14 Bab Empat Belas

Hari Senin pagi, Kai dibangunkan dengan suara getaran ponselnya. Kai mengernyit kemudian meraih ponselnya yang terletak di meja kecil di samping ranjang tidurnya. Dengan kedua mata yang sulit terbuka, Kai membaca sebuah pesan yang masuk. Ia mengangkat kepalanya ketika melihat nama Amy muncul di bagian nama pengirim.

Selamat pagi, Kai :)

Seperti yang kau tahu, aku akan berada di Australia selama tiga hari ke depan. Jadi, kita tidak bisa berangkat atau pulang kerja bersama. Tapi kau bisa menggunakan mobilku. Aku menitipkan kunci mobilnya pada Mrs. Lewis. Mengemudilah dengan aman, jangan rusak pedal gasku dengan kakimu yang panjang :P Nikmati tiga hari tanpa aku.

PS: Jangan merindukanku.

Sudut bibir Kai langsung tertarik membentuk senyuman ketika ia membaca pesan tersebut. Namun senyumannya itu tidak bertahan lama. Raut wajahnya berubah sedih seketika ia mengingat kalau Amy akan berada di Australia selama tiga hari ke depan. Gadis itu terus menerus memberitahunya tentang sepupunya yang akan menikah selama seminggu belakangan. Kai tidak keberatan harus mendengar cerita itu terus menerus, namun entah mengapa ia merasa keberatan harus membiarkan Amy pergi.

Dan mengapa Amy sampai perlu repot-repot meminjamkan mobilnya? Bukankah meminjamkan mobil pada tetangga baru adalah hal yang tidak wajar? Apa itu hal yang biasa di New York?

Kai tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Yang ia tahu pasti, ia tidak yakin ia bisa menikmati tiga hari tanpa Amy. Dan ia juga tidak yakin apakah ia mampu tidak merindukan gadis itu selama tiga hari.

* * *

"Mogok? Bagaimana bisa?" Janet McCartney menyambar dengan nada suara tinggi ketika ia memasuki dapur dengan dua gelas teh hangat.

Amy mendesis dan mengangkat sebelah bahu. "Entahlah. Mungkin akinya soak. Aku tidak punya banyak waktu untuk membetulkan mobil di hari Senin sibuk seperti ini. Akhirnya aku menggunakan taksi saja."

Janet McCartney meletakkan dua gelas teh hangat yang telah ia buat di atas meja dapur lalu duduk di samping Amy di salah satu bangku tinggi bar dapurnya. "Sudah kuduga, seharusnya aku menyuruh Edward untuk selalu mengecek mobilmu setiap bulan. Aku akan bilang pada ayahmu untuk mengurusnya."

"Aku sudah menyuruh temanku dan dia sedang mengurusnya sekarang. Tidak perlu repot, Mom." Amy berpura-pura santai lalu menyesap teh hangatnya. Tidak ingin ibunya terus-menerus membahas kebohongan kecilnya, Amy buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Mom, jam berapa kita akan berangkat?"

Janet langsung melonjak gembira dan bertepuk tangan kecil. "Aku sudah menyiapkan semua barang-barangku, kita tinggal menunggu ayahmu yang sedang mandi. Aku baru saja mendapatkan kabar dari nenekmu kalau..."

Ibunya itu mulai berceloteh tanpa henti, membuat Amy baru bisa bernapas lega. Oh, astaga. Apa yang bakal dipikirkan oleh ibunya jika ibunya itu tahu kalau alasan Amy menggunakan taksi untuk pergi ke Queens pagi ini bukan karena mobilnya mogok? Amy yakin ibunya akan berceloteh panjang lebar jika ia sampai tahu kalau Amy meminjamkan mobilnya pada Kai yang adalah orang yang belum lama ia kenal. Oh, ia lebih baik mendengar ibunya berceloteh tentang pernikahan Lily sepanjang hari.

Amy mengangguk-angguk dan berpura-pura mendengarkan ocehan ibunya yang mulai merambat ke masa lalunya. Lalu, tiba-tiba Amy teringat kejadian kemarin.

Pandangan Amy tiba-tiba menerawang jauh. Jauh kembali ke siang hari dimana Aaron Hale mengucapkan kalimat yang membuatnya terperangah dan kehilangan kata-kata.

Apakah kau dan aku bisa kembali seperti dulu lagi?

Ketika Aaron melontarkan pertanyaan itu, tidak ada yang bisa Amy lakukan selain terdiam dan mencari kata untuk diucapkan.

Amy bingung. Ia tidak mengerti kenapa ia tidak bereaksi apapun kemarin. Bukankah ia seharusnya merasa bahagia? Bukankah seharusnya ada gelitikan menggelikan di dalam perutnya yang membuatnya salah tingkah seperti yang ia rasakan saat Aaron mengajaknya berkencan untuk pertama kalinya 10 tahun yang lalu? Bukankah seharusnya jantungnya melonjak tidak keruan?

Seharusnya itu semua terjadi. Tapi nyatanya tidak. Jantung Amy tidak berdegup kencang kemarin. Tangannya tidak berkeringat gugup dan tidak ada gelitikan apalah-itu di dalam perutnya. Satu-satunya yang ia rasakan dalam dirinya saat itu adalah perasaan bingung yang berkecamuk. Bingung, apa yang harus ia ucapkan sebagai jawaban. Bingung, kenapa ia tidak merasakan apapun.

Di dalam kebingungan itu, Amy hanya terdorong untuk mengatakan satu-satunya kalimat yang muncul dalam benaknya saat itu; "Beri aku waktu."

Dan saat inilah waktu yang harus ia gunakan untuk berpikir.

"Jadi, Amy darling, kau sudah menyiapkan barang-barangmu?"

Janet akhirnya mengubah topik dan membuat Amy mengerjap kaget. Amy mengumpulkan kesadarannya lalu memaksakan dirinya untuk menjawab, "Ah, ya. Semua sudah lengkap."

* * *

Taksi yang ditumpangi oleh Amy serta keluarganya berhenti di Bandara Internasional John F. Kennedy. Setelah melakukan pengecekan bagasi, check-in dan lainnya, Amy serta keluarganya menunggu di ruang tunggu. Ketika menunggu pintu masuk dibuka, Janet menyadari sesuatu yang berbeda dari puterinya.

"Amy, bagaimana pekerjaanmu akhir-akhir ini?" Janet bertanya, memulai percakapan.

Amy menopang dagu kemudian menghela napas. "So-so. Semua berjalan dengan baik. Just like what I've always wanted."

Janet ikut menopang dagu lalu mencondongkan wajahnya pada Amy. Seulas senyum menggoda tersungging di wajah Janet. "Apa ada seseorang yang menarik perhatianmu?"

Saat itulah Amy tiba-tiba teringat pada Kai. Senyumnya otomatis mengembang. Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Wajah Aaron tiba-tiba muncul menggantikan wajah Kai dan membuat Amy menarik lagi senyumannya. "Well, ya. Sepertinya ada."

Amy tiba-tiba dapat merasakan aura aneh yang keluar dari dalam ibunya. "Nah, sekarang. Beritahu aku apa yang belum kuketahui," cetus Janet dengan senyum menyeringai yang menggoda. "Mumpung Ayahmu sedang pergi ke toilet."

Amy terkekeh lalu menggelengkan kepalanya. Ibunya lagi-lagi beraksi. "Aku bahkan tidak tahu harus mulai darimana."

"Beritahu aku saja siapa nama pria ini dan apa yang sudah ia perbuat padamu, Amy."

Amy menggigit bibir. "Masalahnya, aku tidak tahu harus menyebutkan nama siapa."

Janet terkesiap dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Ya Tuhan. Ada dua pria?"

Amy mengangguk pelan. "Mom, apa kau ingat dengan Aaron Hale? Mantan pacarku saat di SMA dulu?"

Janet menyipitkan mata, tampak berusaha mengingat-ingat lalu akhirnya mengiyakan dengan anggukan singkat. "Ah, ya. Aku ingat. Si cowok pirang berbadan tinggi itu, kan?"

"Ya. Itu dia. Aaron Hale."

"Ada apa dengan lelaki itu? Kau bertemu dengannya lagi?"

Oh, harus diakui. Insting seorang ibu memang selalu tepat. Walaupun Janet bukan ibu kandungnya, tapi Amy selalu bertanya-tanya darimana Janet mendapatkan indera keenam untuk selalu menebak dengan benar apa yang sedang dipikirkan oleh Amy. "Aku bertemu dengannya lagi di Manhattan."

"Oh, wow. Lalu, apa yang terjadi?"

"Entahlah," Amy mengendikkan bahu. "Saat pertama kali bertemu dengan Aaron, aku merasa sangat gembira. Tapi akhir-akhir ini... entah kenapa aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri, Mom."

Janet mencondongkan badannya pada Amy lalu memasang wajah ingin tahu. "Dan penyebabnya adalah... pria lain?"

Amy tidak langsung menjawab, ia bergeming sejenak. Lalu, "Beberapa waktu sebelum aku bertemu kembali dengan Aaron, aku bertemu dengan pria ini. Namanya Kai, dia orang Jepang –sama sepertiku. Dia fotografer baru yang bekerja di Star Square dan dia juga tetangga di apartemenku.

"Awalnya, aku tidak merasa ada sesuatu yang istimewa tapi akhir-akhir ini... aku sering memikirkannya. Jantungku berdebar setiap saat melihatnya tersenyum. Dan entah bagaimana, dia selalu berhasil membuatku merasa bahagia. Dan perasaan ini membuatku tidak yakin dengan perasaanku sendiri terhadap Aaron." Amy berhenti bicara lalu menatap Janet dengan tatapan bingung. "Mom, apa kau pernah merasakan perasaan semacam ini?"

Janet membalas tatapan Amy kemudian tersenyum hangat. "Dari ceritamu saja, aku sudah bisa menebak ke mana hatimu bercondong."

Amy mengerutkan alis, tidak mengerti.

"Kau gelisah saat menceritakan tentang Aaron padaku. Tapi senyummu mengembang seketika saat kau bercerita tentang Kai," jelas Janet sambil mengusap pipi Amy dengan ibu jarinya. "Amy, kalau kau bingung dengan perasaanmu, hanya ada satu hal yang bisa membantumu."

"Apa itu?" Amy mengangkat alis.

"Ikuti kata hatimu. Karena hatimu selalu membawamu ke arah yang benar."

Amy mencibir dan menggeleng pelan. "Bagaimana aku bahkan tahu seperti apa suara hatiku?"

"Simple," balas Janet sambil tertawa meledek. "Suara hatimu selalu membuatmu bahagia. Bukan gelisah."

Tepat saat itu seorang Edward Hirata kembali dari toilet dan membuat Janet menengadah. Janet menoleh pada suaminya dan membicarakan sesuatu yang tak lagi terdengar oleh Amy yang sibuk dengan bayangan kosong di hadapannya. Suara hatimu selalu membuatmu bahagia.

avataravatar
Next chapter