8 Bab Delapan

"Pernikahanmu?" Kai mengangkat kedua alisnya pada Sharon Cole yang berdiri di ujung studio. Ia agak terkejut ketika menerima undangan berwarna krem pucat dengan namanya pada nama tamu yang diundang.

"Ya, pernikahanku," jawab Sharon sambil tersenyum penuh. "Aku sudah mengundang semua staf dan karyawan di Star Square. Dan undangan itu untukmu."

"Oh, terima kasih banyak. Ini adalah undangan pertama yang kuterima di New York."

"Bukankah itu menyenangkan? Oh, aku akan sangat senang kalau kau bisa datang dengan seseorang," ujar Sharon.

Kedua mata Kai melebar. "Seseorang? Maksudmu... 'seseorang'?"

"Oh, jangan pura-pura bodoh, Kai. Tentu saja itu maksudku!" seru Sharon sambil setengah tertawa. "'Seseorang' maksudku adalah 'wanita'."

Kai terdiam sejenak. Lalu ia tertawa sendiri, "Entahlah. Aku tidak yakin aku bisa mengajak seseorang pada hari pernikahanmu nanti."

Sharon tiba-tiba tersenyum jahil. "Kau bisa mengajak Amy."

Kedua alis Kai terangkat kaget. Dari mana nama itu muncul? "Amy?" tanya Kai, tidak percaya.

"Ya, Amy." Sharon mengangguk. "Waktu aku memberikan undangan pernikahanku padanya, dia bilang dia tidak yakin apakah dia akan datang dengan seseorang. Kau tahu kan seorang wanita tidak akan pernah mengajak seorang pria. Jadi, kupikir tidak ada salahnya kalau kau mengajaknya."

Benarkah? Jadi Amy tidak akan datang dengan seseorang? Gadis itu tidak akan mengajak pangeran masa mudanya untuk datang bersamanya? Kalau begitu, mungkin ia bisa mengikuti saran Sharon untuk mengajak Amy.

"Lagipula, kulihat kalian berdua sangat serasi." Sharon kembali menyeletuk sebelum Kai sempat memberi komentar. "Sudah dulu, ya. Aku harus kembali ke ruanganku. Sampai nanti, Kai."

"Sampai nanti, Ms. Cole. And thank you."

Sepeninggal Sharon dari ruangannya, Kai duduk termenung di balik komputernya. Kedua matanya mengamati undangan pernikahan Sharon Cole dengan mata menyipit.

Tidak ada salahnya kalau kau mengajaknya...

* * *

Amy merapikan meja kerjanya lalu meregangkan kedua tangannya. Ia bisa mendengar tulang belakangnya mengeluarkan bunyi 'krak' seraya ia berdiri tegak.

Pekerjaannya akhirnya selesai. Setelah tidak tidur sampai jam 2 pagi, seluruh pekerjaan dadakannya itu pun akhirnya selesai. Ia harus berterima kasih banyak pada Kai. Pria itu sudah menemaninya tanpa mengeluh semalam. Dia memberi Amy saran yang diperlukan, selalu mengajaknya bicara setiap saat ia hampir tertidur dan tidak menguap sedikit pun! Oh, baru kali itu Amy merasa sangat terbantu dengan kehadiran seseorang. Mungkin, mentraktir pria itu makan siang di restoran Cina bukan ide yang buruk.

Amy tersenyum dan melirik jam dinding. Sebentar lagi makan siang. Lebih baik ia menelepon Kai sekarang.

Tepat saat Amy mengulurkan tangan hendak mengambil ponselnya, telepon genggamnya itu menyala dan mengeluarkan bunyi ringtone yang nyaring, menandakan seseorang meneleponnya. Amy mengangkat kedua alisnya dan otomatis tersenyum saat melihat nama Aaron Hale tertera di layar. Amy buru-buru menjawab panggilan tersebut, "Hei, Aaron."

"Hei, Amy. Apa aku mengganggumu?"

Mendengar suara serak milik Aaron, membuat senyum Amy perlahan-lahan mengembang. "Tidak. Kau tidak mengganggu. Kau tepat waktu."

"Benarkah? Oh, well, ada yang ingin kutanyakan padamu."

Amy mengangkat sebelah alis. "Oh, silahkan. Tanya saja."

"Apakah kau ada waktu hari Sabtu besok?"

"Hmm, mungkin. Ada apa?"

"Begini, aku mempunyai dua tiket menonton gratis dari temanku yang bekerja di bioskop. Dan aku teringat kalau kau sangat suka menonton. Jadi aku ingin mengajakmu untuk pergi bersamaku. Bagaimana?"

Amy tahu jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Sudah pasti dan akan selalu, "Tentu saja. Aku akan pergi denganmu."

* * *

Kai meraih ponselnya dan baru saja hendak menghubungi Amy. Namun telepon genggamnya itu lebih dulu menyala dan berbunyi nyaring. Ada orang yang meneleponnya. Oh, kebetulan sekali. Kai mengerjap kaget ketika melihat nama Eijiro tertera di layar ponselnya. Kai langsung menjawab panggilan tersebut tanpa ragu, "Moshi-moshi? Ojisan?... Oh, besok? Tidak, saya tidak memiliki acara apapun... Oh, tentu saja. Saya sangat senang bisa menemani Ojisan... Baik. Sampai bertemu besok, Ojisan."

Kai menutup telepon. Itu tadi sebuah ajakan dari Eijiro. Pria itu kali ini mengajak Kai untuk menghadiri sebuah pameran lukisan bersama. Eijiro memberitahunya kalau ia tidak memiliki kerabat untuk diajak pergi bersama dan akhirnya berpikir untuk mengajak Kai. Kai yang merasa terhormat bisa menerima ajakan itu, tidak memiliki alasan untuk menolak. Lagipula, ia selalu bebas di akhir pekan. Tidak ada rencana, tidak ada kegiatan. Biasanya, satu-satunya orang yang mengajaknya pergi ke suatu tempat hanyalah Amy.

Amy.

Oh, Kai baru ingat kalau ia harus menelepon Amy tadi. Tunggu dulu. Kalau tidak salah, pernikahan Sharon baru diadakan satu bulan lagi, bukan? Kalau begitu ia masih punya banyak waktu. Mungkin, ia bisa bertanya pada Eijiro bagaimana cara yang benar untuk mengajak seorang wanita.

* * *

"Aku baik-baik saja di sini. Pekerjaanku berjalan dengan baik, aku bertemu banyak orang baru dan aku menyukai tempat tinggalku. Semuanya baik-baik saja di sini," jelas Kai pada Keisuke yang menuntut banyak cerita di telepon.

Keisuke mendengus lalu mendecakkan lidah. "Jadi, kalau semuanya baik-baik saja kau tidak menelepon dan memberitahuku kabarmu?"

"Haha. Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku agak sibuk." Kai memindahkan ponsel ke telinga kirinya lalu menghempaskan badan ke sofa ruang duduknya.

"Jadi?" tanya Keisuke.

"Jadi apa?"

"Jadi apakah ada hal baru? Kau bilang semuanya berjalan baik-baik saja di sana. Itu terdengar agak membosankan bagiku. Apa tidak ada hal baru?"

Ketika ditanya apakah ada hal baru, hal pertama yang muncul di benak Kai adalah wajah Amy. Tapi, ia tidak yakin ia bisa menceritakan Amy pada Keisuke. Akhirnya, Kai menjawab, "Tidak ada. Maksudku, semua yang kutemui di sini adalah hal baru bagiku. Jadi, semuanya menyenangkan."

"Pfft. Membosankan." Keisuke mendengus. "Ngomong-ngomong, aku ingin memberitahumu kalau sepertinya pernikahanku akan dipercepat."

Alis Kai terangkat. "Oh? Ada apa?"

"Pihak keluargaku meminta pernikahannya dipercepat. Jadi, aku dan Rin sepakat untuk mengadakan pernikahan kami sekitar 6 bulan lagi."

"6 bulan?"

"Ya, atau mungkin kurang."

"Kurang dari 6 bulan?" Nada suara Kai melonjak naik.

Tepat pada saat itu, terdengar suara ketukan yang cukup kencang dari pintu apartemennya. Kai berpaling ke arah pintu kemudian bangkit dari sofa. "Aku akan meneleponmu lagi besok. Aku ada tamu. Sampai nanti, Keisuke."

Kai menutup telepon lalu berjalan menuju pintu apartemennya. Astaga, sekarang sudah jam sembilan malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Kai membuka pintu kemudian mengerjap kaget saat melihat Amy berdiri di depan apartemennya sambil tersenyum lebar. Tidak hanya itu, gadis itu pun membawa sekantung penuh cemilan dan beberapa botol soda.

"Selamat hari Jumat, Kai!" sahut Amy sambil melambaikan tangannya yang menjinjing plastik bawaannya.

"Hai, Amy. Kau baru belanja?"

"Ya. Dan ini semua untukmu."

Kedua mata Kai melebar bingung. "Untukku?"

"Yup!" Amy tersenyum lebih lebar. "Karena kau sudah menemaniku menyelesaikan semua pekerjaanku kemarin, aku ingin berterimakasih padamu dengan berpesta!"

"Pesta?"

Amy mengangguk tanpa melunturkan senyumannya.

"Kupikir pesta di New York selalu dipenuhi dengan banyak orang, alkohol dan hal-hal semacamnya," gumam Kai.

"Tidak, ini bukan pesta New York. Ini pesta rahasia Amy dan Kai. Ngomong-ngomong, kau tidak membiarkanku masuk? Asal kau tahu saja, plastik-plastik ini cukup berat."

"Oh, maaf." Kai terkekeh lalu memberi jalan untuk Amy berjalan masuk.

Gadis itu melepaskan alas kakinya lalu melesat menuju ruang duduk. Ia meletakkan seluruh barang belanjaannya di atas meja pendek lalu menyalakan TV. "Kau tidak punya masalah dengan film horor, kan?"

"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Kai sambil duduk bersila di atas sofa.

Amy mengeluarkan cemilan ringan dan semua makanan yang ia beli dari dalam kantung plastik lalu menunjukkan sebuah kotak DVD pada Kai. "Ta-da! Kita akan menonton ini malam ini."

Kai menyipitkan mata dan membaca judul DVD yang ditunjukkan oleh Amy. "Halloween Resurrection?"

"Yup!" Amy meletakkan DVD tersebut di atas meja lalu duduk di sebelah Kai dengan sebelah lutut tertekuk. "Dan kau tahu apa?"

Kai menatap kedua mata Amy yang berbinar. "Apa?"

"Besok aku akan pergi menonton dengan Aaron Hale!"

Aaron Hale? Oh. Si pangeran kesiangan. Kai memaksakan seulas senyum dan mencoba terlihat biasa. "Oh, ya?"

"Ya!" Amy tersenyum senang dan bertepuk-tangan kecil. "Tadi siang dia meneleponku dan bilang padaku kalau dia memiliki dua tiket menonton bioskop gratis dari temannya. Lalu dia mengajakku untuk menonton bersama karena dia ingat kalau aku sangat suka menonton! Oh, astaga. Ternyata dia tidak melupakan banyak hal tentangku, Kai! Bukankah itu bagus?"

"Oh, ya. Tentu saja." Kai bangkit dari sofa, pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas kosong lalu kembali ke ruang duduk. Dan senyuman Amy masih belum memudar saat ia kembali dari dapur.

"Ini pertama kalinya sejak sekian lama kami kembali berkencan! Aku benar-benar tidak sabar menunggu besok. Oh, dan Kai, sepertinya kita tidak bisa pergi kemana-mana besok. Aku tidak bisa menemanimu keliling New York."

"Tidak apa-apa," ujar Kai sambil mengambil salah satu botol soda yang berdiri di atas meja lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kosong yang ia ambil dari dapur. "Kebetulan aku juga mempunyai janji dengan seseorang besok."

"Apa?"

Kai berpaling pada Amy. Kali ini senyum gadis itu memudar. "Apa?"

"Janji dengan seseorang?"

Kai mengangguk.

"Jadi kau sungguh-sungguh sudah berteman dengan seseorang... di Manhattan?"

"Ya. Begitulah."

"Dan kau akan pergi dengan temanmu itu besok?"

"Ya."

"Dan temanmu itu akan mengajakmu berkeliling New York?"

Kai tidak yakin apakah Eijiro akan mengajaknya keliling New York, tapi, "Ya, mungkin saja. Kami bahkan sudah pergi ke The Ramble beberapa hari yang lalu."

"Kau? Pergi ke Central Park lagi? Tanpa aku?"

Kedua alis Amy kini terangkat naik. Matanya melebar dan posisi duduknya mencondong ke arahnya. Uh-oh. Apakah ini pertanda buruk? Apakah Amy Hirata marah padanya?

"Ya. Tapi, hanya sebentar," jawab Kai, kikuk.

Amy mengerutkan dagu samar lalu mengerjap. Gadis itu tampak sedang memikirkan sesuatu. Sepertinya jika terus dibiarkan, Amy akan menghujaninya dengan ocehan dan rencana menonton bersama malam ini akan gagal. Kai tidak ingin merusak rencana yang sudah disiapkan oleh gadis itu. Akhirnya, Kai buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Sepertinya Halloween Resurrection ini film yang bagus. Mari kita lihat." Kai mengambil DVD yang tergeletak di atas meja, mengeluarkan kepingan CD di dalamnya kemudian memasukkannya ke dalam DVD player di bawah televisi. Ia memainkan film tersebut lalu kembali ke tempat duduknya.

Amy sudah mengubah posisi duduknya menghadap televisi saat Kai kembali. Namun pandangan gadis itu masih tampak tak fokus. Sepertinya isi pikirannya melantur ke suatu tempat.

Kai tidak mengerti. Apakah ia sudah salah mengucapkan sesuatu hingga membuat gadis itu termenung? Seingatnya tadi, ia hanya menjawab pertanyaan yang gadis itu ajukan. Kai menarik napas dan diam-diam menghembuskannya. Semoga saja tidak ada yang salah.

* * *

Selama film diputar, Amy banyak memberikan komentar. Gadis itu menertawakan adegan-adegan yang menurut Kai adalah hal yang seram, lalu menceritakan beberapa cerita mengenai pemeran utamanya yang adalah seorang psikopat dan tanpa sadar memberitahu Kai seluruh alur cerita sampai ke bagian akhir. Gadis itu bercerita seperti seorang anak kecil yang bercerita pada orang tuanya kalau ia menemukan cara bagaimana pesawat bisa terbang.

Walaupun Kai tidak dapat menikmati filmnya karena Amy tidak berhenti mengoceh, Kai merasa senang. Ia bersyukur gadis itu sudah melupakan percakapan tentang teman baru yang membuatnya tidak nyaman. Ia pun tidak keberatan harus menghabiskan banyak cemilan yang diberikan oleh Amy, karena malam itu adalah pertama kalinya Kai bisa bersantai setelah sekian lama. Ia pun harus mengakui kalau Halloween Resurrection adalah film pertamanya setelah satu tahun yang lama.

Keesokan harinya, Kai menerima pesan dari Eijiro kalau pria itu akan menjemputnya di Hudson Street sekitar jam sepuluh pagi. Dan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan ketika Kai membaca pesan tersebut. Dengan tergesa-gesa, Kai bersiap-siap lalu bergegas ke Hudson Street. Oh, semoga ia tidak membuat pria itu menunggu.

* * *

"Amy? Apa kau mendengarku?"

Amy mengerjap kaget lalu menegakkan tubuhnya . Ia mengangkat wajah pada Aaron yang duduk di depannya. "Oh, ya. Aku mendengarmu," jawab Amy sambil terkekeh malu.

Sebenarnya, tidak. Amy berbohong. Ia tidak memperhatikan apa yang sedang dibicarakan dan ia tidak mendengarkan Aaron. Perhatiannya sepenuhnya terpusat pada ponselnya yang tergeletak di ujung meja. Benda itu tidak berbunyi sejak Amy meninggalkan apartemen dan belum juga bergetar sampai sekarang.

Kai belum menghubunginya.

Pria itu belum memberitahunya dimana ia berada seperti yang biasa pria itu lakukan setiap hari. Amy pun tidak mendengar apapun dari Kai ketika ia mengetuk pintu apartemen pria itu sesaat sebelum ia pergi pagi ini. Kemungkinan Kai sudah pergi lebih dulu darinya. Tapi kenapa dia tidak memberitahunya?

"Sepertinya ada yang mengganggumu," gumam Aaron, tiba-tiba. "Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?"

Amy tersenyum paksa dan menggeleng. "Tidak. Tidak ada. Aku tidak apa-apa."

Amy menegak ice lemon teanya dan mencoba terlihat biasa. Oh, itu usaha yang sangat sulit. Bagaimana mungkin ia bisa terlihat biasa saja ketika kenyataannya adalah sebaliknya? Ia tidak tahu dimana Kai saat ini dan apa yang sedang pria itu lakukan bersama temannya yang tidak jelas itu.

Apakah teman barunya itu mengajak Kai berkeliling New York seperti yang Amy lakukan? Apakah teman barunya itu memberikan tumpangan pada Kai seperti yang Amy lakukan? Apakah teman baru Kai Yunokawa melakukan hal-hal yang tidak Amy lakukan dan membuat pria itu tidak lagi membutuhkannya?

Oh, ya ampun.

"Baiklah," ujar Aaron. "Kau bisa bercerita padaku kau tahu... kalau kau mempunyai masalah."

"Oh, ya. Tentu." Amy tersenyum lebar. "Jadi, film apa yang akan kita tonton hari ini?"

* * *

Ternyata Eijiro mengajaknya ke sebuah daerah di New York yang bernama Queens. Kai belum pernah mendengar apapun tentang Queens ataupun menginjakkan kaki di sana, tapi daerah itu adalah tempat yang ramai.

Pameran lukisan yang dihadiri oleh Kai dan Eijiro terletak di sebuah gedung kesenian di Long Island City. Tempat itu dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian perlente dan beberapa penikmat seni. Kai juga melihat banyak wartawan dan awak media mengerumuni pameran tersebut.

Kai tidak terlalu senang berada di tempat-tempat ramai dan mewah seperti ini. Dan ia bersyukur ternyata Eijiro tidak membuatnya harus bergelut melawan kebosanan selama berjam-jam di sana. Pria itu hanya mengajaknya berkeliling, mengenalkannya kepada beberapa temannya lalu pergi untuk makan siang di sebuah restoran Meksiko.

Kai baru akan menanyakan Eijiro bagaimana kabar pria itu saat ia menyadari sesuatu. Ia lupa menghubungi Amy. Oh, astaga.

Kai buru-buru merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponselnya. Ia memencet tombol yang terletak di samping layar lalu mengerutkan alis bingung saat mendapati layar telepon genggamnya tidak menyala. Oh, tidak. Ponselnya kehabisan baterai. Ia kesiangan dan ia lupa mengisi baterai ponselnya tadi malam. Ini benar-benar mimpi buruk. Ia tidak bisa menghubungi Amy.

"Jadi, bagaimana kabarmu, Nak?"

Kai mendengar Eijiro terlebih dulu menanyai kabarnya. Ia memusatkan perhatiannya pada Eijiro lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Ia akan memberitahu Amy kalau ponselnya mati begitu ia tiba di apartemen nanti malam. Gadis itu pasti akan memaklumi. Lagipula, dia bukan seseorang yang memiliki kewajiban untuk selalu memberitahu gadis itu dimana pun ia berada, bukan? Dan lagi, gadis itu pasti sedang menikmati kencannya bersama pangeran masa mudanya. Ya, benar. Amy pasti sedang tidak ingin diganggu saat ini.

Akhirnya, Kai mengangkat wajah pada Eijiro. "Seperti biasa, tidak terlalu baik. Saya masih beradaptasi."

"Ah, ya. Kau memang memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menaklukkan Manhattan," ucap Eijiro lalu menyesap kopi panasnya. "Aku yakin puteriku pun begitu."

Kai mengangkat alis. "Puteri Ojisan tinggal di Manhattan?"

"Ya. Dia memutuskan untuk hidup sendiri, jauh dariku di Manhattan."

Kai yang sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, akhirnya bertanya, "Puteri Ojisan... apakah dia seseorang yang menyerupai isteri Ojisan?"

"Puteriku?" Eijiro tersenyum lalu melempar pandangannya ke luar restoran, ke arah jalan raya yang dipenuhi oleh pejalan kaki, penyeberang jalan dan beberapa kendaraan. Matanya tampak menerawang. "Dia adalah seseorang yang sempurna. Puteriku memiliki senyuman yang selalu bisa membuat siapa saja bahagia, tawa yang selalu bisa membuatmu tersenyum dan tatapan yang hangat. Dia peri kecilku yang sempurna."

Kai mendapati dirinya tersenyum kecil.

"Aku tidak ingin kehilangan bidadari terakhir yang kumiliki," lanjut Eijiro sambil mempertahankan senyumannya tetap tersungging di wajahnya.

Kai menelan ludah dan bergeming. Kai bisa melihat dari sorot mata pria itu kalau Eijiro sungguh-sungguh mencintai puterinya.

"Saya yakin puteri Ojisan adalah orang yang istimewa," ujar Kai.

Eijiro tersenyum penuh lalu menepuk punggung tangan Kai. "Terima kasih banyak, Kai."

Tidak lama setelah itu, seorang pramusaji mengantarkan pesanan mereka dan percakapan mengenai kota New York mengambil alih suasana.

avataravatar
Next chapter