57 Coffee with love

"Lagi diluar, Yan?" tanya David.

"Mmm, ya Mas. Lagi diluar." Jawab Dyan, diikuti oleh sayup suara seorang wanita menyebutkan sebuah angka. 'Order nomor 40 ready,...'

Baru saja David membuka bibirnya untuk kembali bertanya, sebuah suara lain terdengar lebih jelas sedang berbicara di dekat Dyan.

'Biar aku yang ambil, kamu disini aja....'

Suara seorang pria, bukan suara Adit. Tapi seorang pria dewasa. Yang kemudian disambut oleh suara Dyan,

'Thanks....'.

David bisa mendengar senyuman dalam ucapan terima kasih itu. Untuk beberapa saat, David terdiam.

Tidak mendengar suara David dari ujung panggilan telepon, Dyan bicara lagi,

"Halo? Maaf mas, barusan dipanggil karena pesanan saya sudah selesai." Kata Dyan, tanpa merasa perlu menjelaskan lebih jauh.

"Oh, OK. Sorry, saya mengganggu ya?" Tanya David lagi, memastikan kalau dia tidak menelepon di waktu yang kurang tepat.

"Gak apa-apa, Mas. Kebetulan sedang minum kopi dengan Adit dan teman-teman saya."

"Kalau gitu, nanti saya hubungi lagi. Silahkan..." Belum selesai David bicara, Dyan langsung merespon kata-kata David. "Gak mengganggu kok, Mas. Cuma lagi kumpul-kumpul aja."

"Oh, OK... Saya cuma mau tanya, kira-kira besok kamu dan Adit ada waktu untuk makan siang bersama kami lagi?" Segera David menyampaikan niat awalnya menghubungi Dyan.

"Makan siang bersama?" Dyan balik bertanya.

"Hmm, iya. Opa Abel datang, dan anak itu sibuk cerita soal kak Adit-nya. Sampai Opa-nya jadi penasaran juga mau kenalan dengan Adit. Selain Abel, Oma-nya Abel juga ikut cerita soal Adit. Jadi Papi saya minta saya undang Adit dan kamu buat makan siang besok di rumah kita. Kebetulan besok hari Minggu, dan Papi mungkin minggu depan sudah pulang."

"Oh, begitu. Aduh, Mas. Tolong sampaikan terima kasih banyak saya buat undangan Opa dan Oma-nya Abel. Tapi coba saya tanya Adit dulu ya, Mas. Besok dia ada kegiatan atau gak." Jawab Dyan.

"Kalo saya, terpaksa minta maaf dulu. Kebetulan besok saya sudah ada planning dengan para karyawan di toko. Jadi saya gak bisa ikut serta." Kata Dyan lagi.

"Oh, sayang sekali. Mungkin lagi kali bisa ada kesempatan lagi,..." Terdengar sedikit nada kekecewaan dari suara David.

"Ya, mungkin lain kali ada kesempatan. Kalau Adit, ntar saya beritahu Adit dulu ya, Mas. Biar Adit aja yang telpon ke mbak Emil, dia bisa atau gak-nya."

"Ok. Saya tunggu kabarnya ya, Yan." David langsung memutuskan sambungan telepon setelah mendengar Dyan mengiyakan permintaannya.

Sofie yang mengamati putranya menelpon sejak tadi, langsung bertanya, "Gimana? Bisa?"

"Dyan pastiin dulu sama Adit. Kita tunggu kabarnya dulu ya."

"Mereka berdua bisa ikut makan siang besok?" tanya Pak Jansen.

"Mungkin cuma Adit, Pi. Dyan katanya ada planning lain. Jadi dia gak bisa ikut."

========

Dion baru saja kembali untuk kedua kalinya dari meja counter dengan sekotak donat dan sepiring pastry memenuhi kedua tangannya. Setelah sebelumnya dia menjemput 1 nampan berisi 4 mug minuman.

"Thanks ya...." Kata Dyan sambil tersenyum lepas. Memperlihatkan deretan gigi indahnya, "Anytime," jawab Dion, membalas senyum Dion.

'You have pretty smile, Dyan'. Batin Dion.

Dyan mengangkat mug kopi pesanannya, menghirup aromanya beberapa saat sebelum akhirnya mencicipinya sedikit. Ternyata masih terlalu panas untuk diminum, Dyan memutuskan untuk meletakkan kembali mug kopinya ke meja.

Tanpa disadari Dyan, pria di hadapannya sejak awal tak meluputkan kesempatan untuk merekam semua gerakannya. Seakan sedang melihat sebuah pertunjukan istimewa yang sayang untuk dilewatkan.

Merasakan kenyamanan yang dipancarkan Dyan, yang tidak lagi terlihat canggung walau hanya berdua dengan dirinya, dan mencatat senyum yang dilemparkan Dyan sambil menatap ke wajahnya – yang tanpa disadari oleh Dyan, semua tindakannya telah membuat telinga pria dewasa di depannya ini bersemu.

"By the way, tadi yang nelpon mas kamu?" Tanya Dion tiba-tiba. Dyan yang baru saja berhasil menghirup kopinya segera menggeleng.

"Bukan, bukan kak Eca. Tadi mas David, Daddy-nya Abel. Kamu kenal kan?" Kata Dyan.

"Ooh, Pak David. Soalnya kamu panggil 'mas', aku pikir kakak laki-laki kamu." Kata Dion sambil mengangkat cangkir kopinya dan bergumam dalam hati,

'Karena kamu panggil dia 'mas', aku pikir...'

Terlalu 'akrab'....

"Aku sebetulnya gak enak sih, panggil 'mas'. Soalnya kan baru kenal. Tapi sepertinya mas David orangnya emang gak terlalu kaku ya. Dia bilang, panggil 'mas' aja. Jadi ya, ...aku panggil gitu." Entah kenapa, Dyan merasa perlu menjelaskan. Karena sebetulnya, dia juga tidak terlalu nyaman untuk akrab dengan pria dewasa yang baru dikenal.

Dion hanya tersenyum mendengar penjelasan panjang lebar dari Dyan tanpa diminta.

Tiba-tiba Dyan seperti menyadari sesuatu, cepat-cepat diraihnya ponselnya dan menekan nomor Adit.

"Adit, ini minumannya udah jadi. Buruan turun, nanti dingin."

"Bentar Bunda, ini tante Al mendadak ada buku yang mau dicari. Lima menit lagi ya Bun." Jawab Adit dan langsung memutus panggilan.

"Wah, Al masih cari buku. Katanya lima menit lagi turun."

Senyum Dion makin lebar, 'Thanks ya ponakanku ... and my son to be...' Batin Dion, mensyukuri kesempatan untuk bisa lebih lama berdua dengan Dyan, sambil menyesap lagi espresso macchiato. Matanya tidak lepas dari Dyan yang juga menikmati mochachino hangatnya.

Wanita yang ada dihadapannya itu terlihat sangat rileks. Seperti menjalankan ritual, Dyan selalu menghirup aroma kopinya dulu sambil memejamkan mata baru kemudian menghirup lembut mochachino hangat di genggamannya.

"Sejak kapan suka kopi?" Tanya Dion.

"Aku? Hmm...kapan ya? Sepertinya setelah Adit lahir."

"Oh,...belum lama."

"Hm?! Emang kamu udah berapa lama?" Tanya Dyan, karena Dion terdengar seperti seorang veteran penggemar kopi. Padahal usia mereka cuma bertaut 3 tahun.

"Aku udah dari kecil suka kopi. Dari cicip-cicip kopi Abah jadi keterusan."

"Dari kecil? Apa gak susah tidur tuh masih kecil udah konsumsi kafein?"

Mengamati raut wajah Dyan yang ekspresif dan berubah-ubah sejak tadi, membuat senyum Dion tak pernah hilang dari wajahnya.

Dyan tiba-tiba merasa wajahnya menjadi panas. Setelah kesadaran pertama menyentilnya, bahwa sepasang mata keabuan dari pria yang duduk di hadapannya ini tidak pernah lepas menatap wajahnya sejak tadi, dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya yang kemerahan itu.

Dan Dyan terkejut dengan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa dia memperhatikan warna mata dan bibir seorang laki-laki dewasa tanpa malu seperti ini?

Lalu Dyan terdiam sebelum kemudian tubuhnya menyurut ke belakang setelah kesadaran kedua muncul, sejak kapan dia duduk sambil mencondongkan tubuhnya ke depan? Walaupun Dion adalah sahabatnya, tapi mereka berdua belum lama bertemu.

Perubahan wajah dan sikap tubuh Dyan ini tertangkap jelas oleh Dion. Senyumnya jadi semakin lebar sampai kemudian tertawa kecil. Siapa sangka wanita dewasa ini bisa bereaksi se-polos remaja. Dion bahkan menangkap rona kemerahan di wajah Dyan. Membuatnya ingin menggoda lebih jauh, tapi logikanya menyarankan sebaliknya.

"Kata Umi, sedikit kopi bagus untuk anak-anak. Emang sih lama-lama dosisnya meningkat. Kalau berdua Abah, pasti kita ngopi." Dion melanjutkan bahasan kopi tanpa menyinggung soal reaksi Dyan.

Dyan merasa sedikit lega, merasa Dion tidak menyadari perubahan sikapnya.

"By the way, gini-gini aku pernah part time jadi barista jaman kuliah dulu. Karena aku suka kopi, jadi belajar brewing." Dion melanjutkan ceritanya.

Dyan yang kembali merasa rileks, tanpa sadar kembali menanggapi cerita Dion dengan ekspresif.

"Oya? Keren banget dong, kalo barista berarti bisa bikin macem-macem kopi."

Dion mengangguk sambil tersenyum, "Selama ada peralatannya, aku bisa brewing beberapa jenis kopi."

Ada tatapan kekaguman di mata Dyan, sahabatnya ternyata bukan cuma punya hobi yang serupa di bidang desain dan seni, tapi juga punya kecintaan pada kopi seperti dirinya. Membuat dirinya merasa nyaman karena bisa bercerita tentang hal-hal yang disukai bersama seperti ini.

"Berarti kamu koleksi peralatan brewing dong." Komentar Dyan lagi.

"Hmm...ada beberapa yang selalu aku bawa kemana-mana sih."

"Wah, kalo gitu aku percaya deh, kamu lebih expert soal kopi daripada aku. Aku jadi penasaran mo cicip kopi buatan expert."

"Oya? Kapan mau minum kopi buatan aku?" Tanya Dion sambil tersenyum kearah Dyan.

'I'll definitely brew the tastiest coffee with love for you Dyan.' Bisik Dion dalam hati.

----+++-----

avataravatar