6 Bab Enam

Hari Jumat seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi semua orang yang bekerja seperti Amy. Tentu saja. Semua orang menantikan hari Jumat, bukan? Tapi, rasa menyenangkan itu entah kenapa tidak membuat Amy merasa senang sedikit pun.

Sejak mengerjakan beberapa pekerjaannya yang tertinggal, Amy merasa harinya menyebalkan. Ia harus mengulas hasil tulisan artikel penulis lepas baru dan menyusun beberapa gambar yang tidak pas. Ditambah lagi, ia harus bertukar kritik dengan Alison karena hasil editannya belum memenuhi apa yang diinginkan Alison.

Alison adalah orang yang perfeksionis. Ia selalu menginginkan segala sesuatu berjalan dengan baik dan sempurna. Karena itu, jika Alison melihat ada yang tidak sesuai dengan seleranya, wanita berumur 33 tahun itu pasti akan segera meminta semuanya diubah. Sampai segalanya persis seperti yang ia inginkan. Dan kadang-kadang, sikap Alison itu merepotkan Amy.

Oh, hari ini benar-benar kacau. Ia ingin buru-buru pulang dan tidur selama mungkin. Ia bahkan tidak berselera makan. Ia benar-benar butuh tidur.

"Amy?"

Seseorang tiba-tiba memanggil namanya dari ambang pintu ruang kerjanya. Amy mengangkat wajah lalu mengerjap ketika melihat Sharon Cole masuk ke ruangannya.

Amy menghela napas berat. Ia melihat Sharon dengan tatapan lesu. "Ada perubahan lagi?"

Sharon menggeleng dan tersenyum. "Tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu kalau hasil editan yang terakhir adalah hasil final. Tidak akan ada perubahan lagi."

Amy hanya bergumam sambil mendesah.

"Oh, dan aku mau memberikan ini," Sharon tiba-tiba meletakkan sesuatu di atas meja kerjanya. Sebuah undangan berukuran tebal dengan dominasi warna krem pucat dan emas. Amy membelalakkan mata kaget ketika membaca nama Sharon Cole bersanding dengan nama pria yang tidak ia kenal di permukaan undangan tersebut.

Amy membelalakkan mata, kaget. "Kau akan menikah?"

"Mm-hmm." Sharon tersenyum puas. "Bulan depan. Dan kau harus datang dengan pacarmu."

"Oh, ya ampun. Daftar panggilan dalam ponselku saja hanya dipenuhi dengan nama ayahku. Bagaimana aku bisa mengajak seorang pria?" protes Amy sambil memandangi undangan yang diberikan oleh Sharon. "Ngomong-ngomong, di mana kau bertemu dengan calon suamimu? Kau tidak pernah mengajaknya kemari, bukan?"

"Dia teman SMA-ku," jawab Sharon sambil tersenyum malu. "Dan aku memang tidak pernah punya rencana untuk mengenalkannya pada kalian sampai saat ini tiba. Aku ingin kalian mengenalnya bukan sebagai pacarku, melainkan suamiku."

Teman SMA? Amy mengerjap kaget. Itu mengingatkannya pada Aaron Hale. Oh, dan ia juga baru ingat kalau ia belum menghubungi lelaki itu sejak ia menyimpan kartu nama Aaron Hale.

"Aku tidak peduli apakah kau akan datang sendirian atau dengan seseorang. Yang pasti, kau harus datang ke pesta pernikahanku," Sharon menegaskan, membuat Amy tersadar dari lamunannya.

Amy terkekeh dan menepuk tangan. "Tentu saja! Aku pasti akan datang. Dan aku akan memastikan kalau aku tidak datang sendirian."

Sharon mendengus dan tertawa. "Baiklah, baiklah. Itu lebih bagus. Aku pergi dulu. Bye."

Setelah Sharon meninggalkan ruangan, Amy langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di samping komputernya lalu mengeluarkan kartu nama milik Aaron Hale yang ia simpan di dalam dompet. Sambil membaca nomor yang tertera pada kartu nama Aaron Hale, Amy menekan nomor-nomor pada layar ponselnya. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menekan tombol hijau dan menempelkan telepon genggam di telinganya.

"Halo?"

Amy langsung menegakkan posisi duduknya begitu ia mendengar suara berat Aaron Hale menyapanya setelah dua deringan. "Ha-halo, Aaron. Ini aku, Amy. Apa kau sedang sibuk?" jawab Amy.

Terdengar suara gemerisik kertas selama beberapa detik, kemudian Aaron Hale menjawab, "Oh, hai, Amy! Akhirnya kau menelepon."

Akhirnya...? Apakah itu artinya Aaron menanti telepon dariku?

"Ah, ya." Amy tertawa kikuk. "Kuharap kau sedang tidak sibuk. Apa aku mengganggumu?"

"Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya sedang, melihat-lihat kertas... kau tahu, hanya pekerjaan sepele yang harus kukerjakan. Haha. Jadi, ini nomormu?"

"Ya. Aku sering mengganti nomor telepon tapi ini adalah nomor terakhir yang akan kugunakan," ujar Amy.

"Oh, akan kupastikan nomormu tersimpan dengan baik."

"Terima kasih," sahut Amy lalu menggigit bibir. Kemudian ia teringat akan pekerjaannya yang menanti untuk diselesaikan. Sambil menepuk dahi, Amy menyeletuk, "Aaron, maaf, aku harus menyelesaikan beberapa deadline. Kau tidak keberatan kalau kuhubungi lagi nanti?"

"Tidak. Aku yang akan menghubungimu lagi nanti," kata Aaron tegas. "Kapan-kapan, kalau kau sedang tidak sibuk dan memiliki waktu untuk makan siang bersama, apakah kau bersedia makan bersama denganku? Maksudku, kita sudah lama tidak bertemu. Aku yakin kau dan aku sama-sama berhutang banyak cerita."

Amy mendapati senyumnya mengembang. Ia hampir saja menyerukan "Aku mau!" tanpa malu, tapi ia sadar itu terlalu memalukan. Akhirnya Amy menjawab, "Te-tentu saja. Aku akan memberitahumu restoran yang bagus di sekitar Soho."

"Tenang saja. Aku masih mengingat New York dengan baik. Aku bahkan masih ingat restoran yang paling kau sukai."

Oh, tidak. Senyumnya mengembang dua kali lipat. Amy menahan dirinya untuk tidak melompat kegirangan. "Baiklah, kalau begitu. Sampai jumpa lagi, Aaron."

"Selamat... bekerja, Amy."

Amy menutup telepon lalu tersipu. Astaga, mendengar suara Aaron Hale membuatnya terbang ke masa lalu. Ia kembali merasa seperti anak remaja yang baru kasmaran. Oh, ini benar-benar memalukan.

* * *

Kai lagi-lagi harus menikmati makan siang sendirian. Ia sebenarnya sangat ingin bisa makan bersama Amy namun tadi, saat ia hendak mengajak Amy untuk pergi ke luar, ia melihat gadis itu sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Dan ia tidak mau mengganggu. Mengusik seseorang di tengah-tengah pekerjaan bukanlah hal yang pandai dilakukan oleh Kai. Akhirnya, Kai memilih untuk makan siang sendiri.

Karena ia sedang tidak mood untuk mencari restoran yang enak di sekitar Greenwich Street, Kai akhirnya kembali mengunjungi restoran Jepang yang ia datangi tempo hari di Hudson Street. Ia memasuki restoran dengan dekorasi elit tersebut lalu duduk di meja yang sama yang ia tempati beberapa hari yang lalu.

Setelah menyebutkan pesanannya pada seorang pelayan wanita, Kai menunggu sambil membaca buku. Ia mengeluarkan buku yang ditulis oleh penulis favoritnya –Haruki Murakami– dan mulai membaca. Namun, aksinya itu terhenti saat bukunya terbuka pada sebuah halaman yang menampilkan secarik foto. Kai mendapati dirinya tersenyum kecil saat mengenali foto tersebut sebagai foto Kyoko saat masih bayi. Foto berwarna kusam yang ia gunakan sebagai pembatas buku. Kai mengambil foto tersebut lalu meletakkan buku bacaannya di atas meja.

Ia ingat dengan foto ini. Kyoko memberikan itu kepadanya di ulang tahunnya yang ke-25. Wanita itu memberitahunya kalau suatu saat nanti, puterinya akan terlihat sangat mirip dengannya ketika masih bayi. Dan wanita itu memberikan foto tersebut pada Kai untuk disimpan; foto Kyoko bayi yang masih tak berdaya di atas tempat tidur. Kai tersenyum dan mengusap wajah Kyoko pada foto tersebut dengan ibu jarinya.

"Kau lelaki yang waktu itu, bukan?"

Kai tiba-tiba mendengar suara berat seorang pria menyapa dalam bahasa Jepang. Ia mendongak dan mendapati seorang pria paruh baya bertopi hitam sedang berdiri di depan mejanya sambil tersenyum. Membutuhkan lima detik yang lama bagi Kai untuk akhirnya mengenali pria tersebut sebagai Eijiro –pria yang ia temui beberapa hari yang lalu di restoran ini.

Kai bangkit berdiri lalu membungkukkan badan, memberi salam. "Oh, apa kabar, Ojisan? Senang bertemu lagi dengan Anda di sini."

Eijiro membalas salam Kai. "Apa kau datang sendiri?"

"Ya, saya sendiri di sini. Apa Ojisan keberatan jika saya mengajak Ojisan untuk duduk bersama?"

"Tentu saja. Aku senang bisa melihatmu lagi di sini," ujar Eijiro sambil mengambil tempat duduk di hadapan Kai.

Kai menyelipkan foto Kyoko kembali ke dalam buku kemudian memasukkan buku bacaannya tersebut ke dalam tas ranselnya. Eijiro memanggil seorang pelayan, menyebutkan pesanannya, kemudian berpaling pada Kai setelah pelayan yang melayaninya sudah pergi. "Apa yang membawamu kemari lagi, Nak?"

Kai tersenyum kecil. "Kebuntuan, kurasa. Saya tidak tahu restoran yang bagus di sekitar sini dan sebenarnya saya juga tidak terbiasa dengan makanan Amerika."

"Oh, ya ampun. Aku seperti melihat diriku sendiri puluhan tahun silam," komentar Eijiro sambil terkekeh. Ia melepas topi klasik berwarna hitam yang ia kenakan lalu meletakkannya di atas meja. "Saat pertama kali menginjakkan kakiku di sini bersama puteriku, aku selalu menghabiskan uangku untuk membeli beras yang harganya dua kali lipat dari harga beras di Jepang. Semua itu kulakukan karena aku tidak bisa makan masakan Amerika."

Kai tertawa ringan mendengar ucapan Eijiro. Ia mencondongkan tubuhnya dan bertanya, "Apakah itu alasan Ojisan datang kemari sampai saat ini?"

"Begitulah," Eijiro mengangguk. "Tapi selain itu, restoran ini adalah tempat favoritku untuk mengenang isteriku."

Kalimat terakhir yang diucapkan Eijiro mengundang rasa penasaran Kai. Tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya, Kai akhirnya menyeletuk, "Maaf jika saya tidak sopan tapi, apa yang terjadi dengan isteri Anda?"

Pandangan Eijiro menerawang ke luar jendela yang terletak di belakang punggung Kai. Kemudian Kai melihat pria paruh baya tersebut mengulas senyum samar. "Aku dan isteriku berpisah. Itulah yang membawaku kemari bersama puteriku. Kami terpaksa berpisah –bukan karena aku bertengkar hebat dengannya atau karena dia tidak mencintaiku tapi– karena banyak orang berniat menghancurkan kami jika kami terus bersama. Kami tidak ingin kedua puteri kami terancam, karena itu kami berpisah."

Kai termenung memandangi sorotan mata Eijiro yang penuh arti. Ia yakin pria yang hampir menua ini memiliki kisah hidup yang tidak mudah. Dan entah kenapa, Kai merasa kalau Eijiro adalah pria yang tangguh.

Kai belum sempat mengucapkan sesuatu untuk menghibur pria itu saat ia mendengar pria itu melanjutkan, "Tapi aku masih mencintainya sampai saat ini. Dan perasaan itu akan terus hidup di sini." Eijiro menyentuh dadanya dengan tangannya. "Tapi, kau tahu apa? Membiarkan perasaanmu terpendam begitu lama, membuatmu tidak bisa merasakan apapun. Kau akan terjebak di nostalgia dan masa lalu yang tidak akan pernah mengijinkanmu untuk melangkah."

Kai tertegun. Ia tiba-tiba teringat oleh Kyoko. Selama satu tahun terakhir, ia harus mengakui kalau ia memang terjebak dalam nostalgia yang cukup lama. Sangat sulit baginya untuk melangkah. Terlebih lagi, semua hal yang ia lakukan mengingatkannya pada Kyoko. Ia benar-benar terpuruk sampai akhirnya ia berhasil memutuskan untuk melangkah.

Entah kenapa, Kai merasa Eijiro benar-benar memahami apa yang ia rasakan.

"Nah, bagaimana denganmu, Kai?" Eijiro melipat tangan di atas meja dan memandang Kai dengan tatapan ingin tahu. "Siapa wanita yang sudah membuatmu pergi sejauh ini?"

Kai mengangkat wajah lalu tersenyum kikuk. Sepertinya tidak ada salahnya ia menceritakan apa yang sudah terjadi padanya sejauh ini. Eijiro hanyalah pria asing yang ia temui di restoran Jepang di New York dan tidak memiliki kemungkinan untuk bertemu lagi dengannya setelah ini. Dan lagipula pria paruh baya ini pun tampaknya pria baik-baik.

Kai menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ini dia saatnya. Ia akan menceritakan semuanya pada Eijiro dan berbagi masalah dengan pria paruh baya di hadapannya ini.

* * *

Amy Hirata bertolak pinggang di balik jendela ruang kerjanya. Ia mendengus dan menggerutu dalam hati. Isi otaknya berputar-putar, mencari tahu alasan apa yang membuat Kai Yunokawa tidak memunculkan batang hidungnya.

Sekarang sudah hampir jam tujuh malam dan ia tidak melihat Kai. Lelaki itu seharusnya sudah berada di kantornya untuk pulang bersama dari dua jam yang lalu. Tapi dia tidak menemukan pria itu dimana pun. Amy sudah bertanya pada Alison, Sharon bahkan seluruh kru yang bekerja di studio, namun tidak ada satu pun dari mereka yang tahu di mana Kai berada.

Hari ini benar-benar bukan hari yang menyenangkan. Pertama, ia harus berhadapan dengan tumpukan pekerjaan dadakan dan sekarang... Kai menghilang. Amy sungguh-sungguh berada di ambang kecemasan dan kekesalan saat ini.

Amy mengeluarkan ponselnya lalu menempelkannya ke telinga setelah menekan nomor Kai. Dua deringan.. tiga deringan... empat deringan. Tidak ada jawaban. Oh, astaga. Amy menggigit bibir dan menghembuskan napas kasar. Ia mulai khawatir sekarang. Apakah Kai baik-baik saja? Mungkinkah lelaki itu tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali ke sini?

Lima belas menit berlalu. Amy berjalan mondar-mandir. Belum ada tanda-tanda Kai sudah kembali. Sebenarnya kemana pria itu pergi? Apakah dia sudah pulang terlebih dulu? Apa sebaiknya ia pulang sekarang? Tapi bagaimana kalau Kai ternyata belum pulang dan dalam perjalanan kemari? Amy mendengus lalu berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan tas tangan yang ia gantung di bahu.

* * *

"Kau tidak melihatnya di mana pun?" tanya Amy pada Jill, receptionist yang bertugas menjaga di bagian penerima tamu.

Jill tampak berpikir sejenak. "Ya," jawabnya kemudian. "Aku hanya melihatnya keluar tadi siang dan belum melihatnya lagi sampai sekarang."

"Dia belum kembali?" celetuk Amy.

"Hmm, ya. Kurasa begitu," sahut Jill. "Dia selalu menyapaku setiap saat datang dan pergi. Jadi aku bisa meyakinkan kapan dia keluar dan masuk dari gedung ini."

Oh, tidak. Sepertinya pria itu sungguh-sungguh tersesat. Bagaimana ini?

"Ada apa, Amy?"

"Ti-tidak apa-apa. Thanks." Amy melambaikan sebelah tangan pada Jill lalu angkat kaki menuju sofa tunggu yang terletak di dekat pintu masuk gedung. Ia duduk di salah satu sofa tunggu di sana lalu mengeluarkan ponselnya.

Amy mencoba menghubungi Kai lagi dan lagi. Namun semua usahanya berakhir sia-sia. Tidak ada satu pun dari panggilannya yang terjawab. Apa lagi yang harus dilakukannya sekarang? Ia tidak tahu di mana Kai berada. Pria itu pun tidak bisa dihubungi. Kalau sudah begini, apa yang bisa ia lakukan untuk mengetahui keadaan lelaki itu? Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hari ini hingga ia tidak sempat menyapa Kai di sela-sela waktu kerjanya seperti yang biasa ia lakukan selama ini.

Oh, Tuhan. Jika sesuatu terjadi pada laki-laki itu, Amy akan merasa sangat bersalah. Pada Alison dan juga pada dirinya sendiri.

* * *

Kai berjalan melewati beberapa blok dan belokan jalan kembali ke Greenwich Street. Ia mengangkat jam tangannya dan mempercepat langkah kakinya ketika melihat jarum panjang pada jamnya hampir menyentuh angka 7. Oh, tidak. Amy pasti sedang mencarinya saat ini. Ia harus buru-buru kembali.

Setelah memutuskan untuk menceritakan semua masalahnya pada Eijiro, Kai menjadi lupa waktu. Ia berbicara tentang banyak hal dengan pria itu. Dari topik satu ke topik lainnya, dari bagaimana ia bertemu dengan Kyoko sampai bagaimana ia mengalami kecelakaan yang akhirnya membuatnya berpisah dengan Kyoko. Ia menceritakan semua masalahnya dan pada akhirnya membuat Eijiro bercerita lebih banyak lagi. Ia sampai tidak menyadari kalau ponselnya mati karena kehabisan baterai.

Pria itu pun membawanya berjalan-jalan ke sekitar Hudson Street, memberitahunya beberapa restoran enak yang bisa dikunjungi. Lalu pada akhirnya, Eijiro memberikan nomor teleponnya dan meminta Kai untuk menghubunginya setiap saat ia tidak memiliki teman untuk makan siang.

Kai menikmati waktu yang ia habiskan dengan Eijiro. Pria itu memberinya banyak masukan dan hiburan yang ia butuhkan. Eijiro adalah satu-satunya pria yang memahami apa yang ia rasakan saat ini. Dan ia merasa beruntung bisa bertemu dengan pria itu.

Kai memasuki gedung Star Square sambil setengah berlari begitu ia sudah tiba di Greenwich Street. Ia menyunggingkan senyum dan menyapa receptionist yang duduk di balik meja penerima tamu lalu berlari menuju lift. Sebelum sempat ia meraih tombol di samping pintu lift, Kai mendengar Jill menyerukan namanya.

"Kai! Tunggu."

Kai berpaling dan menghampiri meja penerima tamu dengan langkah pelan. "Ya? Ada apa?"

"Amy mencarimu," sahut Jill sambil menunjuk ke arah sofa tunggu yang terletak di ujung ruangan.

Kai mengikuti arah telunjuk Jill lalu mendapati Amy sedang berdiri membelakanginya. Sebelah tangannya bertolak pinggang dan yang lainnya menempelkan ponsel ke telinganya. "Oh, terima kasih, Jill. Aku akan segera ke sana," ujar Kai lalu berjalan menghampiri Amy.

Gadis itu lebih dulu berbalik badan saat Kai baru setengah jalan. Akhirnya, ia berhenti melangkah dan mengangkat sebelah tangan dengan kikuk. "Maaf, aku...."

Kai belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat Amy tiba-tiba memeluknya dengan erat.

"Kemana saja kau?! Apa kau tidak tahu kalau aku mencarimu kemana-mana? Kenapa kau tidak memberitahuku kemana kau pergi? Dan lagi, kenapa pula ponselmu tidak bisa dihubungi?" Amy menyerbu Kai dengan pertanyaan bertubi-tubi seketika gadis itu melepaskan pelukannya.

Kai tertegun. Reaksi Amy yang memeluknya tiba-tiba... ucapan gadis itu... semuanya hampir sama dengan reaksi yang selalu diberikan oleh Kyoko jika sedang cemas.

"Kenapa tidak menjawab?" tanya Amy dengan nada sebal.

Kai membuyarkan lamunannya lalu berdeham. "Aku... menghabiskan waktu bersama seorang teman tadi siang dan berbincang-bincang hingga lupa waktu."

"Teman?! Kau memiliki teman lain selain aku?"

Kai menelan ludah. Kenapa wajah Amy tiba-tiba terlihat menyeramkan? "Y-ya. Aku berkenalan dengannya beberapa waktu lalu."

Dagu Amy berkerut. Kemudian kedua matanya menunjukkan tatapan yang mematikan. "Kenapa ponselmu tidak dapat dihubungi?"

"Ah, ponselku mati karena kehabisan baterai. Apa kau berusaha menghubungiku?"

"Menurutmu?!"

Amy tidak menunggu jawaban dari Kai, gadis itu tiba-tiba memungut tas tangannya yang tergeletak di atas sofa lalu berjalan keluar gedung dengan cepat. Kai yang menangkap sinyal bahaya, langsung mengikuti Amy dari belakang.

"Amy, tunggu!" seru Kai saat berlari menyusul Amy.

Amy berhenti berjalan lalu berbalik pada Kai. "Kau tinggal di tempat yang sama denganku, bekerja di kantor yang sama denganku. Menurutmu, kalau sesuatu terjadi denganmu, aku bisa tenang saja? Kau pikir aku ini orang yang tidak peduli dengan temannya sendiri? Aku tahu kau belum mengenal daerah New York dengan baik dan aku takut kau tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali ke sini. Apa kau tidak berpikir kalau-"

"Maafkan aku," Kai memotong ocehan Amy. Ia mencengkeram kedua bahu Amy dan membuat gadis itu menatapnya lurus-lurus. "Aku minta maaf karena sudah membuatmu menunggu dan mencariku."

Amy membalas tatapan Kai tanpa berkedip. Beberapa detik kemudian, Amy mengerjap lalu mengendikkan kedua bahunya, membuat tangan Kai terangkat dan menjauh. Lalu Amy berdeham dan mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi. "Jangan pernah menghilang tanpa sepengetahuanku lagi. Okay?"

Kai menatap jari telunjuk Amy lalu tersenyum. Ia lalu menggenggam jari telunjuk Amy dengan sebelah tangannya dan menyahut, "Aku berjanji." Kai menurunkan jari Amy perlahan-lahan lalu melanjutkan, "Mulai saat ini, aku akan selalu memberitahumu kemana aku pergi. Aku akan selalu meneleponmu jika aku tersesat atau terdampar di kantor polisi karena tidak tahu jalan pulang."

Senyum Amy mengembang. Lalu gadis itu menarik jari telunjuknya dan mengeluarkan kunci mobilnya. "Kau bisa menyetir, kan?"

Kai mengangguk.

"Kau belum dimaafkan sebelum mengantarku pulang. Ini," Amy melemparkan kunci mobilnya yang lalu ditangkap oleh Kai dengan mulus. Gadis itu lalu berjalan menuju mobil mungilnya yang terparkir tidak jauh di pinggir jalan dan mulai berceloteh dengan suara kecil.

Melihat Amy kembali normal, Kai menghembuskan napas lega. Ia lalu berharap dalam hati; semoga ia tidak perlu lagi menyaksikan amarah Amy Hirata seperti tadi.

avataravatar
Next chapter