12 Bab Dua Belas

Kai berjalan mengarungi Hudson Street lalu masuk ke restoran Jepang tempat ia berjanji temu dengan Eijiro. Hari ini, begitu ia tiba di New York, Kai langsung menerima telepon dari Eijiro yang mengajaknya untuk makan siang bersama. Akhirnya, sebelum ia kembali ke Star Square, Kai menyempatkan diri untuk menemui Eijiro.

"Selamat siang, Ojisan. Maaf membuat Ojisan menunggu lama," sapa Kai ketika ia mengambil tempat duduk di hadapan Eijiro.

Eijiro yang tampak ceria siang itu, tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Aku pun baru tiba di sini sepuluh menit yang lalu. Aku baru saja menemui rekan kerjaku."

"Bagaimana kabar Ojisan?"

"Aku baik-baik saja," jawab Eijiro tenang. "Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu denganmu. Dan kupikir, tidak ada salahnya mengajakmu makan siang bersama hari ini."

"Oh, ya. Beberapa hari terakhir saya jatuh sakit dan disibukkan dengan pekerjaan. Jadi, saya tidak sempat menghubungi Ojisan. Maaf."

"Jangan khawatir." Eijiro tersenyum dan mencondongkan tubuh. "Kau tahu, dulu ketika aku dan isteriku baru menikah, aku sangat mengharapkan seorang anak laki-laki. Namun sayangnya, Tuhan hanya memberikanku kesempatan untuk membesarkan anak perempuan. Karena itulah aku sangat senang bertemu denganmu. Kau seperti anakku sendiri. Berapa umurmu, Kai?"

Kai terkekeh kikuk lalu menjawab, "Tahun ini saya berulang tahun ke-30."

"Ah, kau hanya 4 tahun lebih tua dari puteriku." Eijiro mengangguk mengerti. "Apakah kau punya masalah jika aku mengenalkanmu pada puteriku?"

Seperti baru saja menerima tepukan kencang di bahunya, Kai membelalakkan mata kaget. Kemudian ia mengerjap bingung dan tertawa gugup. "Oh, maaf, Ojisan. Eh, saya... ehm. Saya tidak terbiasa..."

Eijiro tertawa dengan suara nyaring lalu menepuk lututnya. "Ahaha! Sudah kuduga. Kau pasti akan menolak. Oh, anak muda jaman sekarang sangat membenci dijodohkan satu sama lain."

Kai hanya ikut menyumbang tawa. "Sebenarnya, aku akan merasa sangat terhormat bisa berkenalan dengan puteri Ojisan. Hanya saja...," Kai menunduk dan mengusap tengkuk lehernya, "...ada seorang gadis yang sudah menarik perhatianku di sini."

Pandangan mata Eijiro langsung berbinar. "Oh, ya? Benarkah? Wah, itu bagus. Apa kau sudah melakukan sesuatu untuknya?"

Kai mengangkat wajah pada Eijiro kemudian berpaling keluar jendela. Mata Kai menerawang menatap pemandangan jalan Hudson Street ketika membalas, "Belum. Tapi aku akan melakukan sesuatu tidak lama lagi."

* * *

Amy memutar-mutar telepon genggamnya di atas meja dengan wajah bosan kemudian menopang dagu. Ia menghembuskan napas berat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang tergantung di seberang meja kerjanya. Sudah jam pulang, tetapi ia tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Padahal seharusnya ia merasa senang hari ini karena ia akan pergi dengan Aaron. Ya, seharusnya begitu. Tetapi, sejak Aaron meneleponnya beberapa menit yang lalu, Amy langsung kehilangan tenaganya.

Bagaimana tidak? Aaron baru saja menghubunginya dan memberitahu kalau pria itu memiliki urusan kerja mendadak yang membuatnya tidak bisa makan malam dengan Amy. Dan Aaron meminta acara makan malam mereka ditunda sampai besok. Tapi, Amy terlanjur membuat janji dengan Kai besok malam. Akhirnya rencana makan malam bersama Aaron di Tribeca pun ditunda sampai besok lusa.

Oh, hari ini benar-benar hari yang membosankan. Semua rencananya tertunda dan ia tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun. Acaranya bersama Kai tertunda, makan malamnya bersama Aaron pun tidak jadi. Apa lagi yang bisa membuat harinya tambah buruk sekarang?

Tepat saat Amy bertanya pada dirinya sendiri, pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Tidak lama setelah itu, seorang pria berbadan atletis dengan potongan rambut cepak memasuki ruangannya. Dan senyuman Amy mengembang seketika. "Kai! Kau sudah kembali."

Kai mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku tidak tahu ternyata kau merindukanku."

Amy langsung menggetarkan kedua bibirnya dengan nada mengejek. "Berharaplah. Kau hanya datang di saat yang tepat."

"Oh, ya?"

"Yup." Amy bangkit dari kursi kerjanya, membereskan meja kerjanya kemudian menyeletuk, "Aaron baru saja meneleponku. Dia memberitahuku kalau ia tidak bisa makan malam denganku malam ini."

"Oh, ya?" Suara Kai terdengar bersemangat. "Kalau begitu kau bisa pergi denganku malam ini. Bagaimana?"

Kedua mata Amy melebar penuh harapan, sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. "Benarkah? Bukankah kau bilang kau akan mengajakku pergi besok?"

"Aku sudah menyiapkan sesuatu dan aku bisa memberikannya padamu kapanpun," jawab Kai sambil mengendikkan bahu. "Bagaimana? Kau bersedia?"

Di hari yang membosankan seperti ini, dimana semua rencananya sudah tertunda, apakah Amy sanggup berkata tidak? Amy mengangguk pasti. "Tentu."

"Berikan kunci mobilmu."

* * *

"Jadi ini rencanamu? Kau hanya mau mengajakku ke sini? Ke Central Park?" sahut Amy ketika berjalan turun dari mobil.

Kai mengunci mobil, kemudian berjalan menghampiri Amy. "Aku punya kejutan menarik di tempat ini," balas Kai. Kemudian ia mengulurkan sebelah tangannya pada Amy dengan cara yang sama seperti seorang pangeran memohon diri untuk menggenggam tangan seorang puteri.

Amy memandang tangan Kai dengan tatapan tidak mengerti.

Kemudian Kai tersenyum dan memberitahu, "Berikan tanganmu."

Sambil mengerjap tidak mengerti, Amy mendaratkan tangannya pada tangan Kai. Kai lalu tersenyum dan menggenggam Amy dengan lembut. "Aku akan berusaha untuk memberikan kencan yang menarik hari ini."

Amy hanya tertegun. Lalu gadis itu hanya bisa membalas dengan senyuman samar. Amy tampak sangat bingung dan canggung pada menit-menit pertama mereka berjalan. Namun, ketika Kai berhasil mengajak Amy bicara tentang cuaca kota New York, Amy mulai berceloteh panjang dan bisa melupakan apa yang membuatnya gugup.

Mereka hanya berjalan menyusuri jalan setapak Central Park sambil bergandengan tangan dan berbincang-bincang tentang banyak hal. Amylah yang paling banyak bicara. Dia menceritakan banyak hal tentang masa kecilnya di Queens; bagaimana gadis itu belajar berlari untuk pertama kalinya di halaman rumahnya yang tidak begitu luas, bagaimana gadis itu belajar mengendarai sepeda, bagaimana gadis itu melewati hari pertamanya di sekolah dan semua tentang masa lalunya.

Kai tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk bicara. Ia hanya meresponi cerita Amy dengan beberapa kata seperti: 'Oh, ya?', 'Itu lucu sekali,' 'Lalu?' dan 'Hmm, begitu rupanya.' Tapi, Kai sungguh-sungguh menikmati jalan sorenya bersama Amy. Mendengar Amy berceloteh tanpa henti adalah hal yang membuat Kai merasa bahagia. Dan terlebih lagi, ia bisa merasakan kehangatan yang telah lama tidak ia rasakan lewat genggaman tangan Amy. Ia sadar kalau ia tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini setiap hari. Karena itu, ia tidak keberatan harus menjadi spons penyerap ocehan Amy.

Tidak lama kemudian, matahari tenggelam dan mulai meredupkan cahayanya. Kai langsung teringat akan rencananya. Ketika mereka tiba di lapangan besar Central Park, Kai langsung melepaskan genggamannya dari Amy dan menyahut, "Aku sudah memberitahumu kalau aku sudah menyiapkan sesuatu, bukan?"

Amy terkikik geli dan mengangguk. "Ya, ya. Kau sudah mengatakan itu tiga kali hari ini."

"Lalu, apa kau sudah siap melihatnya?"

Senyuman Amy melebar. "Tentu saja."

"Bagus."

Dari dalam tas ranselnya, Kai mengeluarkan sebuah map kertas berwarna cokelat yang cukup tebal lalu memberikannya pada Amy. Amy menerima map tersebut dengan kerutan dahi. "Apa ini?"

"Bukalah," perintah Kai.

Amy menuruti ucapan Kai lalu membuka segel map cokelat tersebut dengan hati-hati. Amy lalu mengeluarkan isinya dan mengerjap tidak mengerti. Map cokelat itu hanya dipenuhi dengan foto-foto bergambar abstrak yang tidak jelas. Amy yang tidak dapat mencari tahu gambar foto tersebut, memandang Kai dengan bingung. "Foto apa ini?"

"Di balik foto-foto itu tertulis angka 1 sampai 50. Susun foto-foto tersebut sesuai angka di atas rumput. Setelah itu, kau akan tahu foto apa itu," jelas Kai.

Amy lalu mengerutkan dagunya. "Kau menyuruhku menyusun ini semua?"

"Kau mau melihat kejutan, bukan?"

"Ya, tapi-,"

"Kalau begitu, lakukan seperti yang kukatakan," sela Kai.

Amy bergeming selama beberapa detik, lalu mulai melakukan apa yang diperintahkan Kai. Gadis itu berjongkok di atas rumput, mengurutkan setiap foto sesuai angka yang tertera dibaliknya satu per satu. Lalu setelah ia selesai menyusun ke-50 lembar foto tersebut, Amy bangkit berdiri dan berkacak pinggang. "Apa ini?" cetus Amy. "Aku masih tidak mengerti."

"Itu karena kau melihatnya dari arah yang salah," ujar Kai. Ia lalu menarik Amy berjalan ke sisi lain susunan foto tersebut. "Sekarang mundur lima langkah."

Amy berjalan mundur sebanyak lima langkah lalu mengamati susunan foto yang ia letakkan di atas rumput dari kejauhan. Kedua matanya menyipit kemudian perlahan-lahan melebar kaget. Ya Tuhan.

Susunan foto-foto itu ternyata membentuk sebuah foto raksasa seorang gadis yang sedang tersenyum memandang matahari. Dan betapa kagetnya Amy ketika menyadari kalau gadis dalam gambar itu adalah dirinya. Oh, astaga! Ternyata foto-foto abstrak itu adalah bagian-bagian kecil yang membentuk gambar dirinya. Dan wajahnya terlukis dengan sempurna!

Amy buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan pemandangan tersebut. Ya, Tuhan. Ini benar-benar mengagumkan. "Astaga, Kai. Ini benar-benar indah. Astaga... aku sampai tidak tahu harus bicara apa."

"Kalau begitu, tidak perlu bicara apa-apa," celetuk Kai yang berdiri di samping Amy.

Amy kemudian tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepalanya pada foto raksasa tersebut. "Aku tidak tahu kalau kau ternyata lelaki yang penuh kejutan."

"Aku sudah seperti ini sejak lahir."

Amy tersenyum penuh lalu tiba-tiba berjinjit dan melingkarkan kedua lengannya pada bahu Kai. Ia memeluk Kai dengan erat, mengabaikan beberapa orang yang memerhatikan mereka lalu berkata, "Ini kejutan terindah yang pernah kudapati dari seseorang. Terima kasih banyak, Kai. Kau membuat hariku menyenangkan."

"Suatu kehormatan bagiku," ujar Kai setelah Amy melepaskan pelukannya. Ia berdeham kikuk lalu mengusap bagian belakang lehernya. Entah kenapa Kai tidak dapat merasakan oksigen memasuki dirinya selama beberapa saat Amy memeluknya tadi. Degup jantungnya pun melonjak menyentuh dadanya.

"Apakah kau selalu seperti ini jika sedang berkencan? Penuh kejutan?" tanya Amy sambil mengayunkan sebelah tangan pada foto-foto tersebut.

Kai mengangguk. "Kau bisa mencari tahu kalau kau terus berkencan denganku."

Amy mencibir lalu menyiku Kai. "Bilang saja kalau kau ingin mengajakku kencan lagi. Iya, kan?"

"Ya. Kau benar."

Amy terdiam sejenak.

"Aku memang ingin mengajakmu kencan lagi," tambah Kai ketika Amy tetap diam selama beberapa detik yang lama.

Kemudian Amy mengerjap dan tersenyum paksa. "Aku... tidak keberatan."

"Benarkah?" Kai memamerkan senyum puasnya. "Kalau begitu, kau pasti tidak keberatan kalau aku mengajakmu untuk pergi bersama ke pernikahan Ms. Cole dua minggu lagi."

"Eh, apa? Pernikahan Sharon?"

Kai mengangguk. "Apa kau tidak menerima undangannya?"

"Ah, aku menerima undangannya. Tapi... kenapa kau mengajakku?"

"Karena aku tidak mempunyai teman kencan."

"Jadi... kita berdua akan pergi bersama? Ke pernikahan Sharon?"

"Kalau kau menerima tawaranku dan menjawab 'ya'."

Amy bergeming, menggigit bibir lalu menjawab, "Baiklah."

"Kau akan pergi bersamaku?" tanya Kai.

"Kau mau aku berubah pikiran?" Amy balas bertanya.

Kai lalu menggeleng dengan cepat. "Tidak. Jangan. Perhatikan saja fotonya agar kau tidak berubah pikiran," ujar Kai lalu mengarah pada susunan foto yang tergeletak di rumput.

Amy tertawa renyah lalu berjongkok di samping foto-foto tersebut. "Kai, sepertinya kau harus memajang ini di apartemenku. Oh, atau kau bisa menaruh ini di rumah ayahku. Ayahku sangat senang dengan lukisan."

"Oh, ya?"

"Ya. Tapi, kalau gambar ini diletakkan di rumah orang tuaku, aku tidak akan bisa melihatnya. Hmm, lebih baik diletakkan di apartemenku saja. Bagaimana?"

"Itu ide yang bagus."

"Kau tahu cara menempelnya di tembok?"

"Tentu saja."

"Bagaimana? Dengan cara apa? Memakai double-tape? Atau lem kertas?"

"Aku punya caraku sendiri."

"Hmm. Entah kenapa kau terdengar meragukan."

Angin sore kota New York berhembus, matahari perlahan-lahan bersembunyi di balik daratan. Hari itu Amy sungguh-sungguh merasa tenang dan bahagia. Saking bahagianya, ia sampai tidak sadar kalau ia telah membuat pilihan dengan siapa ia akan pergi pada hari pernikahan Sharon nanti.

avataravatar
Next chapter