4 Bab Empat

"Model kita kali ini sungguh-sungguh seksi," gumam Amy sambil berdiri melipat kedua tangan di belakang studio foto.

Alison yang berdiri di samping Amy, mengangguk setuju pada pernyataan Amy. "Benar. Kupikir dia hanya model cantik yang bermodalkan wajah dan badan saja. Ternyata, ketika kulihat portfolionya, aku agak terkejut. Kau tahu, dia rupanya pemenang kontes kecantikan Miss Pageant Canada tahun lalu dan seorang editor di majalah Star V di Los Angeles."

Amy dan Alison sedang mengamati jalannya photoshoot. Setelah memastikan make-up dan kostum sudah sesuai tema yang diangkat bulan itu, Amy dan Alison tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Karena begitu tercengang melihat penampilan Jessica Steel –model untuk majalah edisi bulan ini–, Amy dan Alison memutuskan untuk berdiri di belakang studio, memerhatikan Jessica beraksi.

"Wah, pantas saja. Dia memiliki aura bintang," celetuk Amy. "Aku yakin Kai membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Ia akan berhadapan dengan banyak model-model seperti Jessica."

"Hmm, kau benar. Mungkin saja Kai bisa jatuh cinta pada salah satu model kita nantinya," tambah Alison. "Kita tidak pernah tahu, kan?"

Amy hanya memanggut. Entah kenapa, Amy tidak yakin dengan gagasan Alison barusan. Sepertinya, Kai bukan tipe pria yang menyukai wanita-wanita seksi seperti Jessica Steel atau para model lainnya.

Pemotretan akhirnya usai beberapa menit kemudian. Kai bertukar salam pada Jessica Steel, lalu berbalik badan menghadap Alison dan Amy. Amy baru saja hendak menyapa Kai, namun ia terlebih dahulu dikejutkan oleh ponselnya yang berdering nyaring. Amy buru-buru mengeluarkan telepon genggamnya lalu menjawab telepon yang masuk.

"Halo?"

"Halo, Ms. Hirata? Ini aku, Tucker –manajer pribadi Sophie Green. Sepertinya aku akan agak telat siang ini karena aku harus menemani Sophie untuk wawancara di sebuah acara televisi. Apakah tidak apa-apa kalau aku datang kira-kira pukul... 1 siang?"

Amy mengerutkan kening tidak mengerti. Tunggu, tunggu. Tucker? Siapa...

Oh, astaga! Amy baru ingat! Ia membuat janji makan siang dengan manajer aktris broadway ternama Sophie Green hari ini. Ia sudah sepakat membicarakan jadwal Sophie Green untuk wawancara dengan Star Square dalam edisi bulan depan. Ia harus bertemu dengan Tucker siang ini. Dan sekarang sudah jam 12 siang! Oh, bagaimana mungkin ia lupa?

"Oh, ya. Tucker! Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan menunggu. Eh... aku juga akan sedikit terlambat. Sedikit, hanya sedikit," ujar Amy, kikuk.

Tucker tertawa lalu terdengar suara gemerisik. "Baiklah, Ms. Hirata. Sampai bertemu nanti. Selamat siang."

"Ya, selamat siang." Amy menutup telepon lalu berpaling pada Alison dan Kai yang sudah berada di belakangnya. "Aku lupa aku punya janji makan siang dengan manajer pribadi Sophie Green hari ini. Aku harus pergi."

"Oh, kau akhirnya berhasil mengontak Sophie Green?" Raut wajah Alison berubah ceria.

Amy mengedipkan sebelah mata. "Tentu saja. Aku pergi dulu," Amy melambaikan sebelah tangan lalu menoleh pada Kai, "Kai, maaf aku tidak bisa menemanimu makan siang hari ini."

"Jangan khawatir. Aku bisa berpetualang sendiri," jawab pria itu, tenang.

"Jangan pulang tanpa aku! Sampai nanti!" Amy mengucapkan selamat tinggal lalu bergegas keluar.

* * *

Amy sudah menunggu di kafe bernuansa Perancis yang terletak di Madison Avenue itu selama dua puluh menit, namun Tucker belum juga memunculkan batang hidungnya. Amy mengangkat jam tangan dan mendengus. Perutnya mulai menuntut jatah makan siang, tapi ia tidak bisa makan sekarang. Ia tidak boleh terlihat sedang makan jika sedang menunggu seseorang. Apalagi seseorang yang penting. Itu tidak akan terlihat sopan pada pertemuan pertama mereka.

Akhirnya Amy memutuskan untuk memesan segelas kopi lagi. Ia berdiri untuk memanggil seorang pelayan, namun saat hendak berbalik, ia tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan ke arahnya. Tabrakan itu tidak terlalu keras, namun orang yang menabraknya adalah laki-laki. Dan kekuatan laki-laki itu membuat Amy kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Ia hampir saja tersungkur ke lantai, namun ia buru-buru mencengkeram pegangan kursi yang tidak jauh darinya.

"Maafkan aku. Maaf, aku tidak melihatmu."

Amy baru saja hendak menggerutu, namun begitu ia sadar kalau tangan pria yang menabraknya pun menahan tubuhnya agar tidak jatuh, Amy mengurungkan niatnya. Ia mendongak ke arah suara berat itu. Pria yang menabraknya itu adalah seorang pria berambut cokelat, bermata hijau dan bertubuh tinggi. Seorang pria yang tampak masih muda dan memiliki tatapan yang hangat.

Tunggu dulu. Tatapan hangat dan warna mata hijau itu... rambut yang bergelombang... wajah pria ini terasa tidak asing bagi Amy. Sepertinya Amy mengenal pria ini.

"Amy Hirata?" tanya pria itu sambil mengerjap tidak percaya.

Tepat begitu pria itu menyebutkan namanya, Amy langsung mengingat siapa pria yang kini berdiri berhadapan dengannya. "Aaron Hale?" sahut Amy lalu berdiri tegap.

"Ya, ini aku. Amy! Aku tidak percaya aku bisa bertemu lagi denganmu di tempat ini!" Senyum Aaron Hale mengembang dan memunculkan lesung pipi di kedua pipinya.

Pipi Amy tiba-tiba memanas, tepat seperti yang selalu terjadi setiap saat ia bertemu dengan pria ini 10 tahun yang lalu.

Aaron Hale adalah kapten tim futbol di sekolahnya. Semasa SMA dulu, tidak ada satu pun gadis yang tidak jatuh cinta pada Aaron Hale, termasuk Amy. Amy adalah salah satu penggemar berat Aaron Hale. Dan entah apa yang terjadi padanya dulu, dari ratusan gadis di Cardinal Spellman High, Aaron hanya menanggapi seluruh sapaan Amy. Dan pada akhirnya, berpacaran dengan Amy selama satu tahun, sebelum akhirnya Aaron Hale harus pindah ke California karena masalah keluarga dan meninggalkan Amy.

10 tahun berlalu dan Aaron Hale masih terlihat sama seperti dulu; mempesona dan mengagumkan. Mata hijau itu tidak kehilangan sihirnya. Amy masih merasakan pipinya memanas ketika bertemu pandang dengan sepasang mata hangat itu.

"Kukira kau masih di California sekarang," kata Amy, berusaha terlihat tenang.

Aaron Hale tersenyum dan mengusap bagian belakang lehernya. "Aku mendapat panggilan kerja di sini. Kembali ke sini. Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku... juga bekerja di sini. Kau tahu, sejak lahir aku tidak pernah menginjakkan kakiku lebih dari dua bulan di tempat lain selain New York," gumam Amy, menyembunyikan rasa malunya.

"Ah, maksudku, kupikir kau berada di daerah Queens atau Bronx. Kau lahir dan besar di sana, bukan?"

Oh, astaga. Aaron Hale masih ingat beberapa hal tentang dirinya. Bahkan fakta kalau ia lahir di Queens dan besar di Bronx. Itu bukti bahwa Aaron tidak melupakannya selama 10 tahun terakhir. Ini benar-benar membuat Amy harus bekerja ekstra untuk memastikan otaknya bekerja dengan baik.

Belum sempat Amy merespon ucapan Aaron, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya.

"Ms. Hirata? Maaf, membuatmu menunggu lama."

Amy dan Aaron sama-sama menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seorang pria berkulit hitam berjalan menghampirinya dengan seulas senyum sungkan.

Amy mengerjap kaget saat mengenali pria tersebut sebagai Tucker. "Oh, Mr. Tucker. Ti-tidak apa-apa. Aku tidak menunggu lama."

"Kau datang bersama pacarmu?" Tucker menoleh pada Aaron lalu mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Aaron. "Perkenalkan, aku Tucker. Senang bertemu denganmu."

"Oh, haha. Aku bukan...,"

"Dia bukan...,"

Aaron dan Amy bertukar pandang lalu tertawa dengan kikuk. Kemudian Aaron yang mulai menyadari kalau keberadaannya tidak dibutuhkan, langsung menyahut, "Sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Amy."

"Ah, ya. Aku juga. Benar-benar tidak terduga."

"Aku akan tinggal di sekitar Soho. Jadi mungkin... hmm...," Aaron tampak berpikir sejenak lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya. Ia mengulurkannya pada Amy kemudian berkata, "Hubungi aku kalau... kau tidak sibuk. Sampai bertemu lagi, Amy." Aaron berpaling pada Tucker dan tersenyum, "Dan senang bertemu dengan Anda, Mr. Tucker."

"Oh, sama-sama." Tucker tersenyum lebar

Amy melambaikan sebelah tangan sambil ikut tersenyum. "Sampai bertemu lagi, Aaron."

Aaron Hale kemudian berjalan keluar dari kafe dan menghilang ke belokan jalan. Amy menggigit bibir dan memandangi kartu nama berwarna abu-abu yang ia genggam erat-erat. Tulisan nama Aaron Hale membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Ia tidak menyangka kalau ia bisa bertemu lagi dengan Aaron Hale di tempat seperti ini. Ia pikir setelah berpisah cukup lama, ia tidak akan bisa bertemu dengan pria itu. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Sesuatu yang tak terduga.

"Ms. Hirata? Bisa kita mulai makan siang kita sekarang?"

Pertanyaan Tucker membuyarkan lamunan Amy. Amy langsung tertawa kikuk dan membalas, "Oh, maaf. Itu tadi teman lamaku. Silahkan duduk, Mr. Tucker."

* * *

Setelah berjalan-jalan cukup lama, Kai akhirnya berhasil menemukan restoran Jepang yang terletak di Hudson Street, beberapa blok dari tempat kerjanya. Restoran tersebut adalah tempat bernuansa hangat yang didekorasi dengan kayu berwarna krem dan cokelat muda. Tempat yang sederhana namun berkelas.

Awalnya, Kai berharap salah satu pelayan yang bekerja di sini bisa berbahasa Jepang. Namun harapannya itu pupus seketika ia melihat pria berambut pirang menyuguhkan menu padanya dan mengucapkan salam menggunakan bahasa Inggris. Ia menyimpan kembali harapannya untuk bicara bahasa Jepang lalu menyebutkan menu pesanannya pada pelayan tersebut.

Selama menunggu makanannya datang, Kai mengeluarkan kamera yang selalu ia bawa kemana-mana menggunakan tas kecilnya. Kemudian, ia melihat-lihat hasil bidikan yang ia lakukan selama sesi pemotretan tadi.

Model yang menjadi objek bidikannya tadi adalah wanita yang berasal dari Kanada. Postur tubuhnya sempurna dan wajahnya juga cantik. Kai juga harus mengakui kalau wanita tadi memiliki kemampuan yang luar biasa dalam 'merayu' kamera. Tapi, entah kenapa Kai tidak terpukau pada pesona Jessica Steel. Rasanya, seperti ada yang kurang dari wanita itu.

Jika dibandingkan dengan foto Amy yang ia ambil di Central Park kemarin, Kai dapat melihat kalau Jessica Steel tidak memiliki kehidupan dalam setiap tatapan matanya. Amy yang sedang tersenyum memandang langit, sungguh-sungguh terlihat... hidup.

Kai kemudian meletakkan kameranya di atas meja. Sayang sekali Amy tidak bisa menemaninya makan siang hari ini. Tiba-tiba saja Kai sangat ingin mendengar celotehan gadis itu di saat-saat seperti ini.

PRANG!!

Suara piring yang terjatuh tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan dan membuat semua orang menoleh, termasuk Kai. Kai berpaling ke arah sumber suara tersebut lalu membelalak kaget saat mendapati seorang pria paruh baya dengan rambut setengah memutih sedang berjongkok memungut pecahan piring yang sudah berserakan di lantai.

Beberapa pelayan menghampiri pria paruh baya tersebut. Kai yang melihat itu pun tidak dapat menahan diri untuk tidak menghampiri pria itu.

"Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanya seorang pelayan pria.

Pria tua itu menjawab dengan anggukan, "Tidak apa-apa. Ah, maafkan aku. Masukkan saja tagihannya ke bonku. Aku akan membayar ganti rugi atas piringnya."

Kai belum sempat bertanya saat ia sayu-sayu mendengar pria paruh baya tersebut mengeluh dalam bahasanya. Bahasa Jepang.

Seperti menemukan berlian yang terkubur di pasir, Kai menegakkan tubuhnya dan tersenyum. Kemudian ia menyapa pria tersebut menggunakan bahasa Jepang. "Ojisan* baik-baik saja?"

Pria paruh baya yang hendak berjalan melewati Kai, langsung berpaling dan mengangkat kedua alisnya. Kemudian, pria itu pun membalas dalam bahasa yang sama. "Kau bicara bahasa Jepang?"

"Ya, Ojisan. Saya berasal dari Jepang."

"Wah, sudah lama sekali aku tidak bicara dengan orang Jepang secara langsung seperti ini. Kau baru pindah ke sini? Ke New York?" tanya pria paruh baya itu dengan seulas senyum tidak sabar.

Kai mengangguk sopan. "Ya, Ojisan. Saya mendapatkan tawaran kerja di sini dan baru saja tiba di sini tiga hari yang lalu."

"Wah, bagus sekali. Kau sendirian? Mau duduk bersamaku?"

Paman ini sepertinya pria baik-baik. Tidak ada salahnya jika Kai duduk bersama. Toh, ia juga sedang mencari kenalan baru di New York. Kai akhirnya mengiyakan anggukan. Tidak sampai lima menit kemudian, Kai sudah duduk berhadapan dengan pria paruh baya berbadan gemuk tersebut di ujung ruangan dengan jendela terbuka.

"Jadi, kau ke sini untuk bekerja?" gumam pria itu sambil menyesap teh hangatnya dengan perlahan. Raut wajahnya masih tampak ceria dan senyumnya yang ramah masih tersungging sempurna di wajahnya.

Kai mengangguk. "Dan beberapa hal lainnya."

"Beberapa hal lainnya? Seperti melupakan seseorang di Jepang?"

Kai menegakkan posisi duduknya dan hampir melonjak kaget mendengar tebakan pria paruh baya itu. Pria itu bertanya sambil setengah terkekeh. Sepertinya paman ini senang bergurau.

Kai menyahut ragu, "Bagaimana Ojisan bisa berpikir demikian?"

Pria yang duduk di hadapannya itu meletakkan cangkir tehnya, kemudian menyahut, "Karena itulah hal yang membawaku kemari 26 tahun yang lalu. Untuk melupakan seseorang."

Kai termenung selama beberapa detik. "Benarkah?"

Pria itu tampak berpikir sejenak, kemudian pandangannya menerawang ke luar jendela. "Begitulah," jawabnya dengan suara pelan. "Dulu, seseorang memberitahuku kalau kau harus pergi sejauh mungkin untuk melupakan seseorang yang tidak bisa kau lupakan."

Kai memandang pria itu tidak mengerti. Ia menahan mulutnya untuk tidak bertanya karena tampaknya pria itu masih akan melanjutkan ceritanya.

Pria itu memandangi pemandangan jalanan di luar jendela dengan senyuman lalu beralih pada Kai. "Menurutku, kalimat itu ada benarnya. Karena itu, akhirnya aku kabur untuk mengubur semua masa laluku dan memulai hidup baru di sini."

"Sepertinya Anda memiliki masa lalu yang sulit," sahut Kai. Ia memandang pria itu dengan tatapan ingin tahu, berharap pria itu menceritakan lebih.

"Apakah kau memiliki masa lalu yang sulit?" Pria itu balik bertanya.

Kai tidak memiliki hubungan apapun dengan pria ini dan pria ini pun bukan siapa-siapa baginya. Dan lagi, sepertinya setelah ini ia juga tidak akan bertemu kembali dengan pria ini. Kalau begitu, tidak ada salahnya kan jika ia bercerita sedikit tentang apa yang sudah terjadi padanya sejauh ini?

Kai akhirnya menjawab, "Sebenarnya, saya tidak memiliki masa lalu yang sulit. Tapi, sejak seseorang meninggalkan saya, segalanya terasa sulit sekarang."

Pria itu tersenyum penuh arti lalu melipat tangan di dada. "Ditinggalkan oleh seseorang selalu bisa membuat siapa saja ingin pergi ke tempat yang jauh. Bukan begitu?" Pria itu bersandar pada sandaran kursi dan tetap menatap Kai. "Aku sudah kehilangan bidadariku puluhan tahun yang lalu. Sekarang, aku hanya memiliki satu bidadari. Dan aku tidak ingin kehilangannya lagi. Karena itulah aku berada di sini."

Kai bertanya-tanya dalam hati. Siapa bidadari yang dimaksud oleh paman ini? Mengapa ia kehilangan bidadari itu?

Kai menghela napas lalu mencoba menebak, "Anda berada di sini untuk... melindungi bidadari Anda?"

"Dia puteriku satu-satunya dan aku tidak ingin kehilangannya seperti aku sudah kehilangan ibunya," jawab pria yang lebih tua itu dengan tenang.

Ah, ternyata bidadari yang terakhir yang paman ini maksud adalah puterinya.

Belum sempat Kai membuka mulut untuk melanjutkan, pria paruh baya itu mengangkat jam tangannya lalu menyeletuk, "Sepertinya puteriku sudah kembali sekarang. Aku harus mengecek apakah dia baik-baik saja."

Pria itu bangkit berdiri kemudian membereskan mejanya. Kai melakukan hal yang sama kemudian membungkukkan badan, tanda hormat pada pria tersebut. "Terima kasih sudah berbicara banyak, Ojisan."

"Sama-sama. Aku senang bisa bicara dengan kaum sebangsaku setelah sekian lama." Pria tua itu menepuk-nepuk bahu Kai. "Siapa namamu?"

"Saya Yunokawa Kai," jawab Kai sambil tersenyum.

"Ah. Nama yang bagus. Kalau aku, panggil saja aku Eijiro." Pria paruh baya itu memakai mantelnya kemudian mengangkat sebelah tangan. "Sampai bertemu lagi, Kai."

Kai membungkukkan badan. "Senang bertemu dengan Anda, Eijiro Ojisan."

Eijiro tersenyum dengan sangat hangat lalu berjalan keluar dari restoran dan menyeberang jalan menuju sebuah belokan. Kai masih tersenyum saat ia kembali duduk. Ada satu hal tentang pria asing berambut putih tersebut yang membuat Kai merasa tenang; Eijiro memiliki senyum yang familiar.

avataravatar
Next chapter