18 Bab Delapan Belas

New York

Tiga hari kemudian...

Hari masih sore ketika Kai menginjakkan kaki di bandara Internasional John F. Kennedy. Kai menoleh kesana kemari. Matanya mencari sosok gadis yang ia kenal di antara kerumunan orang yang sibuk. Tidak ada. Amy Hirata tidak ada di manapun. Gadis itu tidak datang untuk menjemputnya seperti yang dikatakannya lima hari yang lalu. Kai tidak merasa kesal sama sekali tapi kini, ia merasa sangat khawatir. Ia telah menghubungi Alison, Sharon dan beberapa staf Star Square, tapi tak ada yang tahu dimana Amy berada.

Begitu dilihatnya ia tak memiliki harapan apapun, Kai langsung mencegat taksi yang melintas dan meminta supirnya untuk langsung mengantarnya ke Manhattan. Dalam perjalanan, tak ada yang bisa dilakukan Kai selain memikirkan Amy. Apa yang sebenarnya terjadi pada Amy? Apa gadis itu baik-baik saja?

Tak sampai lima menit kemudian, Kai dikejutkan dengan bunyi nada dering ponselnya. Kai buru-buru mengangkat teleponnya tanpa melihat nama penelepon. "Halo?"

"Kai???" tanya seseorang di seberang sana. Itu suara Alison.

Kai tanpa sadar mencondongkan tubuhnya. "Oh, hai, Alison. Aku baru sampai dan sedang dalam perjalanan ke Star Square."

"Tidak, jangan. Kai... Amy... ini benar-benar tidak dapat dipercaya..." Suara Alison terdengar melemah. Tiba-tiba perasaan Kai tidak enak.

Kai mengerutkan alis, bingung. "Al, tenang. Bicaralah dengan tenang. Apa yang terjadi?"

"Kai, aku berusaha meneleponmu dari tadi, tapi aku tahu kau sedang di pesawat jadi...," Alison berhenti sejenak untuk menarik napas dan membersihkan hidungnya. Kenapa Alison terdengar seperti baru saja menangis? "Kai, Amy..."

Kai tiba-tiba lupa caranya bernapas. "Ada apa dengan Amy?"

"Amy mengalami kecelakaan, Kai. Ayahnya baru saja datang kemari untuk memberitahuku."

"What...?"

Alison perlahan-lahan menjelaskan apa yang terjadi, "Ayahnya memberitahuku kalau Amy mengalami kecelakaan dalam perjalanannya pulang lima hari yang lalu. Sepertinya itu terjadi setelah ia mengantarmu ke bandara."

Dadanya sesak. Kai tidak mengerti apakah ini disebabkan oleh supir taksi yang membuka jendela mobil untuk merokok atau memang karena tidak ada udara di mobil, tapi Kai benar-benar tak bisa bernapas saat ini. Otaknya pun tak bekerja seperti biasanya. "Bagaimana keadaan Amy saat ini?"

"Dia belum sadarkan diri sejak lima hari yang lalu." Dari suaranya, Kai dapat mengetahui Alison lagi-lagi meneteskan air mata.

Jadi... selama lima hari terakhir... gadis itu tidak menghubunginya... jadi inilah alasannya?

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Kai bertanya pada Alison dimana Amy dirawat. Kemudian setelah menutup telepon, Kai meminta supir taksi untuk mengantarnya ke Queens Hospital Centre.

* * *

Janet McCartney duduk di bangku tunggu yang terletak di depan ruang rawat Amy. Ia merasa lelah dan putus asa. Sudah lima hari berturut-turut Amy terbaring tak berdaya di atas ranjang rawat rumah sakit. Dokter memberitahunya kalau belum ada tanda-tanda perubahan dari organ vital Amy, yang berarti Amy tidak akan sadarkan diri dalam waktu dekat. Suaminya, Edward Hirata, baru saja keluar dari kamar Amy ketika lelaki itu duduk di sampingnya.

"Honey, kau belum istirahat sejak kemarin. Kau mau pulang sebentar malam ini?" tanya Edward sambil mengusap bahu isterinya dengan lembut.

Janet hanya menggeleng. "Aku tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini."

"Amy akan baik-baik saja, percayalah padaku." Edward berusaha terdengar meyakinkan, meski dirinya sendiri tak yakin dengan gagasan itu. "Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau kau pun terbaring di dalam sana seperti Amy. Karena itu, pulang dan istirahatlah."

"Aku tidak apa-apa."

TING!

Bunyi pintu lift yang terletak di ujung koridor menggaung bersautan dengan suara langkah kaki yang berjalan mondar-mandir dan percakapan para suster yang sibuk. Namun, di antara suara langkah kaki itu, ada bunyi derap kaki yang terdengar lebih cepat dari yang lainnya. Edward menoleh pada sumber suara itu dan mendapati seorang laki-laki yang tampak familiar. Lelaki itu berjalan dengan sangat cepat, menoleh ke kamar rawat yang berada di kanan dan kirinya. Sorot matanya tampak cemas, raut wajahnya terlihat tak tenang.

Lelaki itu berhenti sejenak, bertanya pada suster yang berjalan melewatinya, kemudian menoleh ke arah Edward. Tepat saat itu, Edward mengenali lelaki itu sebagai Kai Yunokawa. Ya, Edward mengenali lelaki itu dengan baik. Ia bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Kai yang mendekatinya.

"Eijiro Ojisan...?" Kai menyapa Edward dengan nama Jepangnya, membuatnya mengangguk.

"Kai? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Salah satu rekan kerjaku... temanku, mengalami kecelakaan. Namanya Amy dan petugas rumah sakit bilang ia dirawat di bangsal ini." Kai mencoba menjelaskan dengan napas yang terpingkal.

Edward, atau yang juga disapa sebagai Eijiro, tersenyum pahit dan menepuk bahu Kai. "Amy ada di sana, Kai. Kau boleh masuk."

* * *

Kai merasa kakinya tak dapat bergerak. Rasanya seperti melihat dirinya sendiri satu tahun yang lalu ketika ia melihat Kyoko terbaring di ranjang yang sama seperti Amy saat ini. Melihat pemandangan yang sama seperti tahun lalu, membuat dada Kai merasa sesak. Rasanya seperti tidak nyata.

Ia berjalan menghampiri Amy yang tertidur di atas ranjang rawat dengan langkah pelan. Ia hampir tak bisa merasakan lututnya ketika ia tiba di sebelah Amy. Sebelum kakinya bergetar dan jatuh pingsan, Kai buru-buru menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur.

Ia tersenyum tak berdaya. Di saat yang bersamaan, Kai merasa lega karena bisa kembali melihat Amy namun di sisi lain, Kai merasa setengah dari dirinya hilang entah kemana. Ia ingin melihat Amy tersenyum, berceloteh, bergumam tidak jelas di sisinya saat menyetir, mengomelinya... ia ingin melihat Amy seperti itu. Tapi, yang ada di hadapannya saat ini adalah sebaliknya. Karena itu perasaannya kacau balau.

"Hei, Amy," sapa Kai, pelan. "Aku sudah kembali. Aku bingung setengah mati selama lima hari terakhir. Kau tidak meneleponku maupun membalas pesanku. Aku hampir berpikir kau benci padaku dan sedang balas dendam karena aku pernah membuatmu khawatir."

Kai tersenyum pahit ketika melihat Amy tak bereaksi. Ia mengusap tangan Amy yang tak diinfus. "Amy, aku sudah bilang padamu kalau aku akan kembali memberi jawaban. Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan yang bisa kupikirkan hanyalah kau. Aku sudah kembali untukmu, Amy. Jadi, kenapa kau tidak menyambutku dengan senyumanmu? Kenapa kau malah mengabaikanku seperti ini?"

* * *

Setelah mengantar Janet McCartney ke rumah untuk istirahat, Eijiro kembali ke rumah sakit. Dan ketika ia baru saja hendak memasuki ruangan Amy, ia berpapasan dengan Kai. Oh, Tuhan. Ia tak pernah melihat seseorang selemah ini sebelumnya. Seperti melihat pria yang tak makan selama berhari-hari, Eijiro memastikan, "Kai, kau baik-baik saja?"

"Ojisan... Anda sudah kembali?" Kai berusaha terdengar baik-baik saja. Sepertinya terlalu banyak menangis membuat wajah tampak kacau. Tapi, ia tidak merasa malu. Entah mengapa sejak melihat keadaan Amy, Kai kehilangan akal sehatnya.

Eijiro yang merasa cemas, bertanya, "Kau sudah makan?"

Ah. Hari sudah malam dan Kai tidak ingat kapan terakhir ia makan sesuatu. Dan ia tidak tahu bagaimana harus menjawab Eijiro. "Ah... ng, saya..."

"Tidak apa-apa. Ayo ikut aku, Kai." Eijiro menepuk bahu Kai yang tinggi dan mengajaknya berjalan. Tak sampai sepuluh menit kemudian, Kai dan Eijiro telah berada di kantin rumah sakit, duduk berhadapan dengan semangkuk sup jagung dan roti masing-masing di hadapan mereka. "Nah, Kai, sekarang ayo kita makan sebelum kembali ke kamar Amy."

Kai membungkukkan badannya, "Terima kasih banyak, Ojisan. Tapi, saya baik-baik saja."

"Ckckck. Ada apa sih dengan orang-orang ini? Ingin menjaga orang sakit tapi membuat tubuhnya sendiri sakit," komentar Eijiro sambil menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. "Kalau kau ingin menjaga Amy, pastikan tubuhmu sendiri cukup sehat untuk melakukan itu."

Aneh. Eijiro tampak baik-baik saja. Padahal, seingat Kai, Eijiro pernah memberitahunya tentang malaikat terakhir yang ia miliki. Kai yakin itu Amy. Dan dengan apa yang terjadi dengan Amy saat ini, Eijiro masih bisa tersenyum dan bersikap biasa saja. Kai yang tak dapat membendung rasa penasarannya, akhirnya bertanya, "Ojisan tidak khawatir pada Amy?"

Eijiro mengusap mulutnya dengan tisu,menyeruput air putihnya kemudian menatap Kai lurus-lurus. "Percayalah, aku saat ini jauh lebih khawatir pada Amy daripada kau dan isteriku. Tapi, aku harus tetap kuat demi menjaga Amy. Apa yang akan terjadi pada Amy kalau sesuatu terjadi padaku? Karena itu, meskipun aku tak mau, aku harus tetap menjaga diriku. Kuharap kau melakukan hal yang sama."

Mendengar penjelasan Eijiro, Kai akhirnya menyentuh sup jagung miliknya yang telah hampir dingin. Dan ketika ia hampir menghabiskan makanannya, Eijiro menyeletuk, "Dunia ini sempit sekali. Rupanya kau teman dekat Amy, ya. Bagaimana kalian bertemu?"

"Aku bekerja di perusahaan majalah tempat Amy bekerja sebagai fotografer," jelas Kai. Tadinya, ia pun ingin memberitahu Eijiro kalau ia tinggal berseberangan di apartemen Amy, namun entah mengapa ia tak merasa itu bukan ide yang baik. Ia yakin ia akan mendapatkan tatapan menyelidik dari Eijiro kalau ia memberitahunya.

"Ah, begitu rupanya." Eijiro mengangguk sambil tersenyum pada Kai.

Eijiro benar-benar pria yang ramah. Sejak awal ia bertemu, Kai dapat mengetahui kalau Eijiro memiliki hati yang hangat. Pria dengan hati yang tangguh dan hati yang hangat. Kini Kai tahu siapa yang membuat Amy tumbuh menjadi wanita yang istimewa.

Setelah mereka menyelesaikan makan malam sederhana itu, Eijiro tiba-tiba menyentuh tangan Kai. Pria dengan rambut memutih itu tersenyum pada Kai, "Kai, aku tidak tahu seperti apa hubunganmu dan Amy. Tapi, aku meminta bantuanmu. Tolong jaga puteriku baik-baik."

Lewat tatapan mata itu, Kai memahami sesuatu yang tak dapat ia gambarkan. Sesuatu yang terasa seperti kehormatan baginya. Menerima hal istimewa itu, Kai membungkukkan badannya lagi dan mengangguk. "Saya berjanji."

* * *

Setelah hari itu, Kai menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermobil dari Manhattan menuju Queens hanya untuk mengunjungi Amy. Meskipun pekerjaannya di Star Square tak terlalu banyak, namun harus berada di dua tempat berbeda setiap hari membuat Kai merasa kelelahan. Tapi, apa daya. Sepertinya tidak melihat Amy satu hari saja akan membuat Kai merasa lebih buruk daripada sekedar kelelahan. Lagipula ia dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui tentang Amy dari Eijiro.

"Dokter bilang kondisinya stabil. Tapi, belum ada tanda-tanda kalau Amy akan sadar," kata Eijiro ketika Kai baru saja tiba di rumah sakit. Ia menutup pintu ruang rawat Amy dan berjalan ke samping ranjang Amy.

Sudah lewat dari satu minggu Amy terbaring di ranjang ini; tertidur tanpa bisa melakukan apapun. Melihat keadaan Amy yang tak kunjung berubah, Kai merasa tak berdaya. Begitu juga dengan Eijiro dan isterinya.

Eijiro menepuk bahu Kai, "Aku akan pergi ke kantin sebentar. Tolong jaga Amy."

"Baik, Ojisan." Kai membungkukkan badannya pada Eijiro kemudian kembali duduk di tempat yang menjadi tujuannya selama ini, di sisi tempat tidur. Sambil menggenggam tangan Amy, Kai menyeletuk, "Hei, Amy. Aku datang lagi. Sudah hampir seminggu aku berada di sini. Kapan kau akan kembali? Kau tahu, aku sangat merindukanmu."

Kai mengangkat tangan Amy kemudian membubuhkan kecupannya pada puncak tangan Amy. Namun, tiba-tiba Kai merasa ada yang aneh. Entah mengapa ia merasa Amy membalas genggaman tangannya. Rasanya seperti kedutan. Tidak mungkin. Mungkin, ia terlalu lelah sampai-sampai akal sehatnya tak bekerja dengan baik.

Kai meletakkan tangan Amy kembali di atas ranjang kemudian mengerjap kaget ketika melihat gerakan pada jemari Amy. Kai sontak terkesiap dan bangkit berdiri. Jantungnya berdetak kencang dan ia duduk di atas ranjang Amy, memperhatikan gadis itu dari jarak yang lebih dekat. Tak lama setelah itu, Amy membuka mata.

Melihat pemandangan itu, Kai begitu merasa bahagia sampai-sampai ia tak sadar kalau ia meneteskan air mata. Amy akhirnya sadar... Ya, Tuhan... semuanya terasa seperti mimpi.

"Amy...? Ini aku," Kai mengusap pipi Amy dan membuat gadis itu menoleh padanya. Namun, pandangannya terlihat bingung.

Dengan suara yang parau, Amy balas bertanya, "Kau... siapa?"

Pertanyaan itu langsung membuat senyuman di wajah Kai memudar. Tidak mungkin.

Kemudian Amy perlahan-lahan tersenyum. " Aku bercanda."

"Amy... kau tahu itu tidak lucu?" Kai menatap Amy dengan cemas kemudian memeluk gadis itu dengan tenaganya yang tak banyak. "Aku benar-benar bahagia. Amy, kumohon jangan membuatku cemas lagi seperti ini."

Ingatan Amy akan apa yang terjadi sebelumnya belum kembali sepenuhnya. Tubuhnya terasa lemah, kepalanya terasa sakit dan tenggorokannya kering. Sesekali matanya terpejam karena tak sanggup melihat cahaya lampu kamar. Namun, hanya satu yang ia tahu pasti; ia merasa senang. Senang karena ia dapat melihat Kai lagi. Karena itu, dengan sisa tenaga yang ia miliki, Amy tersenyum dan berkata, "Aku merindukanmu, Kai."

Kai mengangkat wajah dan melihat Amy tersenyum, lemah. Kemudian ia tak dapat menahan dirinya untuk tak mencium kening gadis itu. "Aku juga."

avataravatar
Next chapter