restu!"

avataravatar
Next chapter