9 Bab Sembilan

Kai keluar dari taksi yang ia tumpangi lalu berlari menuju gedung apartemen Mrs. Lewis sambil menudungi kepala dengan tangannya. Kai terpaksa pulang menggunakan taksi karena Eijiro tidak dapat mengantarnya pulang. Pria itu memiliki urusan mendadak dan harus buru-buru pergi, akhirnya Kai mencegat taksi di pinggir jalan Times Square dan hampir basah kuyup karena hujan yang tiba-tiba turun sangat deras.

Jaket serta kemejanya sudah setengah basah, dan ia harus buru-buru menghangatkan diri kalau tidak mau dirinya terkena flu. Ia benar-benar sensitif dengan flu.

Kai berlari menaiki tangga menuju apartemennya lalu menghentikan langkahnya ketika ia berpapasan dengan Amy yang baru saja hendak turun tangga. Hal pertama yang disadari Kai begitu ia melihat Amy adalah: gadis itu sedang murung. Wajahnya tertekuk dan dagunya berkerut. Mungkinkah ia penyebabnya?

"Hai, Amy." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Kai. Gadis itu hanya memandang Kai dengan alis berkerut. Kemudian Kai mengangkat sebelah tangannya dan melambaikannya perlahan ketika Amy tidak menjawab. "Kau baik-baik saja?"

Amy meniup dahinya. "Kau baik-baik saja?" Amy mengulang pertanyaan Kai dengan nada yang sama. "Apa maksudmu?"

Baiklah. Sekarang Kai yakin ialah penyebab gadis itu murung.

"Memangnya aku terlihat seperti seseorang yang sedang tidak baik-baik saja?" Amy mulai bertanya dengan nada tinggi. Ia menuruni anak tangga hingga berdiri berhadapan dengan Kai lalu melipat tangan di dada. "Ke mana saja kau? Kenapa kau tidak meneleponku sama sekali? Jadi ternyata kau tipe orang yang seperti ini, ya? Jika sudah mempunyai banyak teman, kau akan melupakan yang lama dan sibuk dengan yang baru? Begitukah?"

"Ponselku mati sejak tadi pagi," jawab Kai polos. Ia lalu mengeluarkan ponselnya yang sudah lembab terkena air hujan dan menunjukkannya pada Amy. "Lihat. Aku lupa mengisi baterai ponselku."

Amy mengamati ponsel milik Kai dengan tatapan terusik. "Kau bisa menggunakan ponsel temanmu untuk menghubungiku."

"Aku tidak meminjam ponsel temanku karena aku tidak ingin menghubungimu."

Kali ini kedua mata Amy melotot dan kerutan di dagunya bertambah dua kali lipat.

Sebelum gadis itu salah paham, Kai buru-buru menambahkan, "Aku tidak ingin menghubungimu karena aku tidak ingin mengganggu acaramu dengan pacarmu. Kau bilang kau akan menonton berdua dengannya jadi... aku tidak ingin menjadi pengganggu."

"Kau tidak pernah menjadi pengganggu, Kai! Dan dia bukan pacarku!"

Kai mengerjap kaget kemudian mulai merasakan sekujur tubuhnya menggigil. "Apakah kau mengijinkanku untuk masuk sebentar sebelum kau kembali marah padaku? Aku kedinginan."

Amy menegakkan badannya kemudian baru menyadari apa yang terjadi dengan Kai. "Oh, astaga. Kau kehujanan! Kau harus mandi air panas. Masuklah ke apartemenku. Akan kubuatkan cokelat panas. Ayo."

Amy menarik tangan Kai dan memaksanya berjalan masuk ke apartemennya. Apartemen Amy hampir sama dengan miliknya; memiliki satu ruang duduk yang sempit, dua kamar yang terletak bersampingan, sebuah dapur kecil di dekat pintu masuk dan juga satu kamar mandi. Semua letak ruangannya tampak sama. Hanya saja, apartemen Amy terlihat jauh lebih rapih ketimbang miliknya.

Ketika sudah masuk, gadis itu buru-buru mengambilkan handuk dan memberikannya pada Kai. "Ini. Cepat masuk kamar mandi. Aku akan menyalakan penghangat. Panggil aku kalau kau membutuhkan sesuatu."

Kai menerima handuk putih yang diberikan oleh Amy kemudian tersenyum kecil. Amy benar-benar gadis yang unik. Di satu detik ia bisa marah besar seperti seorang induk itik yang kehilangan anaknya namun di detik berikutnya, ia bisa berubah sangat baik seperti seorang ibu.

"Jangan berdiri saja! Cepat masuk!" omel Amy.

Kai mengangguk kemudian memasuki kamar mandi Amy yang terletak di seberang dapur, tidak menyadari kalau ia melupakan sesuatu.

* * *

Sambil menggerutu dalam hati, Amy menuangkan cokelat panas buatannya ke dalam segelas cangkir. Ia tidak percaya Kai bisa berpikir seperti itu. Bagaimana mungkin pria itu berpikir kalau dia akan mengganggu kencannya bersama Aaron hanya dengan menghubunginya? Apakah dia tidak tahu kalau dengan tidak menghubunginya sama sekali, pria itu justru mengganggu acaranya bersama Aaron?

Lihat saja apa yang sudah Kai lakukan padanya hari ini. Pria itu sudah membuatnya tidak bisa mengobrol jelas dengan Aaron, membuatnya tidak fokus menonton film yang ditayangkan di bioskop dan tidak bisa menikmati semua yang ia lakukan bersama Aaron. Dan itu semua terjadi karena ia harus mengecek ponselnya 12 kali setiap tiga menit!

Oh, terkutuklah ponsel Kai Yunokawa dan pengisi baterainya!

"Amy?"

Amy melonjak kaget ketika ia mendengar suara Kai yang berat menggaung di seluruh ruang apartemennya berpadu dengan suara hujan yang berisik. Menyadari kalau suara tersebut berasal dari kamar mandi, Amy buru-buru menghampiri suara tersebut. Ia terbelalak kaget begitu melihat Kai menyembunyikan tubuhnya di balik tembok dan memunculkan hanya wajahnya di ambang pintu yang setengah terbuka.

"Ada... apa?" tanya Amy dengan kikuk.

"Aku... lupa, aku tidak membawa pakaian ganti."

"Oh, kau mau aku mengambilkannya untukmu?"

"Apakah akan merepotkan bagimu?"

Amy terkekeh. "Kau akan merepotkanku kalau kau keluar dari sana dan mengambilnya sendiri. Berikan kuncinya."

"Masuk saja ke kamarku dan ambil pakaian manapun yang kau suka. Jadilah perancang busanaku," sahut Kai sambil mengulurkan kunci dengan sebelah tangan.

"Aku berbakat dalam hal itu. Tunggu di sini." Amy mengambil kunci yang diulurkan oleh Kai lalu berjalan keluar menuju apartemen Kai.

Kamar Kai pasti terletak di sebelah ruang duduk. Amy memasuki kamar pertama dari kiri lalu tersenyum senang saat menyadari tebakannya benar.

Wah, kamar Kai ternyata cukup bersih untuk ukuran kamar pria. Tempat tidurnya tertata dengan rapi dan lantainya tak berdebu. Amy bisa menilai kalau Kai adalah orang yang tertib. Namun ia ingin tertawa ketika membayangkan pria itu membereskan seisi apartemen sendirian. Pasti lucu.

Amy tidak membuang waktu lebih lama lalu buru-buru menghampiri lemari pakaian Kai. Ia memilah-milih pakaian yang cocok dikenakan bagi pria itu lalu menutup kembali lemari pakaian Kai. Amy sudah setengah jalan keluar kamar ketika ia tidak sengaja melihat sebuah foto –tergeletak di atas meja pendek di samping tempat tidur Kai– yang membuatnya berhenti berjalan. Sebuah foto seorang perempuan.

Amy mendekati foto tersebut kemudian mengamatinya. Wanita dalam foto itu sungguh-sungguh terlihat seperti wanita Jepang pada umunya; berambut panjang, memiliki sepasang mata lebar dan bulat serta berhidung mancung. Wanita itu tersenyum dengan sangat manis ke arah kamera dan senyuman itu membuat Amy tanpa sadar ikut tersenyum.

Siapa wanita ini? Kenapa fotonya tergeletak di atas tempat tidur Kai? Apakah wanita ini... kekasih Kai Yunokawa? Kalau ya, kenapa pria itu tidak pernah memberitahunya?

Amy mengenyahkan dugaannya kemudian buru-buru keluar dari kamar ketika ia sadar ia tidak seharusnya berlama-lama di dalam kamar Kai. Amy benar-benar ingin tahu siapa wanita itu tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menebak-nebak. Kai sedang mengurung dirinya di dalam kamar mandi dan pria itu pasti kedinginan. Amy bergegas keluar dari apartemen Kai dan kembali ke apartemennya.

* * *

"Jadi kau pergi ke Queens," ujar Amy sambil duduk di hadapan Kai di meja makan bundarnya yang kecil. "Lalu kenapa kau lupa mengisi baterai ponselmu?"

Kai menyeruput cokelat panas buatan Amy dan mendekap cangkir kecil tersebut dengan kedua tangannya. "Aku bangun kesiangan dan lupa mengisinya kemarin malam," jawab Kai. "Apa kau mencoba menghubungiku?"

"Tidak juga," celetuk Amy cepat. "Tapi... aku menunggu."

"Menunggu? Telepon dariku?" Kai bertanya dengan alis terangkat. Senyumnya perlahan-lahan mengambang.

"Aku takut sesuatu terjadi padamu!" bela Amy."Dan kau juga tahu kalau aku adalah tetangga yang bertanggung-jawab atasmu. Jadi kalau kau benar-benar tersesat atau terluka atau... yang lainnya, akulah orang pertama yang disalahkan."

Kai menundukkan kepala memandang cangkir cokelat panasnya. "Kau tidak perlu khawatir. Sebentar lagi aku akan menguasai Manhattan dan kau tidak perlu lagi mencemaskanku ataupun memberikanku tumpangan."

Amy terdiam. Kenapa kalimat itu tidak terdengar menyenangkan di telinganya?

"Ngomong-ngomong, bagaimana harimu, Amy?" tanya Kai tiba-tiba.

"Hmm, cukup menyenangkan," gumam Amy sambil mengaduk-aduk cokelat panasnya. Ia tidak bisa menceritakan semua keluhannya pada Kai, bukan? Akhirnya Amy balik bertanya, "Bagaimana denganmu, Kai?"

Kai memiringkan kepala lalu berkata, "Menyenangkan. Aku pergi ke pameran lukisan, bertemu orang-orang baru dan lukisan yang aneh. Makan siang di restoran Meksiko, makan malam di restoran Itali. Hari ini adalah pertama kalinya bagiku menginjakkan kaki di Queens."

"Queens adalah tempatku dibesarkan," celetuk Amy, mengalihkan pembicaraan.

Kai mengerjap. "Oh, ya?"

"Mm-hmm."

"Pasti menyenangkan bisa tinggal di tempat mengagumkan seperti Queens."

Amy mengangkat bahu. "Kau juga. Pasti menyenangkan bisa tinggal di Jepang. Beritahu aku tentang tempat asalmu, Kai. Tempat yang sebenarnya juga menjadi tempat asalku."

"Hmm, dari sudut pandangku, Jepang bukan negara yang istimewa." Kai menarik diri dan bersandar pada punggung kursi. "Sibuk seperti Manhattan, tapi penuh kejutan."

"Penuh kejutan? Apakah salah satunya adalah pacarmu?" tanya Amy. Ia tidak dapat membendung rasa ingin tahunya yang muncul sejak ia melihat foto wanita tadi di kamar Kai. Dan jika Amy sudah penasaran, ia harus tahu jawabannya sesegera mungkin.

Kai tertawa. "Salah satunya, ya," ujar Kai. "Dan bagaimana kami berpisah adalah salah satu kejutan yang diberikan Jepang."

Amy menegakkan tubuhnya. "Berpisah?"

"Akan kuceritakan lain kali," kata Kai lalu menegak habis cokelat panasnya yang sudah hampir mendingin. Kemudian ia bangkit berdiri. "Sekarang sudah malam. Kau harus tidur."

Kai membereskan pakaian kotornya yang basah kemudian berjalan ke pintu apartemen Amy. Amy mengikuti Kai dari belakang kemudian membukakan pintu bagi Kai.

"Terima kasih atas air panas dan cokelat panasnya, Amy. Cokelat panas buatanmu benar-benar enak," sahut Kai begitu ia keluar dari apartemen Amy.

"Tidak perlu berterima-kasih. Itulah gunanya teman, bukan?"

Kai tersenyum lalu berjalan menuju pintu apartemennya. Ia membuka pintu lalu kembali berputar menghadap Amy. "Kau tahu, sepertinya New York pun memberikan banyak kejutan untukku. Kejutan yang lebih baik dari Jepang."

Amy hanya memandang Kai tidak mengerti.

"Salah satu kejutan yang diberikan New York untukku adalah bertemu denganmu," tambah Kai sambil tersenyum samar. "Selamat malam, Amy."

avataravatar
Next chapter