1 Cangkir kosong : Pelanggan Tetap di Waktu yang Tepat

Cuaca tak begitu ramah malam ini, hujan terus menghujam tanah tak berkesudahan.

Aku duduk dibalik mesin kasir sambil sesekali memejamkan mata, menikmati setiap gelombang suara yang dihasilkan dari jutaan tetes air.

Namun sesuatu mengalihkan pandanganku, mataku menyipit, memandangi hujan dari balik jendela besar yang ada disisi kanan.

Tak ada seorangpun terlihat berlalu lalang ataupun pengendara motor yang melintas. Hanya ada mobil-mobil milik orang kaya yang melaju bebas tanpa penghalang didepannya. Mungkin karena hujan yang turun dengan begitu deras sehingga terlihat sepi sekali.

Apa yang menarik perhatianku bukanlah mobil-mobil keren tadi, tetapi sesuatu yang berbeda.

Tampak seekor burung kecil sedang terbang, menari diantara air hujan yang turun membasahi tubuh dan sayapnya.

Ia tampak begitu riang meski sendirian.

Meski aku tak dapat mendengar kicauannya, tapi aku seakan tau senandu burung itu.

Aku menghela napas panjang.

Sesaat, aku berpikir dan membayangkannya. Membuatku hanyut dalam dunianya.

Bagaimana jika aku bisa terbang bebas, tanpa kurungan atau batasan.

"TTEENNGG...." gelegar dentang lonceng sebanyak sembilan kali memenuhi ruangan, menunjukkan waktu pukul sembilan. Bagiku ini tanda pergantian shift menjaga kedai.

Suara jam lonceng menyadarkanku, aku kembali ke kegiatan wajibku.

Tanganku pelan menyentuh gelas yang berembun, dinginnya menyusuri telapak tanganku hingga menjalar ke seluruh tubuh.

Mengusap pelan cangkir dengan lap yang ada ditangan kananku.

Meski waktu kerjaku saat ini sudah selesai, aku tak mau berhenti bekerja. Bukan karena tak ada pekerja yang menggantikanku, melainkan karena aku mencintai tempat ini.

Bangunan ini memiliki sejarah tersembunyi, tak ada yang tau sejak kapan kedai ini berdiri. Kedai ini berdiri didalam daerah plaza yang tak jauh dari stasiun kereta api. Membuat daya tarik tersendiri dari para turis yang datang ke kota ini.

Sayangnya makin lama pengunjung plaza kian menipis, sehingga pengunjung kedai pun berkurang.

Bukan karena habis terkena bencana alam ataupun kasus horor melainkan karena adanya stasiun baru yang lebih besar dan terintegrasi dengan stasiun-stasiun besar lainnya dibangun ditempat yang cukup jauh dari sini.

Dari balik meja kasir ini, aku dapat memandangi seluruh isi toko.

Tak banyak orang yang mengisi kedai pada malam hari ini. Hanya ada aku, pria yang bingung menentukan cemilan yang ingin dia makan, segerombol mahasiswa yang sibuk berkutat kertas tugasnya, wanita yang sibuk memilih dan memilah buku bacaan, dan terakhir adalah seorang pria yang kukenal, ia adalah kakak tingkatku di perguruan tinggi yang sama, ia sering mengunjungi kedai pada malam hari dan saat ini duduk di meja nomer 5, meja pojok disamping jendela, tempat yang selalu ia singgahi.

Dari raut wajahnya, aku bisa memastikan jika ia sangat menikmati menu favoritnya, nasi goreng spesial dengan telur dadar ditemani oleh teh hijau.

Tiap waktu ia datang, ia selalu memesan menu yang sama.

Bahkan aku sampai hapal semua kegiatannya, ketika datang ia menghampiri meja kasir lalu memesan, dan beranjak ke meja nomer 5, menunggu kedatangan pesanannya dengan cara menulis sesuatu dibuku catatannya, atau membaca buku yang ia bawa.

Lalu menghabiskan malam dengan menulis ataupun membaca. Tetapi, terkadang kulihat ia bercengkrama, mengdengarkan keluh kesah cerita orang yang duduk di meja yang sama, berbincang dan menikmati teh hijau bersama.

"Cring cring" Suara lonceng pintu menghentikanku dari membersihkan cangkir. Angin yang cukup kencang sedikit memasuki ruangan, mengibas lembut rambut panjangku yang telah ku ikat.

Aku menoleh untuk mencari tau siapa yang membuka pintu.

Wanita dengan gaun merah berjalan melewati pintu seusai melipat payung. Kulihat bagian bawahnya basah akibat cipratan genangan air, tapi itu tak menghentikannya untuk menghampiriku yang sedang berdiri dibelakang meja kasir.

"Selamat datang, mau pesan apa?" Ucapku untuk menyambutnya.

"Minuman spesial minggu ini adalah cappucino dengan white cream" Sambungku.

Wanita itu tersenyum ringan dan berkata pelan padaku.

"Tidak, aku ingin sesuatu yang lain. Aku pesan teh hijau."

Aku terkejut dengan yang dia ucapkan, tapi segera aku alihkan ekspresiku menjadi senyuman yang ramah.

Seakan kami saling mengerti apa maksud dari senyuman itu.

"Siap, apakah anda bersedia berbagi meja?"

"Ya"

"Baiklah, Teh hijau akan diantar di meja nomer 5."

"Terima kasih" Ucapnya secara singkat, dan perlahan mendekati meja nomer 5.

Segera kuambil cangkir sambil mendidihkan air, sedikit kulirik wanita itu.

Kulihat ia sedikit membungkuk, alih alih untuk mendapatkan perhatian orang yang tengah duduk

dimeja nomer 5, obrolan singkat terjadi dan kini wanita itu telah duduk berhadapan dengannya.

Kembali ke pekerjaanku, dengan lihai aku menyaring daun teh yang ada pada cangkir.

"Yup, teh siap diantar" Ucapku dalam hati.

Kuambil nampan dan bersiap membawa pesanan.

Meski aku tak dapat melihat ekspresi wanita itu karena badannya membelakangiku, tapi dari raut wajah pria didepannya aku dapat menerka itu adalah pembicaraan yang serius.

Aku jadi penasaran.

Malam ini, cerita apa lagi yang akan ia dengar.

***

avataravatar
Next chapter