16 Bab Enam Belas

Bunyi kicauan burung yang bercampur dengan dengungan suara klakson mobil dari jalan raya membangunkan Kai dari tidurnya. Kai mengernyit dan menerawang jauh ke arah jendela yang membiarkan cahaya matahari masuk dari luar. Ia beringsut dan duduk di tepi ranjang sambil meregangkan kedua lengannya.

Tatapannya terpaku pada lantai dan bayangan kejadian semalam muncul dalam ingatannya. Kai kemudian menggigit bibirnya.

Ia tidak mengerti apa yang terjadi padanya kemarin malam. Ia tidak tahu mengapa ia akhirnya memutuskan untuk mencium Amy. Hanya satu yang ia tahu pasti; mencium gadis itu adalah sesuatu yang harus ia lakukan.

Ia merasakan begitu banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya saat ini. Ia merasa senang karena setelah sekian lama, ia bisa kembali merasakan perasaan bahagia yang telah lama hilang. Rasanya seperti ia telah menemukan sesuatu yang dapat mengisi lubang di hatinya.

Tapi, di saat yang bersamaan, ia pun merasa sedih. Ia merasa bersalah. Entah mengapa bayangan Kyoko terus menerus mengusiknya. Kai merasa seperti burung dengan kaki yang terperangkap dalam jebakan; ia sudah siap untuk terbang jauh, namun ada sesuatu yang menahannya. Sekarang, ia tak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Amy.

Kai bersiap-siap kemudian berjalan keluar dari apartemennya. Ketika ia menuruni tangga, orang pertama yang tertangkap oleh kedua matanya adalah Amy. Kedua kaki Kai dengan refleks berhenti bergerak. Namun ketika gadis itu menoleh dan tersenyum padanya, Kai memaksakan kedua kakinya untuk kembali berjalan.

"Selamat pagi!" sapa Amy sambil melambaikan sebelah tangannya. Senyuman itu, sinar mata itu... semua tampak sama. Amy bersikap seolah tidak ada yang terjadi kemarin malam.

Kai berusaha bersikap normal. "Selamat pagi, Amy. Kau sudah siap?"

"Ya. Aku baru saja menyelesaikan sarapanku." Amy mengambil tas tangannya yang tergeletak di sofa dekat ruang tamu kemudian berpamitan pada Mrs. Lewis. "Kau tidak mau sarapan dulu?"

"Tidak. Perutku masih penuh dengan sisa makanan kemarin malam," Kai sedikit bergurau seraya ia dan Amy berjalan menuju mobil Amy yang terparkir tidak jauh dari apartemen.

Mereka berjalan memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengaman. Kemudian Kai menyalakan mesin mobil, dan saat itulah Amy menyeletuk, "Hari ini, hari terakhirku bekerja di Star Square."

Kai yang baru hendak menarik rem tangan, langsung berpaling pada Amy. "Oh?"

Amy balik memandang Kai lalu tertawa terbahak-bahak, "Aku hanya bercanda. Suasana di antara kita sangat canggung, jadi aku berusaha mencairkannya," kata Amy sambil mengibaskan sebelah tangannya. "Astaga, lihat wajahmu. Jangan terlalu serius begitu."

Meskipun Kai merasa lega kalau apa yang diucapkan Amy ternyata tidak benar dan hanya gurauan, entah mengapa ia merasa marah. Dan sepertinya ia tak dapat menyembunyikan perasaannya karena Amy menanyakan keadaannya. Kemudian Kai menjawab, "Aku tahu kau senang bergurau, Amy. Tapi tidak semua gurauanmu terdengar lucu kadang-kadang."

Amy menegang. Itu pertama kalinya ia mendengar Kai menjawab seperti itu. Nada suaranya terdengar dingin dan serius. Amy merasa tak ada yang salah dengan ucapannya, ia pun melipat tangan di dada dan menjawab, "Mungkin masalahnya ada padamu, Kai. Kau menanggapi segala hal dengan serius sampai-sampai kau tak bisa bercanda dan bersenang-senang di saat seperti ini."

"Kau pikir aku bisa bersenang-senang ketika tahu kalau kau tidak akan lagi bekerja di Star Square?"

"Aku kan sudah bilang kalau aku hanya bercanda."

"Kalau begitu lain kali pikirkan gurauan lain yang tidak membuat orang cemas seperti ini!"

Amy mengerutkan alisnya dengan kecewa. Nada suara Kai tak pernah terdengar lebih serius dari ini. Tatapan matanya tak pernah terlihat begitu menyeramkan. Amy tak mengerti apa yang dirasakan oleh Kai saat ini, kemarin malam mereka baru saja menikmati waktu yang indah dan sekarang mereka beradu tatap dengan suasana yang menegangkan.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu, Kai." Amy menundukkan kepala dan melepaskan sabuk pengamannya. "Aku akan naik taksi. Kau bawa saja mobilku."

Kai hendak mengatakan sesuatu untuk menghentikan Amy, namun ia mengutuki dirinya karena tak bisa melakukan apapun untuk mencegah gadis itu pergi dari hadapannya. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan Kai hanyalah duduk di balik roda kemudi, memperhatikan Amy menghentikan taksi dan menumpanginya dengan ekspresi wajah kecewa. Sebuah hembusan napas yang sejak tadi tertahan, meluncur keluar dari mulutnya.

Sejak kejadian tadi malam, Kai merasa dirinya tak nyaman. Bayangan wajah Kyoko semakin tampak jelas di benaknya. Kecelakaan itu kembali menghantuinya dan membuat Kai merasa takut kejadian yang sama memisahkannya dengan Amy.

Sepertinya, Kai belum benar-benar memaafkan dirinya sendiri. Sepertinya, ada banyak hal yang harus ia lakukan sebelum ia melangkah pada Amy dan membuat gadis itu bahagia. Sepertinya, ia harus kembali ke Jepang untuk menyelesaikan sesuatu sebelum ia menyesali semuanya.

Kai merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang sebelum ia mengemudikan mobil Amy ke gedung kantor Star Square.

* * *

Alison menatap Kai dengan tatapan tidak percaya. Rahangnya terbuka dan ia berusaha untuk bersikap normal. Setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan, Alison berdeham kemudian bertanya, "Jadi kau akan berada di Jepang selama seminggu ke depan?"

"Jika kau tidak keberatan dan kalau aku bisa menyelesaikan semua pekerjaanku dalam beberapa hari ke depan. Aku harap kau dapat mengijinkanku," jawab Kai sambil setengah tersenyum.

Ia baru saja tiba di Star Square lima belas menit yang lalu dan sebelum aktifitas sehari-hari menarik seluruh staf ke dalam kesibukan, Kai buru-buru memasuki ruangan Alison dan membicarakan perihal ijinnya untuk pergi ke Jepang. Ia memberitahu Alison bahwa ia harus kembali ke Jepang dalam rangka peringatan 10 tahun kematian neneknya. Meskipun bukan itu alasan utama Kai mengajukan cuti, tapi ia tidak berbohong mengenai kematan neneknya. Dan syukurnya, Alison sepertinya dapat memahami keadaannya.

Setelah beberapa detik yang lama, Alison akhirnya mengangguk. "Ya, baiklah, Kai. Kebetulan belum ada pemotretan lagi untuk edisi bulan depan. Dan maaf, sepertinya aku hanya bisa memberikan waktu lima hari bagimu untuk pergi ke Jepang."

"Tidak apa-apa. Aku sangat menghargainya, Alison. Terima kasih banyak." Kai tersenyum, bangkit berdiri dan membungkukkan badannya memberi salam pada Alison. Namun, tepat ketika ia hendak membuka pintu, Alison memanggil namanya dan membuatnya menoleh.

"Kau yakin kau baik-baik saja?" tanya Alison, sedikit cemas.

Kai ragu sejenak kemudian menarik napas dan mengangguk. "Terima kasih banyak, Alison."

Kai menutup pintu ruangan Alison kemudian berjalan menuju studio pemotretan. Kemudian, langkahnya terhenti ketika bayangan seseorang berdiri di hadapannya. Amy...

"Kau berhutang penjelasan padaku, Kai," ucap Amy yang kini berdiri satu meter di hadapannya sambil bersedekap. Sepertinya Amy mendengar percakapan Kai dan Alison barusan dan sepertinya, Kai berada dalam masalah baru.

* * *

Kai berdiri di balik pintu ruang kerja Amy dengan kepala tertunduk. Entah apa yang terjadi dengan dirinya yang membuatnya tak dapat melihat Amy Hirata dengan kedua matanya. Tiba-tiba saja ia merasa... malu.

"Jelaskan." Suara Amy yang memerintah membuat Kai mau tak mau memandang gadis itu.

Kai mengeraskan rahangnya dan menelan ludah. "Kurasa kau sudah mendengar semuanya. Aku harus pergi ke Jepang untuk memperingati 10 tahun kematian-,"

"Bohong." Amy menyela dengan suara yang terdengar parau. "Kau menceritakan semua tentang keluargamu padaku dan kau tak sekalipun menyebutkan perihal kematian nenekmu padaku."

"Dan jika aku tidak memberitahumu, apa itu berarti masalah keluargaku tidak penting?"

"Kau melakukan ini untuk menghindariku, bukan?"

"Tidak..."

"Lantas kenapa kau sekarang bahkan tak bisa melihatku?"

Pertanyaan Amy membuat Kai sadar kalau ia tak sanggup melihat Amy lebih dari lima detik. Pandangannya terus tertuju pada benda-benda di sekeliling ruangan. "Amy, aku tidak melakukan ini karena aku-,"

"Kalau begitu... jelaskan padaku."

Kai memaksa kedua matanya untuk menatap Amy. Sepertinya, satu-satunya cara baginya agar bisa menjelaskan ini semua pada Amy hanya dengan memeluk gadis itu. Kai mengikuti nalurinya, berjalan menghampiri Amy kemudian memeluknya dengan erat.

Aliran hangat dari tubuh Kai selalu dapat membuat Amy tenang. Otot-otot tubuhnya yang menegang, perlahan-lahan mengendur.

"Aku tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melihatmu," bisik Kai di sela-sela telinga Amy. "Jadi, jangan bergerak dan teruslah berdiri seperti ini selama lima menit saja."

Amy mengangguk.

"Aku takut aku akan melukaimu, Amy," lanjut Kai. "Aku takut masa laluku hanya menimbulkan duri yang hanya akan menusukmu dan melukaimu lebih dalam jika aku memelukmu seperti ini. Aku takut semakin aku menghampirimu, kau hanya akan terluka."

"Ke...napa?"

Kai memejamkan matanya dan memeluk Amy lebih erat, membuat Amy dapat mencium aroma tubuh Kai dengan sangat jelas. Aroma peppermint yang lembut.

"Aku takut kehilanganmu seperti aku kehilangan Kyoko," jawab Kai, lirih. "Semakin aku merasa takut, aku semakin ingin mencintaimu seperti orang gila. Dan aku tidak yakin, apakah perasaan ini muncul karena sungguh-sungguh jatuh cinta padamu atau karena aku belum bisa melupakan masa laluku. Karena aku melarikan diri dari masa laluku. Itulah alasanku datang ke New York."

"..."

"Aku tidak berbohong mengenai peringatan kematian nenekku, tapi kau benar, Amy. Aku berbohong. Bukan itu tujuanku pergi ke Jepang."

"Kau menghindar dariku."

Kai menggeleng. "Tidak. Aku hanya membutuhkan sedikit waktu, sedikit saja, untuk menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan."

Semuanya terasa tidak masuk akal. Baru beberapa jam yang lalu ia merasakan hidupnya berubah menjadi dongeng dan sekarang ia harus menelan perasaan pahit yang memenuhi dadanya. Ia mengeraskan rahangnya kemudian perlahan-lahan menggerakkan tangannya, mendorong Kai menjauh darinya.

Meskipun terasa sangat berat baginya, namun Amy menghargai kejujuran Kai. Ia pun menepuk bahu Kai dan tersenyum. "Aku akan menunggu."

Gadis itu tersenyum padanya. Sudut-sudut bibir Amy Hirata tertarik membentuk senyuman namun Kai yakin, gadis itu tak merasa sebaik kelihatannya. Sinar mata Amy menunjukkan arti yang sebaliknya dan Kai merasa sedih harus menjadi seseorang yang membuat Amy merasa seperti itu.

"Maafkan aku, Amy," ucap Kai. "Aku tidak ingin menyakitimu seperti pagi ini lagi. Karena itu, berikan aku sedikit waktu... sedikit saja... agar aku bisa kembali padamu dan membuatmu bahagia tanpa harus merasa bersalah."

Amy mengangkat kedua tangannya pada wajah Kai dan mencubit pipi lelaki itu. "Dan sampai waktu itu tiba, aku akan menunggumu di sini."

"Kau tidak akan menunggu lama. Aku hanya akan pergi selama lima hari."

Amy terkekeh, namun suara tawanya tak sejernih biasanya. "Kalau begitu kenapa harus membuatnya dramatis seperti ini? Kelihatannya seperti kau akan meninggalkanku satu tahun saja."

Kai tersenyum. "Karena sepertinya akan terasa seperti itu."

Amy mengangkat wajah menatap Kai yang menunduk ke arahnya. Harus diakui, ucapan Kai sepertinya benar. Sepertinya Amy akan merindukan lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Sarapan, makan siang, makan malam hingga perjalanan mobil yang ia lalui bersama Kai, kencan pertamanya di Central Park, pesta pernikahan Sharon dan ciuman itu; semua ingatan itu akan menyerbu pikirannya selama lima hari ke depan dan membuatnya tak bisa tidur.

"Aku akan meneleponmu setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja," tambah Kai, meletakkan kedua tangannya pada bahu Amy, mencoba menenangkan gadis itu.

Amy tersenyum dan memaksakan tawa. "Memang harus begitu. Kalau tidak, aku tidak akan menjemputmu saat kau kembali nanti."

Kai akhirnya dapat tersenyum lagi. Ia lalu memeluk Amy sekali lagi, kali ini lebih erat dari sebelumnya. "Tunggu aku kembali."

Amy mengangguk, namun entah mengapa hatinya merasa tak semantap itu.

* * *

Kai mengeluarkan tasnya dari dalam mobil Amy kemudian menutup pintu. Satu jam lagi ia harus memasuki pesawat dan terbang menuju Jepang. Ia menoleh pada Amy dan mengusap puncak kepala gadis itu. "Aku akan masuk sekarang. Kau harus bekerja, kan? Kau harus kembali ke Star Square sebelum Alison berubah menjadi makhluk menyeramkan."

Amy terkekeh. "Itu hanya akan terjadi pada hari kiamat."

"Menyetirlah dengan hati-hati. Kabari aku kalau kau sudah sampai."

"Bukankah aku yang seharusnya mengatakan itu?" Amy bersedekap.

Kai mengenakan tas ranselnya kemudian melambaikan sebelah tangan. "Sampai jumpa lima hari lagi."

Meski sudah menghabiskan waktu semalaman berdua dengan Kai sebelum hari ini tiba, Amy tetap merasa tidak cukup. Mengapa rasanya sulit sekali melepas pria ini pergi?

"Sampai bertemu lagi." Amy melambaikan sebelah tangannya.

"Hmm." Kai mengangguk. Kemudian ia berbalik badan dan berjalan meninggalkan Amy. Sebenarnya ia ingin memeluk gadis itu sekali lagi sebelum ia pergi. Namun ia takut ia akan berubah pikiran jika ia melakukan itu. Akhirnya Kai memaksa kakinya untuk bergerak meninggalkan Amy.

Melihat punggung Kai menjauh, Amy mendadak merasa lemah. Meskipun ia dapat mengerti isi hati Kai dan alasan pria itu pergi ke Jepang, nyatanya, Amy tak dapat melepaskan pria itu pergi. Walaupun ia memohon pada Kai untuk tidak pergi, sepertinya tidak ada gunanya. Kai memang membutuhkan waktu itu. Tiba-tiba saja Amy merasa cemas. Bagaimana kalau Kai tidak kembali? Bagaimana kalau Kai berubah pikiran dan membuat keputusan baru?

Amy menarik napas kemudian memaksa dirinya untuk memasuki mobil. Dalam perjalanan keluar kembali ke Manhattan, Amy baru ingat kalau rumahnya tak jauh dari tempat ia berada. Amy pun mengambil ponselnya dan menekan nomor ibunya. Dalam keadaan seperti ini, sepertinya ia tak dapat kembali ke apartemen maupun ke tempat kerjanya. Ia membutuhkan ibunya.

* * *

Janet sedang memotong apel di dapur rumahnya ketika ponselnya berdering. Ia tersenyum senang ketika melihat nama Amy Hirata muncul di layar ponselnya.

"Halo, sweetheart," sapa Janet dengan ponsel yang dijepit antara telinga dan bahunya. Ia mencuci tangan di wastafel, meletakkan pisau kembali pada tempatnya dan duduk di ruang tamu ketika ia mendengar balasan dari Amy.

"Mom, I need you." Suara puterinya terdengar sangat lemas. Tak lama setelah itu Janet dapat mendengar suara hidung yang tersumbat. "Sepertinya aku harus bertemu denganmu. Sepertinya aku tidak bisa kembali ke Manhattan dengan keadaan seperti ini."

"Oh, honey. Apa yang terjadi?? Kau baik-baik saja?" Selama bertahun-tahun ia mengenal Amy, sejak pesta kelulusan SMAnya hingga saat ini, Janet tak pernah mendengar Amy menangis seperti ini di telepon. Amy benar-benar sosok gadis yang periang dan tangguh, ia tak pernah memberitahu siapapun apa yang membuatnya menangis. Dan jika ini terjadi, Janet yakin ada sesuatu yang tak beres. "Amy, beritahu aku apa yang terjadi?"

"Kai... Mom... Aku tidak sanggup..."

"Pelan-pelan. Aku tidak mengerti kalau kau bicara seperti itu." Janet menutup sebelah telinganya dan memusatkan perhatiannya pada Amy. Kemudian, samar-samar ia dapat mendengar suara klakson mobil. "Tunggu, Amy, apa kau sedang menyetir?"

"Ya, Mom. Aku baru saja—AAA!!!!"

Janet membelalakkan kedua matanya dan langsung bangkit berdiri. "Halo? Halo?? Amy??! Amy, dear?!!"

Tak terdengar apapun. Hanya terdengar suara telepon yang terputus. Janet mencoba menghubungi Amy sekali lagi namun tak ada jawaban. Tepat saat itu juga, Janet langsung berlari menuju kamar tidurnya dan berteriak, "Edward!!!"

avataravatar
Next chapter