2 Bab Dua

Manhattan, New York

Tiga hari kemudian...

Kai mendorong troli pengangkut koper dan tasnya keluar dari Terminal Kedatangan Luar Negeri dan mencari-cari seseorang dengan papan yang bertuliskan namanya. Ia baru saja tiba di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Dan semuanya terlihat sangat asing di matanya.

Orang-orang berambut pirang melintas berlalu-lalang, pria berkulit hitam menelepon dengan nada tinggi, kumpulan manusia yang tidak sabar berdiri berkurumun di depan pintu terminal. Oh, astaga. Sudah berapa lama ia tidak melihat pemandangan ini? Sepertinya terakhir kalinya Kai menginjakkan kaki di bandara adalah tiga tahun yang lalu, saat ia dipanggil bekerja untuk sebuah proyek pemotretan di Korea.

Keadaan tubuh Kai saat ini bertolak belakang dengan cuaca New York yang cerah. Kai saat ini sedang mengalami jetlag dan ia benar-benar merasa lelah setelah duduk di bangku pesawat selama berjam-jam.

Saat Kai sedang berjalan ke arah utara, langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Kedua matanya menangkap seorang wanita berambut merah dengan postur tubuh yang jangkung sedang memegang kertas putih bertuliskan namanya. Kai langsung menghampiri wanita itu seketika.

"Permisi...," Kai dengan hati-hati menyapa wanita tersebut.

Wanita berhidung mancung itu menoleh pada Kai dengan sedikit bingung. Kemudian raut mukanya berubah ceria sedetik kemudian. "Oh! Kau Kai Yunokawa, bukan?"

Kai mengangguk ragu. "Ah, ya. Itu namaku."

"Aku menyimpan foto yang kau kirim lewat e-mail, jadi aku bisa mengenalimu." Wanita itu terkekeh lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, aku Alison Whitfield, editor-in-chief majalah Star Square."

Kai membalas uluran tangan Alison. "Namaku Kai Yunokawa. Kau bisa memanggilku Kai."

"Wah, aksen bahasa Inggrismu bagus sekali," puji Alison.

"Ah, terima kasih."

Alison tiba-tiba menepuk tangannya. "Kau pasti sangat lelah kan setelah melakukan perjalanan yang panjang? Sedikit jetlag mungkin?"

Kai mengusap bagian belakang lehernya dengan kikuk. "Ya, haha. Sedikit."

"Aku tahu itu! Haha. Kalau begitu kita harus cepat pergi dari sini. Aku dan temanku sudah menyiapkan tempat untukmu. Kau harus cepat-cepat menyentuh ranjang tidur." Alison berkomentar lalu mulai memimpin langkah Kai menuju lapangan parkir bandara.

Oh, betapa ia sangat bersyukur bisa disambut dengan orang yang baik seperti Alison. Ia pikir, orang yang akan menjemputnya hari ini adalah pria ala New York yang berbadan besar dan menyeramkan. Ternyata ia disambut oleh seorang wanita yang kelewat ramah. Ia bisa menghembuskan napas lega sekarang. Sepertinya hari ini akan menjadi permulaan yang baik.

* * *

Amy merapikan meja kerjanya yang berantakan sambil bersenandung kecil. Ruang kerjanya itu kini sudah tampak rapih dan bersih. Mengapa? Karena ia baru saja menyelesaikan deadline bulan ini. Ya, seperti itulah Amy Hirata. Ia baru akan membersihkan ruangannya jika pekerjaannya sudah benar-benar selesai. Selama ia bekerja, Amy tidak pernah peduli dimana ia meletakkan ponselnya, tas tangan maupun mantelnya. Ia akan fokus total dengan apa yang ia kerjakan.

Amy sangat suka perasaan ini. Perasaan dimana ia tidak lagi dikejar-kejar oleh sesuatu. Oleh tenggat waktu lebih tepatnya.

Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Kemudian wajah Sharon Cole –kepala desain grafis di Star Square– melongok masuk di ambang pintu.

"Ada apa?" tanya Amy sambil mengerjap.

Sharon menoleh ke belakang sejenak lalu kembali menatap Amy. "Alison sudah kembali dengan fotografer pengganti James. Dia mencarimu."

Amy mendesah pelan dan melirik jam tangannya. Oh, ternyata sudah sore. Sebentar lagi ia harus pulang. Tepat waktu sekali. "Oke! Aku akan ke bawah."

"Amy," panggil Sharon, menghentikan Amy yang sudah setengah jalan keluar ruangan.

Amy mengangkat alis pada Sharon. "Kenapa?"

"Dia tampan."

"Apa? Siapa?"

"Si fotografer baru itu. Dia sungguh-sungguh tampan. Jangan lupa gravitasi saat kau melihatnya nanti."

Amy terkekeh geli lalu mengibaskan sebelah tangannya. "Ha! Tenang saja. Satu-satunya sihir yang bisa membuatku terbang hanyalah Vodka dan Martini. Sudah, aku turun dulu." Amy memungut tas tangannya yang terletak di samping meja kerjanya kemudian pergi meninggalkan Sharon ke lobi utama.

Amy berjalan keluar dari lift kemudian menyapu seluruh sudut lobi dengan kedua matanya. Di mana Alison dan si fotografer itu?

"Amy!"

Amy tersentak kaget lalu menoleh ke arah sumber suara yang meneriaki namanya. Ia kenal betul itu suara Alison. Suara yang memekik tinggi seperti suara gadis kecil berumur lima tahun.

Amy mendapati Alison sedang berdiri dekat pintu masuk dan melambaikan sebelah tangannya. Di sebelahnya, tampak seorang pria jangkung berbadan atletis yang sedang memandang ke sekeliling ruangan. Amy membalas lambaian tangan Alison, lalu berlari kecil menghampiri Alison.

"Hei, Al."

"Hei. Oh, ini fotografer yang kuceritakan padamu. Kai Yunokawa," Alison langsung memperkenalkan pria yang berdiri di sampingnya.

Pria itu tersenyum pada Amy lalu mengulurkan sebelah tangannya. Sontak, Amy langsung membalas uluran tangan pria itu. "Apa kabar? Aku Kai Yunokawa."

Amy mengamati wajah Kai Yunokawa dengan teliti. Pria itu tampak masih muda, usianya pasti tidak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya tinggi dan dadanya bidang. Rambut cepaknya berwarna hitam pekat dan diberi gel hingga tampak berdiri rapi. Ia memiliki sepasang mata lebar dan hidung yang mancung. Tulang pipi dan garis rahangnya membentuk wajah yang bisa dibilang sempurna. Amy harus mengakui kalau ucapan Sharon tadi benar. Fotografer baru Star Square benar-benar tampan.

Amy memaksa dirinya untuk sadar dari lamunannya. Lalu ia membalas, "Aku... Amy Hirata. Kau bisa memanggilku Amy. Hahaha."

Kai Yunokawa menegang. Tiba-tiba tatapannya berubah kosong. "Hi... Hirata?"

Amy terkekeh. "Oh, apakah Alison sudah memberitahumu kalau aku juga orang Jepang? Ah, sepertinya belum. Aku juga orang Jepang, sepertimu. Bedanya, aku tidak bisa bicara maupun mengerti bahasa Jepang. Lucu, ya?"

Kai Yunokawa tersenyum tipis lalu menarik tangannya dari Amy. "Ah-ha. Sayang sekali. Aku baru saja ingin menyapamu dalam bahasa Jepang."

"Oh, jangan mencoba. Aku pasti hanya bisa membalas dengan arigato* saja."

"Walaupun kalian tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Jepang, kalian berdua harus bisa berteman, ya?" Alison tiba-tiba menyahut. "Karena, kalian akan menjadi rekan kerja sekaligus tetangga."

"Tetangga?" tanya Kai dengan wajah bingung.

"Kai, Amy adalah tour guide-mu yang akan mengajakmu berkeliling dan orang yang akan tinggal berseberangan denganmu. Jadi, jika kau membutuhkan bantuan atau yang lainnya, kau bisa langsung bicara pada Amy. Dia ini asisten yang sangat hebat."

"Oh, ya. Kau selalu membuat kepalaku membesar, Al." Amy menyela sambil memutar bola matanya. "Jangan menahan Kai terlalu lama. Aku yakin dia sudah sangat lelah sekarang."

"Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan," ujar Kai, setengah gugup.

"Maaf, sudah membuatmu menunggu." Alison tertawa lalu menepuk bahu Kai. "Jadi, Kai, kau akan mulai bekerja besok lusa. Nikmati waktu istirahatmu selama dua hari ke depan dan jangan khawatir, Amy akan memastikan kau baik-baik saja."

Amy mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya lalu memutar-mutarnya dengan jari telunjuk. "Thanks, Al. Kami pergi dulu. Sampai ketemu besok!"

"Terima kasih, Miss... eh, maksudku, Alison." Kai menambahi dengan kaku lalu melambaikan sebelah tangannya.

* * *

Kai menarik kopernya dan berjalan di samping gadis bertubuh mungil itu dengan langkah pelan. Gadis bernama Amy Hirata itu menoleh kesana kemari, terlihat seperti mencari sesuatu. Melihat itu, Kai hanya bisa termenung.

Sejak pertama kali melihat Amy, Kai merasakan ada sesuatu yang mengganggu. Selain nama belakang gadis itu yang sama dengan nama belakang ayah Kyoko yang sudah meninggal, Kai menemukan hal aneh lain yang membuatnya merasa aneh. Kai sendiri tidak yakin hal apa itu. Tapi ia mengetahui satu hal yang pasti: gadis ini tampak tidak asing baginya. Ia seperti pernah melihat gadis ini di suatu tempat.

Kai sedang sibuk memperhatikan jalanan saat Amy tiba-tiba menarik tas pakaian yang ia jinjing dengan sebelah tangannya yang bebas. Kai tersentak dan mengangkat kedua alisnya.

"Berikan padaku. Kau pasti kerepotan harus membawa dua tas besar seperti ini sekaligus, ya?" Amy menarik tas pakaian milik Kai lalu menjinjingnya dengan satu tangan. Lalu gadis itu mengangkat wajah pada Kai dan tersenyum. "Kalau bersamaku, jangan pernah merasa sungkan. Aku lebih senang seperti ini. Hehe."

"Ah, ya. Tapi...,"

"Oh, itu dia mobilku!"

Amy mengangkat kunci mobilnya lalu menekan sebuah tombol di sana. Lalu lampu dari salah satu mobil yang terparkir di pinggir jalan berkedip-kedip. Sebuah mobil mini berwarna merah. Dari kejauhan, Kai dapat mengenali mobil itu sebagai Chevrolet Spark.

Ia dan Amy menghampiri mobil mungil tersebut lalu Kai baru menyadari betapa gadis itu memiliki kekuatan yang tak seperti gadis pada umumnya. Amy bisa menjinjing tas pakaian Kai yang berbobot hampir 5 kg itu tanpa mengeluh.

"Ini dia mobilku. Kau harus terbiasa dengan robot ini, ya? Karena mulai hari ini dan seterusnya, kau akan sering bepergian dengan mobil ini. Tubuhmu muat tidak ya di dalam? Kau kan tinggi sekali. Oh, kau bisa letakkan kopermu di bagasi. Sebentar, akan kubukakan." Amy membuka pintu pengemudi, menekan sebuah tombol di bawah jok lalu berjalan ke belakang mobilnya.

Kai menyadari satu hal tentang Amy yang membuatnya tersenyum –oh, tidak, dua. Amy Hirata memiliki senyum yang manis dan ia adalah gadis yang... cerewet.

Setelah meletakkan koper dan tas pakaiannya ke dalam bagasi, Kai masuk ke dalam mobil. Ia duduk di sebelah Amy yang mengendalikan kemudi dan menjalankan mobil. Kai pikir mobil ini sempit dan sesak. Ternyata jika sudah berada di dalamnya, mobil mungil ini cukup nyaman juga.

Mereka mengarungi jalanan Manhattan yang tampak asing bagi Kai dalam keheningan selama beberapa detik. Kemudian, Amy tiba-tiba membuka suara, "Apa kau sudah pernah ke sini? Ke New York?"

Kai melirik Amy. "Ah, tidak pernah. Negara terjauh yang pernah kudatangi hanyalah Eropa. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Amerika."

"Oh, benarkah? Ini pertama kalinya?" gumam Amy.

"Ya." Kai tertawa. "Aku lebih banyak mendapatkan tawaran kerja di Eropa."

Amy menghentikan mobil di lampu merah lalu menoleh pada Kai. "Aku tidak pernah ke Eropa!" Amy terkekeh. "Negara terjauh yang pernah kudatangi... hmm, apa ya? Oh! Australia! Aku pernah ke Australia untuk mengunjungi keluarga dari Ibuku."

"Keluarga dari Ibumu?" Kai tiba-tiba merasa penasaran.

Amy mengangguk. "Yup. Ibuku adalah orang Australia. Eh..., dia ibu tiriku. Ayahku menikah lagi setelah ia bercerai dari ibu kandungku jadi, sekarang ibuku adalah orang Australia. Kalau Mom adalah ibu kandungku, aku yakin warna mataku tidak akan seperti ini. Dan aku tidak akan memiliki kulit seperti ini. Oh, dan rambutku juga tidak akan sehitam ini."

Kai tersenyum mengerti. "Ya. Penampilanmu benar-benar terlihat seperti orang Jepang."

Lampu lalu lintas berubah hijau. Amy menjalankan mobilnya kembali lalu menyeletuk, "Aku sedih menerima fakta kalau aku adalah orang Jepang yang tidak bisa berbahasa Jepang. Menyedihkan sekali, bukan? Aku pernah bertemu orang Jepang yang tidak bisa berbahasa Inggris, dia berharap kalau aku bisa membantunya berjalan-jalan di sekitar Central Park. Kubilang padanya kalau aku tidak bisa bahasa Jepang dan oh!" Amy memukul roda kemudinya lalu melanjutkan, "...aku benar-benar merasa kecewa saat melihatnya pergi. Oh, ngomong-ngomong, apa kau sudah makan?"

Kai mengangguk dan tersenyum. "Ya. Jangan khawatirkan aku."

"Baiklah. Kupikir aku harus mampir ke McDon's untuk membeli sesuatu. Kau tidak punya masalah dengan junk food, kan?"

"Apa kau penikmat hamburger atau hotdog?"

"Tidak. Tapi aku penggemar berat makanan Cina!" Amy tertawa. "Kau harus mencoba makanan-makanan di Chinatown. Aku akan mengajakmu ke sana nanti."

"Kalau begitu, kau suka kungpao chicken?"

"Ya! Salah satu makanan favoritku! Kau pernah memakannya?"

"Hampir sering," jawab Kai sambil setengah tertawa. "Ibuku memiliki restoran Cina di Kyoto dan biasanya, setiap kali aku menginap di rumah orang tuaku, aku selalu meminta kungpao chicken."

Amy melirik spion, menatap Kai sejenak, lalu kembali ke arah jalanan. "Wah, senangnya. Aku harus mampir ke restoran ibumu suatu saat nanti."

Kai tidak bisa berhenti tersenyum. Ia senang berbicara dengan Amy. Amy bukan tipe orang yang senang menanyakan pertanyaan-pertanyaan menyelidik seperti: 'darimana kau berasal?', 'apa yang kau lakukan di Jepang?' atau 'apa yang membawamu ke sini?' Amy hanya bicara dengan bebas. Dan itu membuat Kai merasa nyaman. Sangat nyaman.

"Itu dia gedung apartemenku. Ups, salah. Maksudku, apartemen kita." Amy memelankan lajunya dan memarkir mobilnya tepat di sebelah gedung putih berlantai empat yang memiliki desain klasik. Ia turun dari mobil lalu mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi.

Setelah itu, Amy memimpinnya masuk ke dalam gedung yang tampak seperti gedung-gedung tua di Eropa itu dengan langkah pelan. Begitu berada di dalam, Kai disambut oleh seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk yang memiliki pipi yang merah.

"Oh, kau pasti teman Amy dari Jepang itu, ya? Aku Jill Lewis. Senang bertemu denganmu." Wanita itu berjabat-tangan singkat dengan Kai.

Kai tersenyum lebar. "Senang bertemu dengan Anda, Mrs. Lewis. Aku Kai Yunokawa. Anda bisa memanggilku Kai."

"Mrs. Lewis, kamarnya sudah siap, kan? Di mana Jeremy? Kukira kemarin dia bilang dia akan membantu?" Amy setengah mengeluh pada Mrs. Lewis.

Mrs. Lewis bertolak pinggang. "Dia ada acara makan malam dengan teman sekolahnya. Dia bilang padaku kalau dia akan meneleponmu."

"Ugh. Bocah itu selalu saja mengumbar janji." Dagu Amy berkerut. "Aku naik dulu. Sampai jumpa besok, Mrs. Lewis."

Amy berjalan menaiki tangga lebar berbelok yang berada di sebelah pintu masuk, meninggalkan Kai berdiri kikuk di hadapan Mrs. Lewis. Setelah mengucapkan selamat malam dan berpamitan, Kai mengikuti Amy dari belakang sambil mengangkat kopernya dengan susah payah. Ketika ia akhirnya berhenti di depan sebuah pintu dengan nomor 1A, Kai menghela napas panjang.

"Kopermu itu...," Kai mendengar Amy bergumam, "...isinya apa?"

Kai tertawa dan mengusap bagian belakang lehernya. "Pakaian dan kamera."

"Kamera? Oh, tidak heran kau kelihatan sangat kesulitan membawanya." Amy lalu berpaling pada kamar di hadapan mereka. "Ini apartemenmu. Ini memang tidak seperti apartemen mewah pada umumnya. Tapi apartemen ini adalah tempat paling aman yang bisa kau temui di seluruh Nomad."

"Nomad?" Kai menatap Amy tidak mengerti.

"North Madison Square," jawab Amy sambil terkikik. "Kau akan belajar banyak tentang New York."

Amy mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya, memasukkannya ke lubang kunci pintu di hadapannya lalu membuka pintu. Sambil membawa tas pakaian Kai yang sejak tadi dijinjingnya, Amy berjalan masuk. Kai menyusulnya dari belakang.

"Di situ kamar tidur, ini dapur dan di sebelah sana adalah kamar mandi. Oh, dan kau bisa menaruh beberapa pakaianmu di kloset kecil di samping kamarmu," Amy menjelaskan sambil berjalan-jalan kecil di sekeliling ruangan.

Apartemen ini sederhana. Tidak terlalu besar dan dipenuhi dengan perabotan yang tidak membuat ruangan tampak sesak. Tempat ini sangat cocok untuk ditempati sendiri.

"Jadi? Sampai bertemu besok?" Amy tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu dan membuat Kai mengerjap kaget.

"Ah, ya. Terima kasih sudah mengantarku dan membawaku kemari. Aku berhutang banyak."

Amy mengibaskan sebelah tangan kemudian mencibir. "Tidak perlu berterima kasih. Oh, kalau kau tidak menyukai tempat ini, kita akan mencari tempat yang lebih bagus dari ini. Kau tahu, maksudku... ini bukan tempat terbaik di New York-,"

"Aku menyukai tempat ini," sela Kai.

Amy bergeming. Gadis itu hanya mengerjap selama beberapa detik lalu tertawa. "Senang rasanya mengetahui kalau fotografer terbaik di Jepang menyukai tempat seperti ini. Kupikir kau mau pindah ke Midtown. Kalau begitu, nikmati istirahatmu. Kamarku tepat di seberang," Amy menunjuk kamar di seberang dengan ibu jarinya. "Kalau kau membutuhkan bantuan, ketuk saja pintuku."

Ah. Jadi apartemen gadis itu berseberangan dengannya?

Kai mengangguk dan mengulas senyum. "Baiklah. Terima kasih."

"Okay. Sampai ketemu... besok!"

"Ya, selamat malam." Kai melambaikan sebelah tangan lalu menutup pintu setelah mendengar Amy membalas salamnya. Ia baru saja hendak berjalan menuju kamarnya saat ia mendengar sebuah ketukan di pintu. Kai kembali membuka pintu dan mendapati Amy tersenyum kaku.

"Aku lupa memberitahu kalau kamar mandinya tidak memiliki pemanas air. Jadi, kalau kau membutuhkan air panas, kau bisa mengambil dari kamar mandiku," ujar Amy.

Kai terkekeh. "Aku tidak punya masalah dengan air dingin."

"Oh, baiklah kalau begitu. Selamat malam!"

Kai kembali mengucapkan selamat malam, lalu menutup pintu. Belum sampai tiga detik ia membiarkan pintu tertutup, sebuah ketukan kembali terdengar. Kai mendapati dirinya tersenyum lelah saat mendengarnya. Ia kembali mendapati Amy berdiri di sana saat membuka pintu.

Gadis itu menggigit bibir saat melihat Kai. "Ehm... jangan membuka jendela di malam hari. Daerah ini sangat ramai. Jadi lebih baik kau menutup jendela kalau kau mau tidur. Itu saja. Selamat malam, mimpi indah."

Kai belum sempat mengucapkan apapun, gadis itu sudah terlebih dulu menutup pintu apartemennya. Kai memandangi punggung pintu apartemennya lalu mendapati dirinya tersenyum.

Sebenarnya Kai sama sekali tidak memiliki masalah dengan tempat tinggal yang mewah. Selama tetangga dan orang-orang di sekelilingnya adalah orang yang ramah, Kai tidak akan mengeluh. Kali ini pun, Kai yakin ia tidak akan punya alasan untuk mengeluh. Sedikit pun.

avataravatar
Next chapter