10 Bab Sepuluh

Sinar matahari yang masuk lewat sela-sela tirai jendela kamar Amy, membuat Amy mengernyit. Ia membuka matanya lalu melirik jam beker yang ia letakkan di meja di samping tempat tidurnya. Sudah jam delapan pagi. Oh, astaga. Ia hanya tidur selama lima jam.

Amy beringsut ke ujung ranjang tidurnya lalu menyeret kedua kakinya menuju kamar mandi. Ia mencuci muka di wastafel kemudian memandang bayangan dirinya di cermin.

Salah satu kejutan yang diberikan New York untukku adalah bertemu denganmu.

Kalimat itu terus-menerus mengiang di telinga Amy dan membuatnya tidak bisa tidur. Dan lagi, Amy menghabiskan waktu semalam suntuk memikirkan siapa wanita yang berada dalam foto yang ia temukan di kamar Kai. Kemudian isi pikirannya melantur sampai ke pernyataan Kai yang mengatakan kalau ia sudah berpisah dengan kekasihnya.

Amy bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang membuat Kai berpisah dengan kekasihnya? Dan kenapa pula pria itu harus menyimpan foto kekasihnya jika ia sudah berpisah dengannya? Apa foto yang Amy temukan di kamar Kai bukanlah foto kekasihnya, melainkan kakak perempuannya? Tapi, itu tidak mungkin. Amy ingat Kai pernah memberitahunya kalau Kai adalah anak tunggal.

Amy mendengus lalu membilas wajahnya sekali lagi. Lehernya kaku dan kedua matanya masih terasa berat. Amy yakin otaknya tidak berhenti berpikir selama ia tidur.

Aroma pancake dan mentega tiba-tiba menggelitik indera penciumannya. Mrs. Lewis pasti sedang membuat sarapan di bawah, pancake dan waffles. Ia yakin sebentar lagi salah satu bocah dari Lewis Bersaudara akan menggedor pintunya dan mengajaknya untuk sarapan bersama. Amy tersenyum. Sebaiknya sebelum itu terjadi, Amy harus segera turun terlebih dulu. Kebetulan perutnya pun sudah membunyikan alarm tanda kelaparan.

* * *

"Selamat pagi, Mrs Lewis." Amy menyapa Mrs. Lewis yang sedang meletakkan piring-piring di atas meja makan sambil tersenyum.

"Oh, halo, Amy. Selamat pagi. Selamat hari Minggu."

"Di mana Jesse, Jonathan dan Jeremy?" tanya Amy ketika melihat ruang makan tidak dipenuhi oleh siapapun kecuali mereka berdua.

Mrs. Lewis duduk di salah satu bangku makan lalu meletakkan sepotong pancake pada piringnya. "Mereka semua masih tidur. Jesse baru pulang dari pertandingan football jam 12 malam kemarin dan adik-adiknya bergadang bermain playstation hingga subuh. Dasar anak-anak. Mereka tidak tahu betapa pentingnya tidur itu untuk kesehatan mereka."

Amy tersenyum lebar lalu mengangguk-angguk kecil. Seandainya Mrs. Lewis tahu, ia juga memiliki masalah jam tidur kemarin malam. Ia pasti akan disamakan dengan para Three Musketeers.

Amy baru saja hendak duduk di salah satu bangku makan saat Mrs. Lewis tiba-tiba menyeletuk, "Ngomong-ngomong, apa Kai sudah bangun? Kau tidak mengajaknya untuk sarapan?"

Amy mengerjap. "Ah, ya. Aku lupa mengajaknya untuk sarapan bersama."

"Baiklah. Kau panggil Kai turun dan aku akan membangunkan anak-anak," sahut Mrs. Lewis lalu bangkit dari tempat duduknya dan melesat menuju kamar anak-anaknya.

Amy menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya angkat kaki menuju apartemen Kai.

* * *

Kai masih terbaring di ranjang tidurnya ketika ia mendengar suara ketukan di pintu depan apartemennya. Ia bangkit dari tempat tidurnya kemudian berjalan keluar kamar. Kemudian langkah Kai terhenti di ruang duduk. Ia mencengkeram ujung sofa ruang duduk dengan sekuat tenaga, berusaha menahan dirinya agar tidak jatuh akibat gelombang rasa sakit yang menyerang kepalanya.

Sejak ia meninggalkan apartemen Amy kemarin malam, Kai merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak dapat bergerak. Ia berusaha tidur agar merasa lebih baik, namun usahanya gagal. Semakin lama ia mencoba untuk tidur, suhu tubuhnya terasa semakin panas. Lalu, lama-kelamaan sebelah lubang hidungnya tersumbat dan ia tidak dapat bernapas normal. Dalam hitungan kurang dari 24 jam, Kai terserang flu.

Kai memaksa dirinya berjalan lalu membukakan pintu. Walaupun ia merasakan seluruh benda di sekitarnya berputar-putar, tapi Kai bisa melihat Amy berdiri di depan pintunya dengan jelas. Dan pemandangan itu membuat Kai tersenyum. "Hai, Amy."

"Selamat pagi. Kau... baik-baik saja?" sapa Amy dengan suara pelan bercampur bingung.

"Aku tidak yakin," gumam Kai sambil menyandarkan kepalanya pada sudut pintu. "Sepertinya aku terkena flu karena kehujanan kemarin."

"Oh, ya ampun." Amy mengangkat kedua alisnya kaget. Sedetik kemudian, gadis itu mendaratkan sebelah tangannya pada dahi Kai. "Oh, Tuhan. Badanmu benar-benar panas. Apa kau sudah minum obat?"

Tangan Amy benar-benar lembut. Namun entah kenapa terasa sangat dingin di dahinya. "Belum. Aku tidak sanggup kemana-mana," jawab Kai. "Dan aku juga tidak memiliki kekuatan untuk berjalan ke apartemenmu untuk meminta tolong."

"Kau seharusnya meneleponku," kata Amy dengan nada cemas sambil menarik tangannya. "Sekarang kau harus istirahat. Ayo, kembali ke kamarmu." Gadis itu menarik lengannya pelan, menggiringnya menuju kamarnya kemudian membuatnya kembali berbaring di tempat tidur. Setelah merungkupnya dengan selimut, gadis itu menyahut, "Aku akan mengambilkan obat dan membuatkan makanan. Tugasmu hanya menurutiku dan tidur saja di sini. Mengerti?"

"Kau tidak perlu repot-,"

"Mengerti atau tidak?"

Kai tersenyum tipis lalu mengangguk. "Aku mengerti, Ms. Hirata."

Kai dapat melihat gadis itu tersenyum samar sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamarnya dan berderap keluar apartemen.

Sepeninggal Amy dari kamarnya, Kai menutup mata dan mencoba untuk kembali tidur. Namun matanya kembali terbuka saat ia mendengar suara panci yang jatuh disusul dengan suara pekikan. Tidak lama setelah itu, terdengar suara Amy yang berseru dari ruang dapur, "Jangan khawatir! Pancinya baik-baik saja! Kembalilah tidur!"

Amy Hirata benar-benar gadis yang penuh kejutan. Gadis itu bisa membuatnya tertawa seharian kalau ia mau. Dan itu membuat Kai merasa bahagia. Ia senang ia tidak perlu memikirkan hal-hal yang harus ia lupakan. Kehadiran Amy membuatnya bisa melihat dunia dengan cara yang baru; cara yang lebih menyenangkan.

Kai tersenyum pada dirinya sendiri ketika ia samar-samar mendengar suara Amy bersenandung kecil di dapur. Kemudian, lama-kelamaan kedua matanya tertutup dan semuanya berubah gelap.

* * *

Kai terjaga dari tidurnya. Ia mengerutkan kening ketika membuka kedua matanya. Jendela kamarnya sudah gelap. Kai kemudian berpaling ke arah jam dinding. Sudah jam enam sore. Oh, astaga. Ia tidur lama sekali.

Kai turun dari ranjangnya lalu mengecek keadaan tubuhnya. Kepalanya masih terasa agak pusing. Tubuhnya pun masih hangat. Namun ia sudah tidak merasakan nyeri dan ia sudah sanggup berjalan. Syukurlah. Ia pikir ia harus terus menerus berbaring di tempat tidur selama berhari-hari.

Kai berjalan menuju pintu kamarnya dan baru hendak membuka pintu ketika ia mendengar suara Amy sedang berbicara dengan seseorang. Sepertinya gadis itu sedang menerima telepon.

"Ya. Pekerjaanku baik-baik saja, Dad. Bagaimana kabar Mom?... Kau harus menjaga kesehatanmu, Dad. Jangan terlalu sering bepergian."

Jeda sejenak. Apa Amy sudah selesai menelepon?

"Kabar?" Terdengar suara Amy menyahut lagi. "Tidak, belum. Aku belum mendapat kabar apapun dari rumah sakit... Ya, baiklah. Beritahu aku kalau Dad mendapatkan kabar apapun... Ya, aku akan menjaga diriku baik-baik."

Kai mengerutkan keningnya samar. Rumah sakit? Menjaga diri baik-baik?

"Apa? Kau mau mengenalkanku pada seseorang? Kenalan Dad?... Tidak, tidak. Dad, kau tahu kalau dari dulu aku tidak suka dikenalkan pada siapapun... Tidak perlu, Dad. Lagipula, aku sudah bertemu seseorang di sini."

Kai mendapati dirinya menegang ketika mendengar kalimat terakhir Amy. Seseorang? Apakah seseorang yang dimaksud Amy adalah Aaron Hale?

"Sungguh! Aku tidak berbohong... Well, dia... pria yang baik, perhatian, sopan dan menurutku dia pria yang sabar, karena dia bisa menangani kemarahanku."

Oh, gadis itu sedang memuji-muji pangerannya. Dan Kai sedang tidak ingin mendengar lebih tentang pria itu. Kepalanya sudah cukup pusing. Akhirnya Kai membuka pintu dan melangkah keluar.

"Dia sama sepertimu, Dad. Dia orang...," Amy yang sedang duduk di sofa ruang duduk langsung menghentikan ucapannya ketika melihat Kai menghampirinya. Ia kemudian bangkit berdiri. "Dad, aku akan meneleponmu lagi nanti... Love you too."

Kai menghempaskan tubuh di sofa panjang di samping Amy lalu tersenyum. "Maaf, aku menginterupsi."

"Tidak apa-apa," ujar Amy sambil tersenyum kikuk. Wajah gadis itu sedikit memerah. "Kau lebih baik meminta maaf karena sudah meninggalkanku terlalu lama."

"Maaf karena sudah membuatmu menunggu terlalu lama," Kai mengoreksi.

Amy tertawa kecil lalu menegakkan badan seperti baru saja teringat sesuatu. Kemudian gadis itu melesat ke dapur dan kembali dengan sebuah mangkuk yang mengeluarkan uap panas. "Waktunya makan. Aku sendiri yang membuat ini. Sebenarnya bubur ini sudah matang sejak 6 jam yang lalu, tapi karena kau tak kunjung bangun, aku harus memanaskannya sekitar tiga kali sampai sekarang. Kuharap rasanya masih enak." Amy duduk di samping Kai lalu meletakkan mangkuk berisi bubur buatannya di atas meja pendek di depan sofa.

Amy kemudian mengulurkan sebuah sendok pada Kai. Kai melirik sendok tersebut lalu tersenyum sungkan. "Terima kasih banyak, Amy. Kau tahu, sebenarnya kau tidak perlu repot-repot."

"Aku akan sangat kerepotan kalau kau tidak membiarkanku melakukan ini. Sekarang, makan."

"Kau terdengar seperti ibuku sekarang."

Amy tertawa lalu duduk bersila, memperhatikan Kai dengan cara yang sama seperti seorang gadis kecil melongok ke dalam sebuah toko boneka yang menjual mainan kesukaannya. "Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?"

Kai mulai menyantap bubur buatan Amy lalu mengangguk. "Jauh lebih baik," jawab Kai dengan suara parau. "Dan kurasa itu semua karena kau."

Amy tersenyum kikuk. "Aku hanya mencoba membantu."

"Apakah aku membuatmu bosan selama aku tidur?" tanya Kai.

"Hmm, tidak juga." Amy mengendikkan bahu sambil mencibir. "Aku membersihkan dapurmu, mengisi kulkasmu, menggunakan DVD playermu untuk menonton serial drama Korea lalu membuat bubur."

"Oh. Kau bahkan mengisi kulkasku," kata Kai sambil setengah menyemburkan tawa. "Aku tidak pernah sempat mengisi kulkasku. Kau selalu mengajakku makan bersama, jadi sepertinya lemari pendingin itu kehilangan fungsinya."

"Kalau begitu, mulai sekarang kita akan belanja seminggu sekali untuk mengisi kulkas masing-masing. Ide yang bagus, bukan?"

Kai berhenti mengunyah lalu berpaling pada Amy yang tersenyum padanya. "Itu ide yang bagus," sahutnya lalu kembali memaksakan diri untuk makan.

Amy memiringkan kepala, lalu menggigit bibir. Sepertinya ini saat yang bagus untuk menanyakan apa yang sudah menghantuinya semalam. Amy berdeham. "Kemarin, saat aku mengambil pakaian untukmu... aku tidak sengaja menemukan foto seseorang di atas ranjang tidurmu."

Kai tidak bereaksi.

Amy menambahkan, "Wanita itu... siapa?"

Kai terdiam sejenak lalu berpaling pada Amy. "Dia tunanganku."

Amy mengerjap kaget. Tunangan?

"Namanya Kyoko," tambah Kai. "Dia adalah wanita yang seharusnya menikah denganku. Tapi, dia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil satu tahun yang lalu."

Kedua mata Amy melebar kaget. Punggungnya menegang dan ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan saat ini selain, "Maafkan aku, Kai. Aku tidak bermaksud...,"

"Tidak apa-apa. Kejadiannya sudah lama." Kai memaksakan seulas senyum lalu menunduk menatap mangkuk buburnya. "Lagipula, orang yang seharusnya meminta maaf adalah aku. Aku yang telah membuat kami berdua mengalami kecelakaan malam itu.

"Waktu itu, aku mendapatkan panggilan kerja mendadak di Kyoto dan klienku mengharuskanku untuk berangkat malam itu juga. Kyoko memberitahuku untuk tidak pergi, tapi aku tetap memutuskan untuk pergi malam itu. Akhirnya dia mengantarku ke stasiun menggunakan taksi dan dalam perjalanan ke sana, taksi yang kami tumpangi menabrak sebuah truk oleng.

"Teman-temanku memberitahuku kalau aku mengalami koma selama satu bulan setelah kecelakaan itu. Dan ketika aku sadar, aku dikejutkan oleh kabar yang mengatakan kalau Kyoko sudah meninggal." Kai masih tersenyum samar, namun Amy dapat melihat pandangan mata Kai mulai tidak fokus. "Seandainya waktu itu aku tidak pergi, seandainya waktu itu aku menuruti ucapan Kyoko, seandainya kami tidak menumpangi taksi itu... mungkin segalanya akan berbeda sekarang."

Amy menunduk ke arah lantai lalu bergeming.

Ternyata seperti itu cerita di balik foto wanita itu. Amy yakin Kai masih belum bisa melupakan wanita itu sepenuhnya. Dan Amy juga yakin kalau kejadian itu membuat Kai benar-benar terpuruk cukup lama. Amy salut pada kegigihan Kai. Orang-orang lain yang mengalami kejadian seperti yang dialami Kai pasti akan terperangkap dalam penyesalan yang panjang. Tapi Kai tidak. Pria itu memilih untuk berdiri lagi dan melanjutkan hidupnya.

Merasa harus mengatakan sesuatu, Amy akhirnya berkata, "Aku yakin tunanganmu sangat senang melihatmu dari atas sana."

Kai mengangguk ringan lalu tersenyum pada Amy. "Aku yakin begitu."

Suasana berubah hening dan canggung. Amy merasa bersalah karena dialah yang telah mengubahnya. Merasa harus bertanggung-jawab, Amy akhirnya mengalihkan pembicaraan, "Kulihat kau menikmati bubur buatanku. Ternyata kemampuan memasakku tidak meragukan."

Kai tersenyum dan berpaling pada Amy. "Masakanmu mampu membangkitkan selera makanku. Ini benar-benar ajaib."

"Well, thank you."

"Karena kau sudah merawatku dengan baik hari ini, aku merasa harus membalas kebaikanmu."

Kedua mata Amy berbinar. "Benarkah? Dengan cara apa?"

Kai mengangguk. "Cara yang selalu membuat semua gadis merasa senang."

"Apa itu?"

"Berkencan."

Amy tersenyum lebar kemudian merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Astaga. Sejak kapan Kai bisa membuatnya merasa seperti ini hanya dengan mengucapkan satu kata saja? Setahunya, selama ini satu-satunya pria yang bisa membuatnya merasa seperti ini hanya Aaron Hale. Ternyata ia salah.

Amy kemudian memaksakan diri untuk mengucapkan sesuatu, "Baiklah. Aku akan menagih janjimu itu ketika kau sudah sembuh nanti."

"Aku berjanji."

Amy mencondongkan tubuh lalu mengacungkan jari kelingkingnya pada Kai. "Janji?"

Kai memandang jari kelingking Amy yang mungil lalu tertawa. "Tidak, aku tidak melakukannya seperti itu."

Amy mengerutkan kening tidak mengerti. "Oh? Bukankah semua orang selalu mengaitkan kelingkingnya jika mau membuat janji?"

"Semua, kecuali aku." Kai meletakkan mangkuk buburnya di atas meja lalu duduk bersila menghadap Amy. "Aku melakukannya seperti ini." Kai mengangkat kedua tangannya ke arah wajah Amy kemudian memberikan cubitan ringan di kedua sisi pipi Amy lalu tersenyum. "Aku berjanji."

Amy menahan napas. Oh, tidak. Pipinya memanas. Ia harap Kai tidak bisa merasakannya.

Kai menarik kedua tangannya, dan barulah Amy bisa kembali bernapas. Tidak mau terlihat aneh, Amy menyeletuk, "Ha-habiskan buburmu kalau kau mau aku tidur dengan tenang malam ini."

Kai terkekeh lalu mengambil kembali mangkuk buburnya. "Baiklah, Ms. Hirata. Your wish is my command."

Oh, astaga. Ini tidak beres. Mantra yang selalu digunakan oleh Aaron Hale untuk membuatnya tidak bisa bernapas kini berpindah tangan ke pria lain. Dan pria itu adalah tetangganya sendiri, Kai Yunokawa.

avataravatar
Next chapter