6 (5). Tentang Maaf

Qiana

Pekerjaanku hari ini sangat banyak, rasanya seperti aku akan menginap saja di kantor. Beruntung Bang Rado bersedia membantuku. Lumayan, meskipun nggak banyak. Aku yakin dia juga sama lelahnya karena pekerjaan yang ditanganinya, tapi dia masih berbaik hati mau membantuku. Bang Rado memang selalu baik. Dedikasinya dengan perusahaan patut ditiru. Dan kita juga belum membahas masalah perjodohan, sepertinya memang dia menunggu waktu yang tepat.

Aku memijat leherku pelan sambil berjalan menuju unitku. Entah kenapa saat tubuh capek begini rasanya lift pun terasa ikut bergerak pelan. Aku ingin sekali berbaring dan tidur dengan damai.

Aku juga sudah menghubungi Bunda kalau aku akan menginap di apartemen supaya beliau tidak khawatir. Aku memang tidak selalu tinggal di apartemen.

Aku masuk ke dalam unitku dengan langkah pelan setelah memasukkan password pintu apartemenku. Melepaskan sepatuku yang selama seharian mengurung kakiku dan meletakkannya di rak sepatu. Hari ini benar-benar melelahkan. Bekerja di kantor ayah memang lebih berat dibanding mengurus bisnis WOku. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus bisa menggantikan ayahku karena akulah satu-satunya yang mereka miliki.

Tapi saat aku kembali melangkah debaran jantungku meningkat saat ada sesosok tinggi di depanku berdiri membelakangiku. Siapa dia? Aku menelan ludah pelan karena merasa takut. Tuhan, bantu aku. Aku berdoa dalam hati, menguatkan diriku untuk tetap melangkah.

Aku mencari apapun yang bisa aku gunakan untuk senjata, tapi tidak ada. Bahkan payung yang biasanya ada di dekat pintu juga entah kemana. Keringat dingin sudah keluar dari pori-poriku, aku tidak memiliki keahlian bela diri sama sekali. Lalu bagaimana kalau dia penjahat dan akan membunuhku? Ayah dan Bunda gimana? Aku merapalkan doa dalam hati, selalu mengucap nama Allah, karena hanya Dialah yang bisa membantuku.

Aku akan melangkah mendekatinya saat pria itu memutar badannya. Aku terpaku di tempatku. Disana, Davie lah yang berdiri. Meskipun terdengar konyol, aku merasa lega. Sungguh. Karena itu hanya Davie, paling tidak dia nggak akan menyakitiku. Tapi, apa yang dia lakukan disini?

Aku masih memandangnya, wajahnya juga terlihat kaget. Mungkin karena kedatanganku.

Aku berjalan pelan mendekatinya, berusaha mengetahui apa yang dia lakukan di tempat ini. Aku sama sekali tidak menyangka jika dia bisa datang kemari.

"Davie!" aku memanggil pelan ke arahnya. Aku bahkan nggak bisa mengeluarkan kata apapun yang ada di kepalaku. Semuanya terasa menguap entah kemana.

"Ya." dia hanya menjawab singkat. Tidak ada yang berniat kembali membuka obrolan. Kami sama-sama saling menyelami tatapan masing-masing. Aku bisa melihat tatapan matanya yang sayu. Kurang tidurkah dia? Tanyaku pada diriku sendiri.

Kenapa kamu harus peduli? Hatiku menjawab lagi. Entahlah, aku nggak bisa untuk nggak peduli.

"Apa yang kamu lakukan disini?" dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku mengalihkan tatapanku ke arah lain, rasanya tak mampu berlama-lama memandangnya.

"Duduklah, aku ganti baju dulu." Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung pergi ke kamar dengan cepat untuk membersihkan diri. Aku ngerasa jika tak baik kalau harus menyuruhnya pergi, toh unit ini juga miliknya.

Sampai dalam kamar, tubuhku seperti tidak memiliki tenaga sama sekali. Aku meluruh ke kasur dan mencengkram dada kiriku. Disana, didalam sana, jantungku bertalu-talu tidak karuan. Bayangan masa lalu tiba-tiba menguap ke permukaan. Berdua dalam satu atap dengannya membuatku takut, entah takut dengan apa aku belum paham.

Tidak ingin berlama-lama di kamar, aku langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya perlu waktu 20 menit, itupun sudah dengan sholat wajibku, aku keluar kamar. Aku melihat dia sudah duduk di sofa di depan tv dengan tatapan kosong. Aku ingin nggak peduli sebenarnya, tapi nggak bisa. Alasannya? Aku belum ingin membahas itu dulu.

"Ehem." aku berdehem pelan berusaha agar dia menyadari keberadaanku. Dan ya, dia mengalihkan pandangannya padaku. Masih dengan tatapan sayu.

"Mau minum sesuatu?" dia masih diam. Bahkan mengangguk pun tidak. Aku nggak mungkin membentaknya agar dia sadar kan. Itu bener-bener bukan aku sekali.

"Davie?"

"Kopi aja. Please!" aku mengangguk dan berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi untuknya. Sejujurnya aku masih bingung dengan kedatangan Davie yang sangat mendadak ini.

Aku meletakkan kopi di depannya, dan ikut duduk di sofa yang sama tetapi mengambil jarak yang lumayan jauh. Dia di pojok sebelah kiri sofa dan aku di pojok sebelah kanan sofa. Kami masih diam, tidak ada yang memulai membangun obrolan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Qia!" panggilan lemah itu dia layangkan kepadaku. 'Qia' dia memang selalu memanggilku seperti itu, padahal semua orang memanggil dengan sangat singkat, yaitu Qi. Aku menoleh kan kepalaku kearanya, untuk memastikan jika dia memang tadi memanggilku.

Aku bisa melihat betapa wajah tampannya semakin menawan saja. Rahang kokohnya, hidung mancungnya, dan aku rasa semua yang ada di dalam dirinya memang mengagumkan.

"Maaf." satu kata yang kembali keluar dari bibirnya membuat nafasku tercekat. Kini dia juga balik menatapku. Pandangan kami beradu. Rasanya aku nggak sanggup lama-lama bertatapan dengannya. Apalagi dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Aku memalingkan wajahku ke arah layar hitam yang ada di depanku. Berharap disana akan muncul barisan kata yang bisa aku ucapkan untuk menjawab apa yang dikatakan oleh Davie. Karena rasanya, otakku nggak bisa diajak kompromi sama sekali.

"Untuk apa?" akhirnya aku bisa mengeluarkan kata, meskipun kata dalam bentuk pertanyaan.

"Semuanya. Semua kesalahan yang pernah aku buat dan aku lakukan ke kamu. Semua Qia, semua." dia merendahkan suaranya di akhir kalimatnya. Dan itu sangat terdengar menyedihkan di telingaku. Dan aku hanya bisa mencengkram erat sofa yang aku duduki karena aku sama sekali tidak tahu jawaban apa yang akan aku berikan kepadanya.

°•°•°

Davie

Aku merasa kelu, bibirku rasanya nggak bisa lagi mengeluarkan kata-kata setelah kalimat terakhir yang aku ucapkan kepada Qia belum mendapatkan tanggapan darinya. Atau mungkin tidak akan mendapatkan jawaban darinya.

Dia masih diam dengan mata menatap ke depan. Ingin sekali aku bilang kalau aku menunggu jawabanmu Qia, tapi nggak bisa. Sama sekali nggak bisa.

Ini bener-bener menyiksa. Batinku tersiksa karena ulahku sendiri. Kenapa aku harus menjadi brengsek dimasa lalu? Kenapa aku harus menjadi laki-laki egois di masa lalu? Kenapa, Tuhan? kenapa? Dan kenapa penyesalanku harus datang sekarang. Kenapa? Semua pertanyaan itu sepertinya memang hanya aku yang bisa menjawab. Tapi, bahkan akupun juga nggak tahu apa jawabannya.

"Qia!" aku kembali memanggilnya untuk menyadarkannya dari lamunan. Dia bergeming, dan masih asyik dengan pikirannya sendiri.

"Qia. Aku...,"

"Aku udah maafin kamu." Jawabnya dengan nada pelan. "Kamu nggak perlu lagi memikirkannya lagi." Meskipun dia tak sedang menatapku, tapi aku tahu jika dia bersedih dengan ucapanku.

"Terima kasih." Aku menatap Qia namun dia sama sekali tak peduli dengan itu dan masih asyik dengan pikirannya sendiri.

°•°•°

'Kita akan bercerai, Qia.'

'Kenapa harus bercerai, Dav? Aku janji akan nunggu kamu sampai kamu pulang. Selama apapun.'

'Nggak, kita akan tetap berpisah, Qia. Aku ingin bisa fokus bekerja dan nggak terbebani apapun.'

'Apa aku menjadi beban kamu selama ini?'

'Nggak, sama sekali enggak. Tapi status kita yang akan membebaniku.'

Sial, aku mengumpat dalam hati saat aku terbangun karena mimpi sialan itu. Kenapa ulasan masa lalu yang berusaha aku kubur tiba-tiba muncul kedalam mimpiku. Kenapa alam seolah berkomplot untuk bisa membuatku mengingat kejahatan yang aku lakukan kepada Qiana.

Aku bangun dari ranjang dan keluar dari kamar menuju dapur. Aku ingin meminum banyak kopi agar aku bisa tetap bangun dan terjaga. Berusaha agar nggak tidur dan memimpikan kejadian menyedihkan itu.

Tadi, saat kalimat terakhir yang diucapkan oleh Qiana meluncur dari bibirnya, rasanya aku nggak sanggup untuk lebih lama berada disana. Aku memutuskan berpamitan dengannya dan pergi meninggalkannya sendiri di apartemen setelah aku kembali memberikan dia luka.

Dan aku sadar, kalau aku adalah laki-laki brengsek dan bedebah. Aku patut mendapatkan balasan ini. Tuhan pantas menghukumku. Karena seharusnya aku bisa sedikit membereskan kekacauan yang aku buat, bukan malah membuat kekacauan tapi membiarkan begitu saja.

Aku sampai di dapur saat Devie sedang asyik dengan aktifitas mengunyah makanannya. Bukankah biasanya seorang perempuan itu akan anti sama yang namanya makan malam? Apalagi dengan porsi yang 'MasyaAllah' begitu. Nggak ada nasi, tapi ayam kremes di piringnya menunjukkan berapa banyak kalori yang dia masukkan ke dalam perutnya.

"Belum tidur, Bang?" dia bertanya masih dengan menggigiti daging ayam yang di cocol dengan sambal buatan mama. Kenapa harus sambal, bukannya saos. Dia mau besok sakit perut apa. Dasar.

"Belum."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Nggak bisa tidur."

"Banyak pikiran."

"Mikirin kakak?" aku melotot kearahnya meskipun dia nggak tahu karena dia duduk membelakangiku. Aku hanya diam nggak menjawab. Aku nggak mau dia akan membuat kepalaku tambah pusing.

Aku duduk di depannya dengan membawa kopi yang aku buat. Bersyukurlah karena ada yang namanya dispenser, nggak perlu menunggu lama hanya untuk air panas.

"Kamu nggak takut gemuk makan segini banyak?" aku ikut mencomot ayamnya dan mencolekkan ke sambal persis yang dilakukan Devie.

"Enggak, kakak aja makan banyak malem-malem nggak gendut kok. Yang penting kan nggak tiap hari." mendengar Devie menyebut kakak, aku kembali lemas. Bahkan aku nggak jadi memasukkan ayam ke dalam mulutku dan menurunkan kembali.

"Kenapa, Bang? Nggak enak ayamnya? Aku aja udah habis empat potong. Hah, masakan mama mah emang jempolan." Devie meminum air yang ada di depannya dan kembali menatapku.

"Abang tahu nggak kalau karma itu datang karena ulah orang itu sendiri? Menurutku nggak ada tuh istilahnya, kita kualat karena menyakiti orang A atau orang B. Tapi kita kualat karena perbuatan yang kita lakukan kepada orang lain. Kalau kita berbuat baik, ya orang akan baik ke kita, begitupun sebaliknya. Ibaratnya kita nanam jagung ya tumbuhnya jagung, dan manennya jagung. Tapi kalau kita nanemnya duri ya kita bakal nuai duri, karena duri nggak akan berubah jadi jati, dan jati nggak bisa berubah jadi duri. Aku tahu kok apa yang Abang rasain sekarang. Bukannya aku sok tahu, tapi aku bener-bener tahu. Karena meskipun kita bukan saudara kembar yang katanya bisa saling merasakan perasaan satu sama lain, tapi kita ada di rahim yang sama dengan waktu yang sama. Jadi kalau adek Abang ini boleh memberi saran, perbaiki apa yang ingin Abang perbaiki. Benahi apa yang ingin Abang benahi. Kejar apa yang ingin Abang kejar. Jangan jadi laki-laki tolol yang hanya bisa meratapi nasib dan nggak berbuat apa-apa. Tapi entar pas ada orang lain berjuang malah kalang kabut. Semua orang punya kesempatan kedua." Aku membeku mendengar kalimat panjang dari Devie. Dan kalimat terakhirnya membuatku seolah mempunyai energi tambahan untuk memperbaiki semuanya. Ya. Semua orang pasti memiliki kesempatan kedua. Termasuk aku.

°•°•°

Yoelfu

avataravatar
Next chapter