8 DIA YANG BERPAYUNG BIRU

Siang ini, hujan turun dengan sangat derasnya. Di depanku tersedia secangkir kopi dan sebuah berkas. Berkas yang menurutku jauh lebih enak dinikmati daripada kopi yang ada disebelahnya. Benar, berkas ini tentang daftar hitam Pak Handoko.

Ternyata selain melakukan korupsi sebagai ketua cabang, Pak Handoko juga sering melakukan penggelapan pajak, serta berberapa kasus penipuan yang sampai saat ini belum ditangani oleh pihak yang berwajib. Aku tidak mengerti, bagaimana bisa beliau selihai itu.

"Apa masih kurang?" Tanya Daniel yang bersebrangan tempat duduk denganku.

"Tidak. Aku rasa ini saja sudah cukup. Tunggu! Apakah masih ada lagi selain diberkas ini?" Aku penasaran, seberapa banyak catatan gelap dari Pak Handoko?

"Itu hanya sebagian. Aku hanya mengambil dari berberapa kasus yang terberat." Dia menyesap minumannya.

"Oh begitu." Aku juga ikut Daniel untuk meminum minuman panasku yang mulai dingin. "Dan bolehkah aku mengatakan kalau kau sedikit kurang waras, Daniel?"

Ya, Daniel kurang waras. Sebab kita sedang berdiskusi untuk membuka aib Pak Handoko dan menyusun kehancurannya, tepat hanya berjarak tujuh meter dari depan kantornya. Dan gilanya, kenapa aku juga mau datang. Astaga. Bagaimana jika kita ketahuan?

"Maksudmu tentang kenapa aku memilih tempat ini?" Daniel terlihat tenang. Jujur, aku menyukai sikap tenangnya tapi aku juga kadang sangat membenci sikap itu. "Akuilah Rio, kopi disini enak kan? Apalagi baristanya yang cantik-cantik itu. Bukankan ini menjadi semakin nikmat?"

"Dasar laki-laki." Ledekku.

"Hei kau juga laki-laki kan? Dan kau juga masih normalkan?"

Aku rasa pertanyaan Daniel tidak perlu dijawab. Itu sebabnya, ku ambil kopiku dan kupalingkan wajahku untuk menatap kantor Pak Handoko dari jendela. Kantor yang sebentar lagi akan aku kuasai. Kantor yang akan jatuh ditanganku.

Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang gadis berpanyung biru. Gadis itu berdiri tepat di depan kantor pak Handoko. Rintik hujan yang berusaha menghalangi pandanganku padanya pun seolah bukanlah hal yang besar. Dia terlihat jelas olehku, meski jarak kami terpaut bermeter-meter.

Semua yang ada disekitarku seolah musnah entah kemana. Seluruh atensiku hanya tertuju padanya. Hanya dia.

Tiba-tiba pula jantungku berdetak dengan cepatnya. Memuku-mukul dadaku dengan frekuensi yang tidak seperti biasanya. Dan munculah sebuah perasaan yang aku tidak mengerti itu apa. Aku hanya merasakan hangat di dalam dada. Entahlah, aku tidak mau memfikirkannya. Karena yang terpenting bagiku saat ini, hanyalah menatap wajahnya.

Namun sebuah taksi berhenti di depannya. Kemudian dia menghilang. Melaju bersama sang taksi yang baru saja ia tumpangi. Ku rasakan sedikit kecewa di dalam sini. Itu sebabnya, mataku masih terus mengekori taksi itu. Sampai ia benar-benar menghilang dari pandanganku.

"Aku pikir, aku sudah tidak membutuhkan jawabanmu." Kata-kata Daniel yang tidak aku mengerti apa maksudnya telah menyeretku pada realita. "Ternyata kau masih normal. Sangat normal."

"Sebenarnya apa yang sedang kau katakan?" Tanyaku dengan dongkol.

"Gadis yang sedang kau pandangi tadi adalah putri dari Pak Handoko." Sepertinya Daniel akan memberikan info yang tidak perlu padaku. "Namanya Tiara. Tiara Kumala Wijaya."

"Benarkah?" Aku pura-pura terkejut. Ya, meskipun aku dan Daniel begitu dekat, aku enggan membagi nama dan masalaluku padanya. Ini karena aku terlalu benci dengan Pak Handoko. Sehingga, aku malas untuk mengungkitnya. Apalagi menyertakan namanya di belakang namaku. Tidak! Aku tidak sudi. Aku benar-benar tidak sudi. "Selain itu ada lagi?"

"Dia memiliki saudara angkat." Daniel meneruskan informasinya. "Iya. Pak Handoko mengangkat seorang anak laki-laki. Dia saat ini, berusia enam tahun. Namanya Kevin_"

"Tunggu!" Aku memotong pembicaraan Daniel karena aku terkejut dengan info itu. Mengangkat anak lagi? Enam tahun? Buat apa? "Namanya Kevin dan usianya enam tahun?" Aku bertanya untuk memastikan bahwa telingaku tidak salah.

"Benar. Saat ini, si Kevin sedang sekolah di sebuah asrama. Dan tentu saja, itu sekolah yang elit_"

"Selain Kevin, apakah Pak Handoko pernah mengangkat anak lain?"

"Tidak ada. Pak Handoko tidak pernah mengangkat anak lain selain Kevin."

Info terakhir yang diberikan oleh Daniel benar-benar membuatku tersenyum miris. Hah ternyata benar, aku benar-benar telah dibuang. Bangsat!

Yah, tidak heran sih. Mengingat sudah sepuluh tahun aku meninggalkan rumah itu. Tetapi kenapa Pak Handoko mengangkat anak lagi? Dan masih berusia anak-anak? Apa keuntungannya? Aku sangat tahu orang seperti Pak Handoko itu selalu mementingkan untung rugi. Dia tidak mungkin mengangkat anak hanya berdasarkan ketulusan. Aku harus mencari tahu sendiri jawaban ini. Tanpa melibatkan Daniel.

~oo0oo~

Hari ini rencanaku sudah dimulai. Bahkan sudah hampir berjalan. Ya, saat ini aku ada diparkiran dari sebuah hotel bintang lima yang mewah. Di dalam hotel itu, sedang diadakannya pertemuan antara Daniel, Dewan Komisaris dari perusahaan Pak Handoko, dan Pak Handoko sendiri. Hanya saja, Pak Handoko belum datang.

Sedangkan aku, ada disini. Di dalam mobil Menonton mereka dengan bantuan kamera tersembunyi dari ruang hotel tersebut, serta dua buah headset yang sudah terpasang apik di telingaku. Aku tidak mungkin datang kesana secara langsung, aku takut Pak Handoko akan sangat 'bahagia' karena melihatku. Jadi aku hanya duduk disini. Sebagai seorang penonton dari kehancuran Pak Handoko.

Tenang kami tidak berencana membunuhnya. Kami hanya membuat dia mengakui semua kesalahannya. Kemudian aku akan mengambil ahli perusahaannya dengan dalih melunasi utang-utangnya. Lalu, Pak Handoko akan kami serahkan pada pihak yang berwajib. Mudahkan? Ya namanya juga rencana. Tapi aku harap, ini semudah dengan apa yang sudah direncanakan.

Tidak lama kemudian Pak Handoko dan Bu Verona terlihat sudah memasuki ruang pertemuan. Dari ekspresi mereka yang kulihat di kamera, samar-samar mereka terlihat tegang. Ya mungkin Pak Handoko sudah mengerti, kalau hidupnya sekarang berada di tiang gantungan.

Kuikuti terus apa yang sedang mereka bicarakan. Kuamati terus, berbagai gerakan. Hingga akhirnya, sebuah perkataan bernada tinggi dan segala umpatan keluar dari Pak Handoko. Tidak lama kemudian, kamera itu menayangkan Pak Handoko dan Bu Verona pergi keluar ruangan dengan terburu-buru.

Kabur. Mereka hendak kabur. Mereka akan melarikan diri.

Segera ku nyalakan mobilku, untuk mengejar mereka. Namun sayangnya, ada mobil yang melintang berada dibelakang mobilku yang hendak keluar parkir pula. Jadilah aku menunggu mobil itu keluar terlebih dahulu dengan perasaan yang sangat tidak sabar.

Ponselku berdering. Daniel menelepon. Aku menerimanya dan mengaktifkan menu loudspeaker. "Pak Handoko dan istrinya melarikan diri. Kita belum dapat tanda tangannya."

"Aku tahu, akan ku kejar." Balasku dan langsung mematikan ponselku dengan segera.

Akhirnya mobil yang menghalangi jalanku sudah keluar. Kini mobilku bebas, dan segera ku keluarkan mobil ini dari dalam garis parkir. Sialnya, banyak sekali mobil yang berjejer antre untuk keluar parkiran. Dan apesnya, aku bagian paling belakang sendiri.

Tiba-tiba pandanganku pun tertuju pada Pak Handoko dan Bu Verona yang sedang menaiki taksi berwarna biru. Jujur, aku ingin mengejarnya. Tapi aku masih terjebak. Sial kenapa aku tadi membawa mobil!

Setelah menunggu selama lima menit yang serasa lama sekali, segera ku terjunkan mobilku di jalan raya dengan kecepatan penuh. Aku bagai orang yang sedang kesetanan. Iya aku mengedarai mobil ini dengan sangat ngebut. Berpacu dengan waktu. Untuk menemukan taksi berwarna biru.

Akhirnya, taksi yang ditumpangi Pak Handoko sudah didapat oleh pandanganku. Meskipun jaraknya masih berpuluh-puluh meter. Tidak apa. Aku pasti bisa menyusulnya. Tetapi sayangnya, jalanan tiba-tiba macet karena lampu merah. Dan hadiah terbaiknya adalah, taksi itu sudah melaju meskipun lampu sedang merah. Aku ingin melakukan hal yang sama, tapi didepanku ada banyak mobil yang setia menunggu lampu itu untuk berubah menjadi hijau.

Bangsat. Brengsek. Sial. Bajingan! Pak Handoko benar-benar sangat gesit. Dan aku harus menunggu selama dua puluh detik yang terasa seperti seabad.

Akhirnya lampu berubah hijau. Meskipun begitu, aku masih diam ditempat. Sebab, aku baru bisa jalan, jika mobil yang ada di depanku sudah jalan terlebih dahulu. Namun kenapa sepertinya mereka tidak jalan-jalan. Sialan! Bagaimana jika nanti Pak Handoko bebas?

Mobil di depanku pun mulai jalan. Hanya saja jalannya sangat lambat. Dan aku tidak bisa mendahuinya, sebab kanan kiriku juga ada kendaraan. Astaga, sepertinya akan terjadi macet. Padahal tadi masih baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba jalanan jadi lamban seperti ini.

Semakin lama semakin lambat. Memang sepertinya sudah macet! Tuhan. Astaga. Kenapa harus ada macet? Segala umpatan pun sudah keluar dengan lancar dari bibirku. Pupus sudah harapanku untuk menangkap Pak Handoko.

Di tengah keputusasaanku, ku dengar desas-desus bahwa penyebab macet ini adalah sebuah kecelakaan. Sebuah tabrakan antara truck penganggkut barang dan taksi warna biru. Tunggu! Taksi warna biru? Jangan-jangan Pak Handoko?

Aku segera keluar dari mobil. Menuju dimana kecelakaan itu terjadi. Aku berlari. Sekitar lima ratus meter dari mobilku, kulihat ada banyak orang yang bergerombol. Mengerumuni sebuah truck. Tapi aku tidak melihat ada taksi disana. Aku mendekat, untuk memperjelas pandanganku.

Oh Tuhan! Ternyata taksi itu berada dibawah truck dengan keadaan yang sudah ringsek. Entah kenapa dalam hati kecilku berharap, itu bukan Pak Handoko dan Bu Verona. Sejahat-jahatnya Pak Handoko dan sebejat-bejatnya aku, aku tidak mau kecelakaan seperti ini menimpa Pak Handoko dan Bu Verona. Aku harap Tuhan mendengarkan permohonanku.

Aku terpaku di tempatku. Meskipun banyak orang bergotong royong untuk mengeluarkan orang yang berada di dalam taksi tersebut. Aku diam. Aku takut. Aku takut jika yang ada di dalam taksi itu adalah orang yang aku kenal. Tuhan tolong, aku mohon jaga Pak Handoko dan Bu Verona.

Tubuhku mendadak menjadi dingin. Aku nyaris kehilangan keseimbanganku. Saat aku melihat para warga sudah berhasil mengeluarkan seseorang dengan pakaian yang mirip seperti pakaian yang dipakai oleh bu Verona. Hanya saja yang ini dipenuhi oleh banyak darah.

Setelah korban itu benar-benar berhasil keluar. Warga menaruhnya di sisi jalan. Ku lihat korban wanita itu dengan hati dan tubuh gemetar. Ternyata, dia masih ada pergerakan. Dengan cepat kudatangi wanita malang itu.

"Bu Verona." Panggilku. Meskipun begitu aku harap dia bukanlah orang yang aku panggil.

Sayangnya dia menatapku. Dengan wajah yang dipenuhi oleh darah. Tangannya seolah bergerak untuk memanggilku. "Sat..Satrio.."

Dengan hati yang penuh guncangan. Aku berlari mendekat ke arahnya. Lalu, ku genggam tangannya. "Ibu bertahan ya. Sebentar lagi ambulan datang. Ingat ibu masih punya Tiara." Aku memohon padanya dengan diikuti airmata yang entah ada sejak kapan.

"Ma..maaf...ma..maaf." Beliau meminta maaf dengan terbata. Aku tidak membalas perkataannya. Aku tidak mau untuk berkata. Aku hanya menciumi tangannya. Memintanya untuk bertahan.

Tidak lama kemudian sirene ambulan pun terdengar menggema di jalan ini.

Bersambung....

Makasih ya udah baca dan menunggu cerita ini....😘😘😘

avataravatar
Next chapter