3 Melamar

Dirga memandang tak percaya apa yang telah di katakan oleh Amel, dia lebih tak percaya ketika dia melihat tulisan di kertas putih yang tadi di berikan oleh Amel adalah surat pernyataan, yang mengatakan kalau dia setuju jika Dirga menikah lagi dan tak akan menuntut lelaki tersebut.

Dirga meremas surat itu, lalu melemparnya ke sembarang arah, dia mengacak rambutnya, wajahnya memerah menahan amarah, juga menahan hasrat yang bergejolak.

Dia benci di posisi ini, terlintas dalam benaknya untuk ke tempat prostitusi, mencari wanita yang bisa dia sewa semalam untuk menunaikan tuntutan hasrat yang tak tersalurkan.

Dirga mulai membuka kancing bajunya satu persatu, tujuannya kali ini adalah diskotik, dia ingin mencari suasana baru.

Saat sedang mengambil baju dalam lemari, terdengar suara adzan dari mesjid kompleks, tangan Dirga yang awalnya bergerak mencari baju kaos, malah menarik baju koko yang terlipat.

Hatinya terenyuh mendengar suara adzan tersebut. Seumur hidup dia tidak pernah ke tempat hiburan malam, entah setan apa yang merasukinya sehingga berniat ke sana.

Dia segera memakai pakaian dan bergegas ke mesjid kompleks, dia ingin segera memohon ampun, atas apa yang baru saja dia hendak lakukan.

Setelah sholat, Dirga melakukan sholat taubat, lalu shalat istikharah meminta petunjuk atas rumah tangganya, dia duduk berdoa begitu lama, hingga tanpa terasa waktu isya telah masuk.

Sepulang dari mesjid, Dirga memasuki rumah dengan mengucap salam, namun tak ada yang menyahut, karena di rumah hanya mereka berdua. Bibik Jum yang menjadi asisten rumah tangga, di beri rumah di belakang rumah tersebut, Bibik Jum hanya ada di siang hari atau jika di panggil.

Dirga melepas kopiah yang dia pakai, lalu membuka baju dan di gantungnya di belakang pintu, dia segera turun untuk makan malam. Dirga memiliki penyakit lambung, sehingga dia tak boleh terlambat makan.

Seperti biasa, Dirga makan sendiri di ruang makan, kalau biasanya dia akan makan dengan lahap, berbeda dengan kali ini, dia hanya menyuap makannya dua sendok, lalu meminum air putih dan susu, lalu kembali ke kamarnya.

Hati Dirga sedang tidak baik-baik saja, dia masih marah atas kelakuan istrinya. Lelaki itu menaiki tempat tidur, berniat untuk tidur lebih awal, agar bisa menghalau hasrat yang masih terus mendesak.

Baru saja akan menutup mata, pandangan Dirga tertuju ke hapenya yang sedang berkedip, menandakan bada notifikasi yang masuk.

"Mungkin dari Amel," batinnya. Dia mengurungkan diri untuk tidur, lalu mengambil hape dan membuka notifikasi, ternyata chat dari Furqan.

[Jadi, kapan kita ke rumah Kiyai Ridwan]

Dirga membuang hapenya ke kasur, dia tak habis pikir, kenapa Furqan tak menyerah juga untuk memintanya menikah, sama halnya dengan Amel.

Mengingat Amel, membuat mata Dirga tertuju pada seonggok kertas yang tadi di remas dan di lemparnya.

Dia bangkit dan meraih kertas tersebut, emosinya naik ketika kembali membaca surat tersebut.

"Baiklah, kamu yang meminta, maka akan ku kabulkan permintaan mu," ucap Dirga, dengan tatapan penuh kebencian.

Dia kembali mendekati tempat tidur, mengambil hape dan menekan nomor Furqan, beberapa detik berlalu, panggilannya tersambung.

Baru saja Furqan memberi salam, Dirga langusung berkata.

"Bersiaplah, sekarang juga kita kerumah Kiyai Ridwan!"

Tanpa menunggu jawaban dari Furqan, lelaki itu mematikan telpon, lalu beranjak ke kamar mandi, mengambil wudhu dan kembali melaksanakan shalat istikharah, seperti waktu dia akan melamar Amel, setelah lima belas menit dia selesai berdoa, tak ada yang berubah, niatnya masih tetap ingin ke rumah Kiyai Ridwan.

Dia kembali mengganti baju tidurnya dengan baju kemeja putih dan celana kain berwarna hitam, tak lupa dompet, kartu identitas dia bawa.

Saat akan keluar kamar, dia berbalik dan segera mengambil sesuatu dari lemari, setelah itu dia berlalu meninggalkan rumah tersebut.

Dirga mengarahkan mobilnya ke rumah Furqab yang merupakan tetangganya, setelah di depan pagar, dia memencet klakson, tak lama menunggu, Furqan muncul dengan pakaian resmi, lengkap dengan songkok pamiring, khas Makassar, tempat kelahiran lelaki tersebut.

Selama di dalam mobil, tak ada percakapan yang berarti, karena sebelum berangkat Dirga sudah meminta Furqan agar tak bertanya atau berbicara sesuatu kepadanya, dia hanya harus menunjukkan arah ke rumah Kiyai Ridwan.

Mau tidak mau, Furqan menuruti kemauan sahabatnya itu, setelah menempuh perjalanan lima belas menit, mereka melewati sebuah taman tempat biasanya Dirga dan Amel menghabiskan malam Minggu bersama ketika mereka masih berpacaran.

Mata Dirga menangkap sosok dua sejoli yang sedang duduk di kursi taman.

Bruk.

Kepala Furqan terantuk dashboard, ketika Dirga mengerem mendadak, untung saja jalanan sedang sepi, sehingga tak terjadi kecelakaan.

Dirga kembali menjalankan mobil, namun kini berbalik arah, Furqan yang melihatnya terlihat bingung.

"Hei, katanya kamu mau ke rumah Kiyai Ridwan, kok berbalik?" tanya Furqan.

Dirga tak menjawab, dia fokus menyetir, Furqan menyentak lengan Dirga.

"Hey! Kamu mau kemana?" tanya Furqan dengan sedikit nada emosi.

Dirga berbalik menatap Furqan, lalu kembali menatap kedepan, dia meminggirkan mobil, lalu menghentikan mobil tersebut.

"Kamu mau kemana?" tanya Furqan lagi, kali ini kedua alis lelaki itu terangkat, ketika bertanya.

"Aku ingin pulang," jawab Dirga jujur.

"Jadi, kamu nggak jadi ke rumah Kiyai Ridwan?"

Dirga terdiam dengan pertanyaan Furqan, hatinya sebenarnya masih mau kesana, namun pikirannya mengatakan jangan, kasihan istrinya, kalau dia tau Dirga menikah, pasti hatinya akan hancur dan dia pasti akan menangis, hal itu yang tak sanggup Dirga lihat dari Amel.

"Hallo, ada orang?" tanya Furqan, karena sudah beberapa menit berlalu Dirga tak juga menjawab.

"Aku bingung," ucap Dirga, dia menghembuskan napas putus asa.

"Ok, aku nggak mau maksa kamu, itu semua tergantung sama kamu, kalau kamu mau seumur hidup menghabiskan malammu memeluk bantal guling, makan malam sendiri dan ke acara penting sendiri, maka ayo, kita pulang. Tapi, kalau kamu ingin suasana yang baru, maka ayo kita ke rumah Kiyai Ridwan."

Dirga menatap Furqan, dia melihat kalau sahabatnya memang serius.

"Satu lagi, aku cuma mau bilang, kalau di kampung kami, jika sudah niat, apalagi sudah di tengah jalan pantang untuk pulang!" seru Furqan, nada suaranya seperti memberi semangat para prajurit yang akan pergi berperang.

"Bismillah!" ucap Dirga, dia menatap Furqan sekali lagi, sahabatnya mengangguk yakin.

Mobil kembali berputar arah kembali ke tujuan awal, kini yang mengemudikan mobil adalah Furqan, lelaki itu meminta bergantian, karena takut Dirga akan berubah pikiran lagi.

***

Dirga mengusap dahinya yang sedari tadi berkeringat, di depannya kini telah duduk tiga orang, Kiyai Ridwan, Pak Imran, Bu Hafidzah istri dari pak Imran.

Furqan sedang berbicara, menyampaikan maksud kedatangan mereka. Ketiganya mendengarkan secara serius.

Setelah mendengar penuturan Furqan, ketiganya beralih menatap Dirga, Pak Imran terlihat memperhatikan Dirga dengan teliti.

"Apa benar yang di sampaikan oleh saudara Furqan, Nak Dirga?" tanya Kiyai Ridwan.

Dirga yang mendengar pertanyaan Kiyai Ridwan mengangguk, sambil berkata.

"Benar Kiyai."

"Ehem, kalau boleh tanya, di lihat dari umur, seharusnya Anda sudah menikah, kenapa Anda belum menikah? Atau Kenapa Anda bercerai?" Tiba-tiba istri pak Imran mengajukan pertanyaan kepada Dirga.

Lelaki itu tersentak, dia kaget, pertanyaan yang sebenarnya dia takuti adalah pertanyaan yang membicarakan status nya, kini di bingung haruskah dia menjawab jujur atau berbohong.

Tentu jawabannya nanti akan menentukan presentasi dia di terima atau di tolak. Furqan menginjak kaki Dirga, sebagai kode agar dia segera menjawab.

Dirga memandang kearah ketiga nya lalu menjawab dengan terbata.

"Sa— ya, sa— ya, b— ."

avataravatar
Next chapter